Sabtu, 01 September 2012

MENITI KESEMPURNAAN IMAN BAB 1; ISTIGHATSAH


MENITI KESEMPURNAAN IMAN
Oleh: Ad-Da’i Ilallah Al-habib Mundzir bin Fuad Al-Musawa

BAB 1; ISTIGHATSAH
Pernyataan Abdullah bin Baz Bahwa Istighatsah itu Syirik:
Dan di dalam Shahih Bukhari dan Muslim diriwayatkan bahwa sesungguhnya Nabi Saw. Ditanya: “Dosa apakah yang paling besar?”, beliau Saw. Menjawab: “(Dosa yang paling besar) ialah kamu menjadikan (Tuhan) tandingan bagi Allah, padahal Dialah yang telah menciptakanmu.”
Maka setiap orang yang menyeru selain Allah atau beristighatsah, bernadzar, menyembelih dan memberikan sesuatu dari jenis ibadah kepada selain Allah berarti ia telah menjadikannya sebagai tandingan bagi Allah, baik ia seorang nabi, wali, malaikat, jin, berhala maupun makhluk-makhluk lainnya.
Adapun meminta tolong kepada seseorang yang masih hidup serta hadir untuk melakukan sesuatu yang dalam batas kemampuannya, tidaklah termasuk perbuatan syirik. Akan tetapi itu merupakan hal-hal biasa yang boleh dilakukan sesama kaum muslimin. Sebagaimana yang diabadikan Allah dalam kisah Nabi Musa: “Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya.” (QS. al-Qashash ayat 15). Dan dalam ayat lain tentang Musa, Allah berfirman: “Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir.” (QS. al-Qashash ayat 21).
Atau sebagaimana seseorang meminta bantuan teman-temannya dalam peperangan atau dalam situasi-situasi sulit lainnya, dimana sebagian orang membutuhkan bantuan sebagian yang lain. Sesungguhnya Allah telah memerintahkan NabiNya untuk memaklumkan kepada umat manusia bahwa dirinya tidak mempunyai kemampuan untuk memberi manfaat dan tidak pula mendatangkan mudharat. Allah Swt. berfirman: Katakanlah: “Sesungguhnya aku hanya menyembah Tuhanku dan aku tidak mempersekutukan sesuatupun denganNya”. Katakanlah: “Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatan pun kepadamu dan tidak (pula) sesuatu kemanfaatan.” (QS. al-Jin ayat 20-21).
Dan dalam surat al-A’raf, Allah berfirman: “Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS. al-A’raf ayat 188). Dan banyak lagi ayat-ayat yang semakna dengannya.
Nabi Saw tidak berdoa kecuali kepada Tuhannya dan tidak meminta pertolongan melainkan kepadaNya. Ketika perang Badr, beliau (Saw.) memohon bantuan (istighatsah) dan pertolongan untuk mengalahkan musuhnya kepada Allah Swt. tidak henti-hentinya beliau (Saw.) memohon dan bermunajat kepada Allah seraya berkata: “Wahai Tuhanku! Tunaikanlah apa yang telah Engkau janjikan kepadaku!”. Sampai-sampai Abu Bakar ash-Shiddiq merasa belas kasihan kepadanya dan berkata: “Cukuplah sudah, wahai Rasulullah Engkau bermunajat kepada Tuhanmu. Sesungguhnya Allah pasti akan menepati janjiNya kepadamu.” Lalu Allah menurunkan firmanNya: “(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu lalu diperkenankanNya bagimu. Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut. Dan Allah tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan itu), melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Anfal ayat 9-10).
Di dalam ayat-ayat ini, Allah mengingatkan mereka saat mereka memohon bantuan kepadaNya. Kemudian Allah mengabarkan bahwa Dia telah mengabulkan permintaan mereka dengan mengirim bala bantuan malaikat-malaikat. Kemudian Dia menjelaskan bahwa kemenangan yang mereka raih itu bukan karena bantuan malaikat itu, akan tetapi hanya sekedar untuk menentramkan hati mereka dengan kemenangan itu datangnya dari sisi Allah.
Dan di dalam surat Ali Imran, Allah Swt. berfirman: “Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badr, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertawakkal kepada Allah, supaya kamu mensyukuriNya” (QS. al-Anfal ayat 123).
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa Dialah Sang Penolong mereka pada hari peperangan Badr. Dengan demikian, diketahui bahwa apa yang diberikanNya kepada mereka berupa keselamatan, kekuatan dan bala bantuan malaikat, semua itu hanyalah sebagai sebab (sarana yang diberikan Allah) untuk mendapatkan kemenangan, kegembiraan dan ketentraman. Dan pada hakikatnya kemenangan itu bukan karena sebab-sebab itu, akan tetapi berasal dari Allah semata.
Oleh sebab itu, bagaimana mungkin penulis wanita ini dan selainnya menunjukkan permohonan bantuan dan pertolongan kepada Nabi Saw. Dan berpaling dari Tuhan semesta alam, Yang Maha Memiliki dan Maha Berkuasa atas segala sesuatu? Tidak diragukan lagi, ini adalah kebodohan yang nista bahkan merupakan syirik besar.

Tanggapan Al-Habib Mundzir Al-Musawa Tentang Istigasah:
Istighatsah adalah memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya. Untuk sebagian kelompok muslimin hal ini langsung divonis syirik, namun vonis mereka itu hanyalah karena kedangkalan pemahamannya terhadap syariah Islam.
Pada hakekatnya memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya adalah hal yang diperbolehkan selama ia seorang muslim, mukmin, shalih dan diyakini mempunyai manzilah di sisi Allah Swt. tak pula terikat ia masih hidup atau telah wafat. Karena bila seseorang mengatakan ada perbedaan dalam kehidupan dan kematian atas manfaat dan mudharat maka justru dirisaukan ia dalam kemusyrikan yang nyata, karena seluruh manfaat dan mudharrat berasal dari Allah Swt. Maka kehidupan dan kematian tak bisa membuat batas dari manfaat dan mudharat kecuali dengan izin Allah Swt.
Ketika seseorang berkata bahwa orang mati tak bisa memberi manfaat, dan orang hidup bisa memberi manfaat, maka ia dirisaukan telah jatuh dalam kekufuran karena menganggap kehidupan adalah sumber manfaat dan kematian adalah mustahilnya manfaat, padahal manfaat dan mudharat itu dari Allah, dan kekuasaan Allah tidak bisa dibatasi dengan kehidupan atau kematian.
Sama saja ketika seorang berkata bahwa hanya dokterlah yang bisa menyembuhkan dan tak mungkin kesembuhan datang dari selain dokter. Maka ia telah membatasi kodrat Allah Swt. untuk memberikan kesembuhan, yang bisa saja lewat dokter, namun tidak mustahil dari petani atau bahkan sembuh dengan sendirinya.
Terkadang kita tak menyadari bahwa kita lebih banyak mengambil manfaat dalam kehidupan ini dari mereka yang telah mati daripada yang masih hidup. Sungguh peradaban manusia, tuntunan ibadah, tuntunan kehidupan, modernisasi dan lain sebagainya, kesemua para pelopornya telah wafat, dan kita masih terus mengambil manfaat dari mereka, muslim dan non muslim. Seperti teori Einstein dan teori-teori lainnya, kita masih mengambil manfaat dari yang mati hingga kini, dari ilmu mereka, dari kekuatan mereka, dari jabatan mereka, dari perjuangan mereka.
Cuma bedanya kalau mereka ini kita ambil manfaatnya berupa ilmunya. Namun para shalihin, para wali dan muqarrabin kita mengambil manfaat dari imannya dan amal shalihnya, dan ketaatannya kepada Allah.
Rasul Saw. memperbolehkan Istighatsah, sebagaimana hadits beliau Saw.: “Sungguh matahari mendekat di hari kiamat hingga keringat sampai setengah telinga, dan sementara mereka dalam keadaan itu mereka beristighatsah (memanggil nama untuk minta tolong) kepada Adam, lalu mereka beristighatsah kepada Musa, Isa, dan kesemuanya tak mampu berbuat apa-apa, lalu mereka beristighatsah kepada Muhammad Saw.” (Shahih Bukhari hadits no.1405), juga banyak terdapat hadits serupa pada Shahih Muslim yaitu diantaranya hadits no.194, Shahih Bukhari hadits no.3162, 3182, 4435 dan banyak lagi hadist-hadits shahih yang Rasul Saw. menunjukkan ummat manusia beristighatsah  pada para Nabi dan Rasul.
Bahkan dalam riwayat Shahih Bukhari dijelaskan bahwa mereka berkata pada Adam: “Wahai Adam, sungguh engkau adalah ayah dari semua manusia.. “ dst.. dst...” Dan Adam As. Berkata: “Diriku..diriku.., pergilah pada selainku..,” hingga akhirnya mereka beristighatsah memanggil-manggil Muhammad Saw. dan Nabi Saw. sendiri yang menceritakan ini dan menunjukkan beliau tak mengharamkan Istighatsah. Maka hadits ini jelas-jelas merupakan rujukan bagi istighatsah, bahwa Rasul Saw. Menceritakan bahwa orang-orang beristighatsah kepada manusia, dan Rasul Saw. tidak mengatakannya syirik. Namun jelaslah istighatsah di hari kiamat ternyata hanya untuk Sayyidina Muhammad Saw.
Demikian pula diriwayatkan bahwa di hadapan Ibn Abbas Ra. ada seorang yang keram kakinya, lalu berkata Ibn Abbas Ra: “Sebutkanlah nama orang yang paling kau cintai!”. Maka berkata orang itu dengan suara keras: “Muhammad..!”, maka dalam sekejap hilanglah sakit keramnya.” (Diriwayatkan oleh Imam Hakim, Ibn Sunniy, dan diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani dengan sanad hasan) dan riwayat ini pun diriwayatkan oleh Imam an-Nawawi dalam kitab al-Adzkar. Jelaslah sudah bahwa riwayat ini justru bukan mengatakan musyrik pada orang yang memanggil nama seseorang saat dalam keadaan tersulitkan, justru Ibn Abbas Ra. yang mengajari hal ini.
Kita bisa melihat kejadian Tsunami di Aceh beberapa tahun yang silam, bagaimana air laut yang setinggi 30 meter dengan kecepatan 300 km dan kekuatannya ratusan juta ton. Mereka tak menyentuh masjid tua dan makam-makam shalihin, hingga mereka yang lari ke makam shalihin selamat. Inilah bukti bahwa istighatsah dikehendaki oleh Allah Swt. karena kalau tidak lalu mengapa Allah jadikan di makam-makam shalihin itu terdapat benteng yang tak terlihat membentengi air bah itu, yang itu sebagai isyarat Ilahi bahwa demikianlah Allah memuliakan tubuh yang taat pada Nya Swt. tubuh-tubuh tak bernyawa itu Allah jadikan benteng untuk mereka yang hidup, tubuh yang tak bernyawa itu Allah jadikan sumber rahmat dan perlindunganNya kepada mereka-mereka yang berlindung dan lari ke makam mereka.
Kesimpulannya: Mereka yang lari berlindung pada hamba-hamba Allah yang shalih, mereka selamat, mereka yang lari ke masjid-masjid tua yang mana merupakan bekas tempat sujudnya orang-orang shalih maka mereka selamat. Mereka yang lari dengan mobilnya justru tidak selamat, mereka yang lari mencari tim SAR tidak selamat.
Pertanyaannya adalah: Kenapa Allah jadikan makam sebagai perantara perlindunganNya? Kenapa bukan orang yang hidup? Kenapa bukan gunung? Kenapa bukan perumahan? Jawabannya bahwa Allah mengajari penduduk bumi ini beristighatsah pada shalihin. Walillahittaufiq.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar