Sabtu, 01 September 2012

73 GOLONGAN UMAT ISLAM


73 GOLONGAN UMAT ISLAM

Imam Turmudzi, Abu Dawud dan Ibn Majah, masing-masing dalam kitab Sunan-nya meriwayatkan hadits tentang penggolongan umat Islam menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan atau firqoh, dan hanya satu golongan diantaranya yang selamat dari ancaman siksa neraka, yaitu golongan yang konsisten pada ajaran Nabi Muhammad Saw. dan para Sahabatnya (Jama’ah) atau yang kemudian disebut dengan sebutan Ahlussunnah wal Jama’ah. Menurut Imam Abdul Qahir al-Baghdadi (w. 429 H/1037 M) sebagaimana disebut dalam karya monumentalnya, Al-Farq baina al-Firaq hadits tersebut diriwayatkan dari beberapa sumber sanad, antara lain; Anas bin Malik, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin ‘Amr, Abu Umamah dan Watsilah bin al-Asqa.
Respon para ulama kalam terhadap hadits tersebut ternyata tidak sama. Setidaknya, ada tiga macam respon yang diberikan; Pertama, hadits-hadits tersebut digunakan sebagai pijakan yang dinilainya cukup kuat untuk menggolongkan umat Islam menjadi 73 firqah, dan diantaranya hanya satu golongan yang selamat dari neraka, yakni Ahlussunnah wal Jama’ah. Diantara kelompok ini antara lain; Imam Abdul Qahir al-Baghdadi (Al-Farq baina al-Firaq), Imam Abu al-Mudzaffar al-Isfarayini (at-Tabshir fi ad-Din), Abu al-Ma’ali Muhammad Husain al-‘Alawi (Bayan al-Adyan), Adludin Abdurrahman al-Aiji (al-Aqa’id al-Adliyah) dan Muhammad bin Abdulkarim asy-Syahrastani (al-Milal wa an-Nihal). Ibn Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa vol-3 menilai bahwa hadits tersebut dapat diakui kesasihannya. Kedua, hadits-hadits tersebut tidak digunakan sebagai rujukan penggolongan umat Islam, tetapi juga tidak dinyatakan penolakannya atas hadits tersebut. Diantara mereka itu, antara lain; Imam Abu al-Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari (Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushollin) dan Imam Abu Abdillah Fakhruddin ar-Razi (I’tiqadat firaq al-Muslimin wa al-Musyrikin). Kedua pakar ilmu kalam ini telah menulis karya ilmiahnya, tanpa menyebut-nyebut hadits-hadits tentang Iftiraq al-Ummah tersebut. Padahal al-Asy’ari disebut sebagai pelopor Ahlussunnah wal Jama’ah. Ketiga, hadits Iftiraqul Ummah tersebut dinilai sebagai hadits dha’if (lemah), sehingga tidak dapat dijadikan rujukan. Diantara mereka adalah Ali bin Ahmad bin Hazm adz-Dzahiri, (al-Fishal fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa an-Nihal).
Pengertian firqah atau golongan dalam hadits tersebut, oleh para ulama dan para ahli tersebut, berkaitan dengan Ushuluddin (masalah-masalah agama yang fundamental dan prinsipil), bukan masalah furu’iyyah atau fiqhiyyah yang berkaitan dengan hukum-hukum amaliyah atau yang kerap disebut sebagai masalah khilafiyah, semacam qunut shalat subuh, jumlah raka’at tarawih, ziarah kubur, dan lain-lain.
Syeikh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, seorang ulama yang banyak mentahqiq karya-karya unggulan dalam ilmu kalam, seperti karya Imam al-Asy’ari, al-Baghdadi di atas, menyatakan kesulitannya untuk memperoleh hitungan yang valid terhadap firqoh-firqoh baru, seperti Ahmadiyah dan lain-lain.
Demikian itulah masalah yang muncul dari hadits 73 firqoh. Selain itu, ada masalah-masalah lain yang masih memerlukan studi lebih lanjut yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiyyah dan diniyyah, seperti; apa yang dijadikan parameter untuk menentukan suatu kelompok umat ini menjadi firqah tertentu yang mandiri yang berbeda statusnya dari kelompok lain. Lalu, apa sebetulnya yang paling banyak menjadi pemicu timbulnya firqah-firqah tersebut?
Terakhir, sejauh mana peran realitas historis dan kultural dalam mempengaruhi perjalanan dan dinamika firqah-firqah tersebut. Tentu saja, masih banyak lagi yang perlu dikaji lebih lanjut.
Prof. KH. Tholchah Hasan Wakil Ra'is Am Syuriah PBNU
Sumber: www.nu.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar