Sabtu, 01 September 2012

MENITI KESEMPURNAAN IMAN BAB 6; MEMOHON PERTOLONGAN KEPADA ORANG YANG TELAH MATI


MENITI KESEMPURNAAN IMAN
Oleh: Ad-Da’i Ilallah Al-habib Mundzir bin Fuad Al-Musawa


BAB 6; MEMOHON PERTOLONGAN KEPADA ORANG YANG TELAH MATI
Pernyataan Abdullah Bin Baz bahwa Berdoa dan Memohon Pertolongan kepada Orang yang Telah Mati adalah Syirik:
Begitu juga, melarang mereka berdoa dan memohon pertolongan kepada orang-orang yang telah mati. Karena doa adalah ibadah yang hanya boleh dihadapkan kepada Allah semata, Allah berfirman: “Maka janganlah kamu (di dalamnya) menyembah seseorangpun disamping menyembah Allah,” (QS. al-Jin ayat 18). “Janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak pula member mudharat kepadamu selain Allah, sebab jika kamu berbuat yang demikian itu maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang dzalim.” (QS. Yunus ayat 106), artinya termasuk orang-orang yang musyrik. Rasulullah Saw. bersabda: “Doa itu adalah ibadah. Apabila kamu memohon maka mohonlah kepada Allah, apabila kamu minta pertolongan maka minta pertolonganlah kepada Allah.”
Seseorang yang meninggal telah terputus amalannya dari manusia lain, maka dia sangat butuh sekali untuk didoakan dan dimohonkan keampunan dan rahmat baginya bukan justru berdoa kepadanya selain Allah karena Nabi Saw. bersabda: “Apabila manusia itu mati maka terputuslah semua amalannya kecuali tiga perkara; sedekah jariyah (yang mengalir), ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakannya”. Allah Swt. berfirman: “Maka janganlah kamu (di dalamnya) menyembah seseorangpun disamping menyembah Allah.” (QS. al-Jin ayat 18).
Bagaimana bisa berdoa kepadaNya selain Allah? Begitu pula berhala, kayu, batu, bulan, matahari dan bintang-bintang tidak boleh sama sekali berdoa dan mohon pertolongan kepada semua itu. Demikian pula kepada penghuni kubur, sekalipun mereka adalah para Nabi atau orang-orang yang shaleh. Begitu pula para malaikat dan jin, tidak boleh berdoa kepada mereka disamping berdoa kepada Allah. Allah berfirman: “Janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak pula member mudharat kepadamu selain Allah, sebab jika kamu berbuat yang demikian itu maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang dzalim.” (QS. Yunus ayat 106).
Di sini, Allah menghukum kafir bagi siapa saja yang menjadikan para malaikat dan para nabi sebagai Tuhan-tuhan tempat berdoa dan mohon pertolongan. Padahal Allah sama sekali tidak memerintahkan mereka berbuat demikian. Dalam Shahih Muslim dari Jabir Ra.,beliau berkata: “Rasulullah Saw. melarang mangapur (mengecat) kuburan, duduk dan membangun di atasnya.”
Hal ini dilarang, dikarenakan ia membawa kepada syirik. Membangun di atas kuburan, mengapu (mengecat), member pakaian (kelambu) dan mendirikan kubah di atasnya, semua ini merupakan sarana yang membawa kepada pengagungan, pengkultusan serta berdoa kepada penghuninya. Adapun duduk di atas kuburan tidak dibolehkan karena kuburan itu terhormat, tidak boleh dihinakan. Oleh karena itu, tidak boleh duduk, buang air kecil dan besar di atasnya, begitu juga bersandar kepadanya dan menginjaknya. Semua ini dilarang, demi menghormati mayat seorang muslim.
Seorang muslim itu terhormat di masa hidupnya dan juga setelah matinya. Oleh karena itu tidak boleh diinjak kuburannya, tidak boleh dirusak tulang belulangnya. Begitu pula tidak boleh duduk, buang air kecil dan membuang sampah di atasnya, semua ini adalah terlarang. Mayat seorang muslim tidak boleh dihinakan dan tidak boleh pula dikultuskan, seperti berdoa kepadanya selain Allah. Kuburannya tidak boleh dilecehkan, diinjak, dijadikan tempat buang sampah dan berbagai macam kotoran lainnya.
Agama Islam sangat adil, diperintahkannya kita menghormati kuburan, mendoakan dan memohon ampunan bagi para penghuninya. Disamping itu, kita dilarang menyakiti mereka seperti membuang berbagai kotoran, sampah dan duduk di atas kuburan mereka. Mengenai masalah ini, dalam sebuah hadits shahih Rasulullah Saw. bersabda: “Janganlah kamu sekalian duduk di atas kuburan dan janganlah shalat dengan menghadapnya.”
Jadi, tidak boleh menjadikannya sebagai kiblat shalat dan tidak boleh duduk di atasnya. Dengan demikian, syari’at Islam memadukan antara dua perkara; larangan pengkultusan terhadap penghuni kubur, duduk di atas kuburnya dan menginjak atau bersandar kepadanya serta membuang kotoran di atasnya. Semua ini dilarang. Dengan demikian, seorang mukmin tahu bahwa syari’at Islam adalah syari’at yang adil, tidak membolehkan berbuat syirik dan juga tidak boleh menyakiti dan mengina. Rasulullah Saw. dan orang shaleh boleh didoakan, dimohonkan ampun baginya dan diucapkan salam kepadanya, ketika berziarah ke kuburan mereka.
Adapun berdoa kepada selain Allah, tidak boleh. Kita tidak boleh mengatakan kepada penghuni kubur: “Wahai tuanku, bantulah saya, bantulah saya!”, atau “Tolonglah saya!” atau “Bantulah saya menyelesaikan ini!”. Semua ini hanya kita minta kepada Allah. Dan juga tidak boleh menghina penghuni kubur dengan membuang kotoran di atasnya atau menginjaknya. Semua itu tidak boleh.
Adapun meminta bantuan kepada orang yang masih hidup, diperbolehkan. Karena secara kongkrit dia mampu melakukan hal-hal yang diperbolehkan secara syara’. Sebagaimana Allah firmankan sehubungan dengan kisah Musa: “Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya.” (QS. al-Qashash ayat 15). Musa ketika itu hidup dan kepadanya seorang Bani Israil meminta bantuan agar ia mengalahkan musuhnya yaitu seorang dari suku Qibhti.
Demikian pula hubungan manusia dengan saudara dan kerabatnya, mereka tolong-menolong ketika berada di sawah, ketika memperbaiki rumah, memperbaiki mobil dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Mereka diperbolehkan tolong-menolong dalam masalah kongkrit yang mampu mereka lakukan. Begitu juga lewat telefon, surat menyurat, telegram, dan teleks, semua ini termasuk kerjasama dalam masalah kongkrit yang mampu dikerjakan.
Tetapi minta pertolongan yang sifatnya ibadah, tidak diperbolehkan. Kita tidak boleh mengatakan kepada orang yang masih hidup maupun sudah mati: “Sembuhkan penyakitku”, atau “Kembalikan barangku yang hilang” dengan keyakinan bahwa ia mengetahui rahasia ghaib dalam masalah itu. Dan tidak boleh mengatakan: “Tolonglah kami mengalahkan musuh kami”, maksudnya dengan kekuatan ghaibnya.
Adapun meminta bantuan kepada orang yang masih hidup dalam masalah kongkrit yang mampu ia laksanakan seperti minta bantuan senjata atau hutang piutang, hal itu diperbolehkan. Begitu pula, tidak masalah minta kepada seorang dokter agar ia mengobati penyakit. Adapun dengan mengatakan : dengan keyakinan bahwa ia memiliki ilmu ghaib dalam masalah ini, hal itu tidak diperbolehkan, sebagaimana lazimnya dilakukan orang-orang sufi dan lainnya. Hal ini termasuk kufur. Karena manusia tidak mampu mengatur alam ini. Ia hanya mampu melakukan hal-hal yang kongkrit dan dokter berbuat sesuatu yang sifatnya kongkrit yaitu melalui obat-obatan.
Demikian juga sesorang yang masih hidup dapat melakukan usaha-usaha kongkrit, membantumu dengan tangannya, menolongmu, meminjamkan sejumlah harta kepadamu atau bantuan untuk membangun atau memberimu suku cadang mobil, atau membantu dengan rekomendasi kepada orang yang akan menolongmu. Semua ini adalah masalah-masalah kongkrit yang diperbolehkan dan tidak termasuk kategori beribadah atau meminta bantuan kepada mayit dan sejenisnya.
Kebanyakan para pelaku syirik, samar bagi mereka masalah-masalah ini. Padahal permasalahannya jelas sekali, tidak samar kecuali bagi orang yang benar-benar jahil. Tolong-menolong dengan orang yang masih hidup diperbolehkan dengan syarat-syarat yang telah dikemukakan tadi. Sedangkan berdoa meminta bantuan kepada orang mati dan bernadzar untuknya, tidak diperbolehkan. Masalah ini tidak asing lagi di kalangan ulama, dan mereka sepakat bahwa perbuatan ini termasuk syirik akbar. Tidak ada pertentangan antara ulama di masa sahabat, tabi’in dan generasi seterusnya.
Demikian juga membangun masjid di atas kuburan bukan suatu hal yang asing lagi di kalangan ulama, karena Islam secara tegas melarangnya. Maka hal ini tidak boleh samar bagi seorang ulama. Maka sekali lagi, hendaklah para ulama senantiasa agar bertakwa kepada Allah di mana saja mereka berada dan hendaklah mereka menasehati sesama manusia dan mengajarkan syari’at Allah kepada mereka tanpa basa-basi dan tanpa memilah-milah, baik penguasa, orang kecil ataupun pejabat. Semua mereka diingatkan dengan perkara-perkara yang diharamkan Allah dan mereka dibimbing kepada syari’at Allah. Inilah kewajban para ulama di mana saja mereka berada baik melalui lisan, tulisan, buku, ceramah umum dan lain-lain. Termasuk juga lewat telefon, teleks dan sarana-sarana lain yang ada dewasa ini yang dapat digunakan untuk penyebaran dakwah dan menasehati umat. Kami mohon hidayah kepada Allah bagi semua, tiada daya dan upaya melainkan dengan izin Allah.

Tanggapan Al-Habib Munzir Al-Musawa Mengenai Berdoa dan Memohon Pertolongan kepada Orang yang Telah Mati adalah Syirik:
Jelas bahwa larangan Allah Swt. adalah menyembah pada selain Allah Swt., bukan melarang tawassul atau minta bantuan pada manusia, berbeda dengan yang dijelaskan Bin Baz dalam hal ini, ia membelokkan makna sangat jauh dari tujuan ayat, alangkah bodohnya jika pendapat semacam ini disebut fatwa.
Perbuatan sunnah Rasul Saw. dibelokkan menjadi perbuatan musyrik. Bukankah anak-anak Nabi Ya’qub As. (kakak-kakak Nabi Yusuf As.) meminta pada ayahnya agar ayahnya beristighfar untuk mereka?: “Wahai ayah kami tolong mintakan pengampunan pada Allah untuk kami, sungguh kami telah berbuat salah, maka ia (Ya’qub As.) berkata: “Aku akan mohonkan pengampunan pada Allah untuk kalian, sungguh Tuhanku Maha Pengampun dan Berkasih saying.” (QS. Yusuf ayat 97-98).
Apakah Nabi Ya’qub As. ini membenarkan kemusyrikan anak-anaknya? Kenapa mereka minta diistighfari oleh ayahnya? Kenapa berperantara pada ayahnya? Kenapa tidak langsung saja pada Allah? Kenapa Allah menyebut ayat ini dalam al-Qur’an? Bukankah perbuatan ini ditiru oleh para sahabat radhiyallahu‘anhum lalu Allah Swt. memuji mereka?: “Ketika mereka telah berbuat dzalim atas diri mereka sendiri lalu mereka datang padamu (wahai Muhammad), lalu mereka beristighfar pada Allah di depanmu, lalu Rasul (Saw.) beristighfar untuk mereka, maka mereka akan dapati Allah Maha Menerima taubat mereka dan Berkasih Sayang.” (QS. an-Nisa ayat 64).
Al-Imam Ibn Katsir dalam Tafsirnya menukil syarah ayat ini yang diriwayatkan oleh al-Utbiy bahwa ia sedang duduk dimakam Rasul Saw., lalu dating seseorang dan berkata: “Salam sejahtera wahai Rasulullah, aku dengan firman Allah Swt. yang berbunyi: “Ketika mereka telah berbuat dzalim atas diri mereka sendiri lalu mereka datang padamu (wahai Muhammad), lalu mereka beristighfar pada Allah di depanmu, lalu Rasul (Saw.) beristighfar untuk mereka, maka mereka akan dapati Allah Maha Menerima taubat mereka dan Berkasih Sayang”, dan kini aku datang padamu wahai Nabi, beristighfar di hadapanmu atas dosa-dosaku, dan minta syafaat padamu kepada Tuhanku.” Lalu pria itu pergi dan aku (al-Utbiy) tertidur, dan aku bermimpi Rasul Saw. dan berkata: “Wahai Utbiy, kejar orang itu, katakan padanya bahwa Allah Swt. sudah mengampuninya.” (Tafsir Imam Ibn Katsir pada QS. an-Nisa ayat 64). Riwayat ini juga diriwayatkan oleh al-Imam an-Nawawi dalam kitabnya al-Majmu’.
Tentunya mimpi tak bisa dipakai dalil, namun tentuya yang kita bahas adalah perbuatan meminta pada kubur Nabi Saw. yang terjadi sebelum mimpi tersebut, jika perbuatan itu syirik maka Imam al-Utbiy akan menegurnya, dan Imam Ibn Katsir akan menjelaskan bahwa minta di kuburan itu syirik, dan demikian pula Imam an-Nawawi.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Imam Ibn Katsir adalah murid Ibn Taimiyah, dan fatwa Imam Ibn Katsir sangat dipakai oleh para kalangan anti Maulid, namun lihat sendiri bahwa Imam Ibn Katsir ini membolehkan minta pada ahli kubur, demikian pula Hujjatul Islam al-Imam an-Nawawi, dan sama sekali tak menyebutkan bahwa perbuatan itu syirik.
Mengenai kuburan, berkata Imam Ibn Hajar: “Berkata Imam al-Baidhawiy: “Ketika orang Yahudi dan Nasrani bersujud pada kubur para nabi mereka dan berkiblat dan menghadap pada kubur mereka dan menyembahnya dan mereka membuat patung-patungnya, maka Rasul Saw. melaknat mereka dan melarang muslimin berbuat itu. Tapi kalau menjadikan masjid di dekat kuburan orang shalih dengan niat bertabarruk dengan kedekatan pada mereka tanpa penyembahan dengan merubah kiblat kepadanya maka tidak termasuk pada ucapan yang dimaksud hadits itu.” (Fath al-Bari al-Masyhur juz 1 halaman 525).
Berkata Imam al-Baidhawiy: “Bahwa Kubur nabi Ismail As. adalah di Hathiim (di samping Miizab di Ka’bah dan di dalam Masjidil Haram) dan tempat itu justru afdhal shalat padanya, dan larangan shalat di kuburan adalah kuburan yang sudah tergali.” (Faidh al-Qadiir juz 5 halaman 251).
Jelaslah bahwa yang dimaksud shalat menghadap kuburan adalah yang langsung berhadapan dengan kuburan yang telah digali, bukan kuburan yang tertutup tembok atau terhalang dinding. Dan Rasul Saw. menyalatkan seseorang yang telah dikuburkan, beliau shalat ghaib menghadap kuburannya tanpa dinding atau penghalang, yaitu langsung menghadap kuburan. (Lihat dalam Shahih Muslim).
Mengenai membangun kubur dengan tabut, bangunan, hal ini dilarang untuk umum, dan diperbolehkan untuk kubur para Nabi, ulama dan shalihin, untuk menghidupkan ziarah dan tabarruk pada mereka. (lihat dalam I’anat ath-Thalibin juz 3 halaman 236, Tuhfat al-Muhtaj bi Syarh al-Minhaj juz 11 halaman 424, Mughniy al-Muhtaj bi Syarh al-Minhaj juz 4 halaman 365, Nihayat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj juz 8 halaman 395 dan lain-lain).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar