Kegiatan Rutinitas DTA Nur Shobah Jatibarang Baru
Setiap hari berangkat siang hari dimulai dari jam 14:00 sampai dengan jam 16:30 sore hari kecuali hari jum'at (libur) dan hari Ahad/Minggu (berangkat pagi). Khusus hari Ahad siswa-siswi berangkat mulai jam 07:30 sampai dengan jam 09:00 pagi.
Pelajaran disesuaikan dengan tingkatannya. Mulai dari tingkat TPA A (Taman Pendidikan al-Quran Awal), TPA B (Taman Pendidikan al-Quran Akhir), MDA (Madrasah Diniyah Awaliyah) mulai kelas 1, 2, 3, dan 4 dan yang terakhir tingkat Wustho (Tingkat Menengah).
Setiap selesai pelajaran pada jam awal, siswa-siswi istirahat pada pukul 14:45 disambung dengan shalat Ashar berjamaah. Dan masuk pada jam kedua pukul 15:30 (seusai shalat Ashar).
Pada hari Ahadnya siswa-siswi masuk didahului dengan shalat sunnah Dhuha berjama'ah. Kemudian seusai shalat sunnah berjama'ah siswa-siswi masuk ke kelas masing-masing untuk belajar.
Kamis, 20 September 2012
Minggu, 02 September 2012
BUKU PINTAR BERDEBAT DENGAN WAHHABI
Editor : Sya’roni As-Samfuriy
Penerbit : PUSTAKA MUHIBBIN
BUKU PINTAR BERDEBAT DENGAN WAHHABI
Oleh: KH. Muhammad Idrus Ramli
DAFTAR ISI
1.
Ngalap Barokah…………………….
2.
Allah Maha Suci…………………….
3.
Bid’ah Hasanah…………………….
4.
Otoritas Ulama……………………...
5.
Bukan Ahlussunnah……………….
6.
Menurut Asy-Syathibi………………
7.
Istighatsah dan Tawassul………….
8.
Cerdas Bermadzhab…………………
9.
Tradisi Yasinan……………………..
10.
Permasalahan Tradisi………………
4
BAB I
NGALAP BAROKAH
Dialog Publik di Masjidil Haram
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin
(ulama Wahhabi kontemporer di Saudi Arabia yang sangat populer dan
kharismatik), mempunyai seorang guru yang sangat alim dan kharismatik di
kalangan kaum Wahhabi, yaitu Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di. Ia dikenal
dengan julukan Syaikh Ibnu Sa’di. Ia memiliki banyak karangan, diantaranya yang
paling populer adalah karyanya yang berjudul, Taisir al-Karim ar-Rahman fi
Tafsir Kalam al-Mannan, kitab tafsir setebal 5 jilid, yang mengikuti paradigma
pemikiran Wahhabi. Tafsir ini di kalangan Wahhabi menyamai kedudukan Tafsir
al-Jalalain di kalangan kaum Sunni. Syaikh Ibnu Sa’di dikenal sebagai ulama
Wahhabi yang ekstrem. Namun demikian, terkadang ia mudah insyaf dan mau
mengikuti kebenaran, dari manapun kebenaran itu datangnya.
Suatu ketika, al-Imam as-Sayyid ‘Alwi
bin Abbas al-Maliki al-Hasani (ayahanda as-Sayyid Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki)
sedang duduk-duduk di serambi Masjidil Haram bersama murid-muridnya dalam
halaqah pengajiannya. Di bagian lain serambi Masjidil Haram tersebut, Syaikh Ibnu
Sa’di juga duduk-duduk bersama anak buahnya. Sementara orang-orang di Masjidil
Haram sedang larut dalam ibadah. Ada yang shalat dan ada pula yang thawaf. Pada
saat itu, langit di atas Masjidil Haram diselimuti mendung tebal yang
menggelantung. Sepertinya sebentar lagi hujan lebat akan segera mengguyur tanah
suci umat Islam itu.
Tiba-tiba air hujan itu pun turun
dengan lebatnya. Akibatnya, saluran air di atas Ka’bah mengalirkan air hujan
itu dengan derasnya. Melihat air begitu deras dari saluran air di atas kiblat
kaum Muslimin yang berbentuk kubus itu, orang-orang Hijaz seperti kebiasaan
mereka, segera berhamburan menuju saluran itu dan mengambil air tersebut. Air
itu mereka tuangkan ke baju dan tubuh mereka, dengan harapan mendapatkan berkah
dari air itu.
Melihat kejadian tersebut, para polisi
pamong praja Kerajaan Saudi Arabia, yang sebagian besar berasal dari orang
Baduwi daerah Najd itu, menjadi terkejut dan mengira bahwa orang-orang Hijaz
tersebut telah terjerumus dalam lumpur kesyirikan dan menyembah selain Allah
subhanahu wa ta’ala dengan ngalap barokah dari air itu. Akhirnya para polisi
pamong praja itu menghampiri kerumunan orang-orang Hijaz dan berkata kepada
mereka yang sedang mengambil berkah air hujan yang mengalir dari saluran air
Ka’bah itu, “Hai orang-orang musyrik, jangan lakukan itu. Itu perbuatan
syirik. Itu perbuatan syirik. Hentikan!” Demikian teguran keras para polisi
pamong praja kerajaan Wahhabi itu.
Mendengar teguran para polisi pamong
praja itu, orang-orang Hijaz itu pun segera membubarkan diri dan pergi menuju
Sayyid ‘Alwi yang sedang mengajar murid-muridnya di halaqah tempat beliau
mengajar secara rutin.
Kepada beliau, mereka menanyakan
perihal hukum mengambil berkah dari air hujan yang mengalir dari saluran air di
Ka’bah itu. Ternyata Sayyid ‘Alwi membolehkan dan bahkan mendorong mereka untuk
terus melakukannya. Menerima fatwa Sayyid ‘Alwi yang melegitimasi perbuatan
mereka, akhirnya untuk yang kedua kalinya, orang-orang Hijaz itu pun
berhamburan lagi menuju saluran air di Ka’bah itu, dengan tujuan mengambil
berkah air hujan yang jatuh darinya, tanpa mengindahkan teguran para polisi
Baduwi tersebut.
Bahkan ketika para polisi Baduwi itu
menegur mereka untuk yang kedua kalinya, orang-orang Hijaz itu menjawab, “Kami
tidak peduli teguran Anda, setelah Sayyid ‘Alwi berfatwa kepada kami tentang
kebolehan mengambil berkah dari air ini.”
Akhirnya, melihat orang-orang Hijaz itu
tidak mengindahkan teguran, para polisi Baduwi itu pun segera mendatangi
halaqah Syaikh Ibnu Sa’di, guru mereka. Mereka mengadukan perihal fatwa Sayyid
‘Alwi yang menganggap bahwa air hujan itu ada berkahnya. Akhirnya, setelah
mendengar laporan para polisi Baduwi, yang merupakan anak buahnya itu,
Syaikh Ibnu Sa’di segera mengambil
selendangnya dan bangkit berjalan menghampiri halaqah Sayyid ‘Alwi. Kemudian
dengan perlahan Syaikh Ibn Sa’di itu duduk di sebelah Sayyid ‘Alwi. Sementara
orang-orang dari berbagai golongan, berkumpul mengelilingi kedua ulama besar
itu. Mereka menunggu-nunggu, apa yang akan dibicarakan oleh dua ulama besar
itu.
Dengan penuh sopan santun dan etika
layaknya seorang ulama besar, Syaikh Ibnu Sa’di bertanya kepada Sayyid ‘Alwi: “Wahai
Sayyid, benarkah Anda berkata kepada orang-orang itu bahwa air hujan yang turun
dari saluran air di Ka’bah itu ada berkahnya?”
Mendengar pertanyaan Syaikh Ibn Sa’di,
Sayyid ‘Alwi menjawab: “Benar. Bahkan air tersebut memiliki dua berkah.”
Mendengar jawaban tersebut, Syaikh Ibnu
Sa’di terkejut dan berkata:
“Bagaimana hal itu bisa terjadi?”
Sayyid ‘Alwi menjawab: “Karena Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman dalam KitabNya tentang air hujan: “Dan Kami
turunkan dari langit air yang mengandung berkah.” (QS. 50 ayat 9). Allah
subhanahu wa ta’ala juga berfirman mengenai Ka’bah: “Sesungguhnya rumah yang
pertama kali diletakkan bagi umat manusia adalah rumah yang ada di Bakkah
(Makkah), yang diberkahi (oleh Allah).” (QS. 3 ayat 96). Dengan demikian
air hujan yang turun dari saluran air di atas Ka’bah itu memiliki dua berkah,
yaitu berkah yang turun dari langit dan berkah yang terdapat pada Baitullah
ini.”
Mendengar jawaban tersebut, Syaikh Ibnu
Sa’di merasa heran dan kagum kepada Sayyid ‘Alwi. Kemudian dengan penuh
kesadaran, mulut Syaikh Ibnu Sa’di itu melontarkan perkataan yang sangat mulia,
sebagai pengakuannya akan kebenaran ucapan Sayyid ‘Alwi: “Subhanallah (Maha
Suci Allah), bagaimana kami bisa lalai dari kedua ayat ini.”
Kemudian Syaikh Ibnu Sa’di mengucapkan
terima kasih kepada Sayyid ‘Alwi dan meminta izin untuk meninggalkan halaqah
tersebut. Namun Sayyid ‘Alwi berkata kepada Syaikh Ibnu Sa’di: “Tenang dulu
wahai Syaikh Ibnu Sa’di. Aku melihat para polisi Baduwi itu mengira bahwa apa
yang dilakukan oleh kaum Muslimin dengan mengambil berkah air hujan yang
mengalir dari saluran air di Ka’bah itu sebagai perbuatan syirik. Mereka tidak
akan berhenti mengkafirkan dan mensyirikkan orang dalam masalah ini sebelum
mereka melihat orang seperti Anda melarang mereka. Oleh karena itu, sekarang
bangkitlah Anda menuju saluran air di Ka’bah itu. Lalu ambillah air di situ di
depan para polisi Baduwi itu, sehingga mereka akan berhenti mensyirikkan orang
lain.”
Akhirnya mendengar saran Sayyid ‘Alwi,
Syaikh Ibnu Sa’di segera bangkit menuju saluran air di Ka’bah. Ia basahi
pakaiannya dengan air itu, dan ia pun mengambil air itu untuk diminumnya dengan
tujuan mengambil berkahnya. Melihat tindakan Syaikh Ibnu Sa’di ini, para polisi
Baduwi itu pun akhirnya pergi meninggalkan Masjidil Haram dengan perasaan malu.
Kisah ini disebutkan oleh Syaikh Abdul
Fattah Rawwah, dalam kitab Tsabat (kumpulan sanad-sanad keilmuannya). Beliau
murid Sayyid ‘Alwi al-Maliki dan termasuk salah seorang saksi mata kejadian
itu.
Syaikh Ibn Sa’di sebenarnya seorang
yang sangat alim. Ia pakar dalam bidang tafsir. Apabila berbicara tafsir, ia
mampu menguraikan makna dan maksud ayat al-Qur’an dari berbagai aspeknya di
luar kepala dengan bahasa yang sangat bagus dan mudah dimengerti. Akan tetapi
sayang, ideologi Wahhabi yang diikutinya berpengaruh terhadap paradigma
pemikiran beliau. Aroma Wahhabi sangat kental dengan tafsir yang ditulisnya.
Ngalap Berkah
Berkah (barokah) diartikan dengan
tambahnya kebaikan (ziyadah al-khair). Sedangkan tabarruk bermakna mencari
tambahnya kebaikan atau ngalap barokah (thalab ziyadah al-khair). Demikian para
ulama menjelaskan.
Masyarakat kita seringkali mendatangi
orang-orang saleh dan para ulama sepuh dengan tujuan tabarruk. Para ulama dan
orang saleh memang ada barokahnya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda: “Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam bersabda: “Berkah Allah bersama orang-orang besar di antara
kamu.” (HR. Ibn Hibban no. 1912, Abu Nu’aim dalam al-Hilyah juz 8 halaman
172, al-Hakim dalam al-Mustadrak juz 1 halaman 62 dan adh-Dhiya’ dalam
al-Mukhtarah halaman 64, 35, 2. Al-Hakim berkata, hadits ini shahih sesuai
kriteria al-Bukhari, dan adz-Dzahabi menyetujuinya).
Al-Imam al-Munawi menjelaskan dalam
Faidh al-Qadir, bahwa hadits tersebut mendorong kita mencari berkah Allah
subhanahu wa ta’ala dari orang-orang besar dengan memuliakan dan mengagungkan
mereka. Orang besar di sini bias dalam artian besar ilmunya seperti para ulama,
atau kesalehannya seperti orang-orang saleh. Bisa pula, besar dalam segi usia,
seperti orang-orang yang lebih tua.
Dalam sebuah diskusi di Masjid
At-Taqwa, Denpasar Bali, ada peserta yang bertanya, “Bagaimana Islam
menanggapi orang-orang yang melakukan ziarah ke makam para wali dengan tujuan
mencari berkah?”
Di antara amal yang dapat mendekatkan
seseorang kepada Allah subhanahu wa ta’ala adalah ziarah makam para nabi atau para
wali. Baik ziarah tersebut dilakukan dengan tujuan mengucapkan salam kepada
mereka atau karena tujuan tabarruk (ngalap barokah) dengan berziarah ke makam
mereka. Maksud tabarruk di sini adalah mencari barokah dari Allah subhanahu wa
ta’ala dengan cara berziarah ke makam para wali.
Orang yang berziarah ke makam para wali
dengan tujuan tabarruk, maka ziarah tersebut dapat mendekatkannya kepada Allah
subhanahu wa ta’ala dan tidak menjauhkannya dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Orang yang berpendapat bahwa ziarah wali dengan tujuan tabarruk itu syirik,
jelas keliru. Ia tidak punya dalil, baik dari al-Qur’an maupun dari hadits Nabi
shallallahu alaihi wa sallam.
Al-Hafidz Waliyyuddin al-’Iraqi berkata
ketika menguraikan maksud hadits: “Sesungguhnya Nabi Musa As. berkata, “Ya
Allah, dekatkanlah aku kepada tanah suci sejauh satu lemparan dengan batu.”
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Demi Allah, seandainya aku ada
di sampingnya, tentu aku beritahu kalian letak makam Musa, yaitu di tepi jalan
di sebelah bukit pasir merah.” Ketika menjelaskan maksud hadits tersebut,
al-Hafidz al-’Iraqi berkata: “Hadits tersebut menjelaskan anjuran mengetahui
makam orang-orang saleh untuk dizarahi dan dipenuhi haknya. Nabi
shallallahu alaihi wa sallam telah menyebutkan tanda-tanda makam Nabi
Musa As. yaitu pada makam yang sekarang dikenal masyarakat sebagai makam
beliau. Yang jelas, tempat tersebut adalah makam yang ditunjukkan oleh
Nabi shallallahu alaihi wa sallam.” (Tharh at-Tatsrib, juz 3 halaman 303).
Pada dasarnya ziarah kubur itu sunnat
dan ada pahalanya. Rasulullah Saw. bersabda: “Dulu aku melarang kamu ziarah
kubur. Sekarang ziarahlah.” (HR. Muslim). Dalam satu riwayat, “Barangsiapa
yang henda ziarah kubur maka ziarahlah, karena hal tersebut dapat
mengingatkan kita pada akhirat.” (Riyadh ash-Shalihin bab 66).
Di sini mungkin ada yang bertanya,
adakah dalil yang menunjukkan bolehnya ziarah kubur dengan tujuan tabarruk dan
tawassul?
Sebagaimana dimaklumi, tabarruk itu
punya makna keinginan mendapat berkah dari Allah subhanahu wa ta’ala dengan
berziarah ke makam nabi atau wali. Kemudian para nabi itu meskipun telah pindah
ke alam baka, namun pada hakekatnya mereka masih hidup. Dengan demikian, tidak
mustahil apabila mereka merasakan datangnya orang yang ziarah, maka mereka akan
mendoakan peziarah itu kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Rasulullah Saw. bersabda: “Para nabi
itu hidup di alam kubur mereka seraya menunaikan shalat.” (HR.
al-Baihaqi dalam Hayat al-Anbiya’).
Sebagai penegasan bahwa Nabi Saw. yang
telah wafat, dapat mendoakan orang yang masih hidup, adalah hadits berikut ini:
“Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam bersabda: “Hidupku lebih baik bagi kalian. Kalian berbuat
sesuatu, aku dapat menjelaskan hukumnya. Wafatku juga lebih baik bagi
kalian. Apabila aku wafat, maka amal perbuatan kalian ditampakkan
kepadaku. Apabila aku melihat amal baik kalian, aku akan memuji kepada
Allah. Dan apabila aku melihat sebaliknya, maka aku memintakan ampun
kalian kepada Allah.” (HR. al-Bazzar no. 1925).
Karena keyakinan bahwa para nabi itu
masih hidup di alam kubur mereka, kaum salaf sejak generasi sahabat melakukan
tabarruk dengan Nabi shallallahu alaihi wa sallam setelah beliau wafat. Hakekat
bahwa para nabi dan orang saleh itu masih hidup di alam kubur, sehingga para
peziarah dapat bertabarruk dan bertawassul dengan mereka, telah disebutkan oleh
Syaikh Ibn Taimiyah berikut ini: “Tidak masuk dalam bagian ini (kemungkaran
menurut ulama salaf) adalah apa yang diriwayatkan bahwa sebagian kaum
mendengar jawaban salam dari makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam
atau makam orang-orang saleh, juga Sa’id bin al-Musayyab mendengar adzan
dari makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada malam-malam peristiwa
al-Harrah dan sesamanya. Ini semuanya benar, dan bukan yang kami
persoalkan. Persoalannya lebih besar dan lebih serius dari hal tersebut.
Demikian pula bukan termasuk kemungkaran, adalah apa yang diriwayatkan
bahwa seorang laki-laki datang ke makam Nabi shallallahu alaihi wa
sallam lalu mengadukan musim kemarau kepada beliau pada tahun ramadah
(paceklik). Lalu orang tersebut bermimpi Nabi shallallahu alaihi wa
sallam dan menyuruhnya untuk mendatangi Umar bin al-Khaththab agar
keluar melakukan istisqa’ dengan masyarakat. Ini bukan termasuk kemungkaran.
Hal semacam ini banyak sekali terjadi dengan orang-orang yang kedudukannya
di bawah Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dan aku sendiri banyak
mengetahui peristiwa-peristiwa seperti ini.” (Syaikh Ibn Taimiyah, Iqtidha’
as-Shirath al-Mustaqim juz 1 halaman 373).
Kisah laki-laki yang datang ke makam
Nabi shallallahu alaihi wa sallam di atas, telah dijelaskan secara lengkap oleh
al-Hafidz Ibn Katsir ad-Dimasyqi, murid terkemuka Syaikh Ibn Taimiyah, dalam
kitabnya al-Bidayah wa an-Nihayah. Beliau berkata: “Al-Hafidz Abu Bakar
al-Baihaqi berkata, Abu Nashr bin Qatadah dan Abu Bakar al-Farisi
mengabarkan kepada kami, Abu Umar bin Mathar mengabarkan kepada kami,
Ibrahim bin Ali adz-Dzuhli mengabarkan kepada kami, Yahya bin Yahya mengabarkan
kepada kami, Abu Muawiyah mengabarkan kepada kami, dari al-A’masy, dari Abu
Shalih, dari Malik ad-Dar, bendahara pangan Khalifah Umar bin al-Khaththab,
bahwa musim paceklik melanda kaum Muslimin pada masa Khalifah Umar. Maka
seorang sahabat (yaitu Bilal bin al-Harits al-Muzani) mendatangi makam
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan mengatakan: “Hai Rasulullah,
mohonkanlah hujan kepada Allah untuk umatmu karena sungguh mereka
benar-benar telah binasa”. Kemudian orang ini bermimpi bertemu dengan
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan beliau berkata kepadanya:
“Sampaikan salamku kepada Umar dan beritahukan bahwa hujan akan turun
untuk mereka, dan katakan kepadanya “bersungguh-sungguhlah melayani
umat”. Kemudian sahabat tersebut datang kepada Umar dan memberitahukan
apa yang dilakukannya dan mimpi yang dialaminya. Lalu Umar menangis dan
mengatakan: “Ya Allah, saya akan kerahkan semua upayaku kecuali yang aku
tidak mampu”. Sanad hadits ini shahih. (Al-Hafidz Ibn Katsir, al-Bidayah wa
an-Nihayah juz 7 halaman 92, Jami’ al-Masanid juz 1 halaman 233, Ibn Katsir
berkata: Sanadnya jayyid (baik). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibn Abi
Khaitsamah, lihat al-Ishabah juz 3 halaman 484, al-Khalili dalam al-Irsyad juz
1 halaman 313, Ibn Abd al-Barr dalam al-Isti’ab juz 2 halaman 464 serta
dishahihkan oleh al-Hafidz Ibn Hajar dalam Fath al-Bari juz 2 halaman 495).
Apabila hadits di atas kita cermati
dengan seksama, maka akan kita pahami bahwa sahabat Bilal bin al-Harits
al-Muzani radhiyallahu ‘anhu tersebut dating ke makam Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam dengan tujuan tabarruk, bukan tujuan mengucapkan salam.
Kemudian ketika laki-laki itu melaporkan kepada Sayidina Umar radhiyallahu
‘anhu, ternyata Umar radhiyallahu ‘anhu tidak menyalahkannya. Sayidina Umar
radhiyallahu ‘anhu juga tidak berkata kepada laki-laki itu, “Perbuatanmu ini
syirik”, atau berkata, “Mengapa kamu pergi ke makam Rasul shallallahu
alaihi wa sallam untuk tujuan tabarruk, sedangkan beliau telah wafat dan tidak
bisa bermanfaat bagimu”.
Hal ini menjadi bukti bahwa
bertabarruk dengan para nabi dan wali dengan berziarah ke makam mereka,
itu telah dilakukan oleh kaum salaf sejak generasi sahabat, tabi’in dan penerusnya.
BAB II
ALLAH MAHA SUCI
Allah Ada tanpa Tempat
Keyakinan yang paling mendasar setiap
muslim adalah meyakini bahwa Allah subhanahu wata‘ala Maha Sempurna dan Maha
Suci dari segala kekurangan. Allah subhanahu wata‘ala Maha Suci dari menyerupai
makhlukNya. Allah subhanahu wata‘ala juga Maha Suci dari tempat dan arah. Allah
subhanahu wata‘ala ada tanpa tempat. Demikian keyakinan yang paling mendasar
setiap muslim Ahlussunnah wal Jama’ah.
Dalam ilmu akidah atau teologi,
keyakinan semacam ini dibahasakan, bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala memiliki
sifat Mukhalafatuhu lil-Hawaditsi, yaitu Allah subhanahu wata‘ala wajib tidak
menyerupai makhlukNya.
Ada sebuah dialog yang unik antara
seorang muslim Sunni yang meyakini Allah subhanahu wata‘ala ada tanpa tempat,
dengan seorang Wahhabi yang berkeyakinan bahwa Allah subhanahu wata‘ala
bertempat.
Wahhabi berkata: “Kamu ada pada
suatu tempat. Aku ada pada suatu tempat. Berarti setiap sesuatu yang ada, pasti
ada tempatnya. Kalau kamu berkata, Allah ada tanpa tempat, berarti kamu
berpendapat Allah tidak ada.”
Sunni menjawab: “Sekarang saya akan
bertanya kepada Anda: “Bukankah Allah telah ada tanpa tempat sebelum
diciptakannya tempat?”
Wahhabi menjawab: “Betul, Allah ada
tanpa tempat sebelum terciptanya tempat.”
Sunni berkata: “Kalau memang
wujudnya Allah tanpa tempat sebelum terciptanya tempat itu rasional, berarti rasional
pula dikatakan, Allah ada tanpa tempat setelah terciptanya tempat. Mengatakan
Allah ada tanpa tempat, tidak berarti menafikan wujudnya Allah.”
Wahhabi berkata: “Bagaimana
seandainya saya berkata, Allah telah bertempat sebelum terciptanya tempat?”
Sunni menjawab: “Pernyataan Anda
mengandung dua kemungkinan. Pertama, Anda mengatakan bahwa tempat itu bersifat
azali (tidak ada permulaannya), keberadaannya bersama wujudnya Allah dan bukan
termasuk makhluk Allah. Demikian ini berarti Anda mendustakan firman Allah
subhanahu wata‘ala: “Allah-lah pencipta segala sesuatu.” (QS.
az-Zumar ayat 62). Kemungkinan kedua, Anda berpendapat, bahwa Allah itu
baru, yakni wujudnya Allah terjadi setelah adanya tempat, dengan demikian
berarti Anda mendustakan firman Allah subhanahu wata‘ala: “Dialah (Allah)
Yang Maha Awal (wujudnya tanpa permulaan) dan Yang Maha Akhir (Wujudnya tanpa
akhir).” (QS. al-Hadid ayat 3).
Demikianlah dialog seorang muslim Sunni
dengan orang Wahhabi. Pada dasarnya, pendapat Wahhabi yang meyakini bahwa
wujudnya Allah subhanahu wata‘ala ada dengan tempat dapat menjerumuskan
seseorang keluar dari keyakinan yang paling mendasar setiap muslim,
yaitu Allah subhanahu wata‘ala Maha Suci dari segala kekurangan.
Tidak jarang, kaum Wahhabi menggunakan
ayat-ayat al-Qur’an untuk membenarkan keyakinan mereka, bahwa Allah
subhanahu wata‘ala bertempat di langit. Akan tetapi, dalil-dalil mereka dapat
dengan mudah dipatahkan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang sama.
Ulama Maroko dan Wahhabi Tuna Netra
Al-Hafidz Ahmad bin Muhammad bin
ash-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani adalah ulama ahli hadits yang terakhir
menyandang gelar al-Hafidz (gelar kesarjanaan tertinggi dalam bidang ilmu
hadits). Ia memiliki kisah perdebatan yang sangat menarik dengan kaum Wahhabi.
Dalam kitabnya, Ju’nat al-’Aththar, sebuah autobiografi yang melaporkan
perjalanan hidupnya, beliau mencatat kisah berikut ini:
“Pada tahun 1356 H ketika saya
menunaikan ibadah haji, saya berkumpul dengan tiga orang ulama Wahhabi di rumah
Syaikh Abdullah ash-Shani’ di Mekkah yang juga ulama Wahhabi dari Najd. Dalam
pembicaraan itu, mereka menampilkan seolah-olah mereka ahli hadits, amaliahnya
sesuai dengan hadits dan anti taklid. Tanpa terasa, pembicaraan pun masuk pada
soal penetapan ketinggian tempat Allah subhanahu wata‘ala dan bahwa Allah
subhanahu wata‘ala itu ada di atas ‘Arasy sesuai dengan ideologi Wahhabi.
Mereka menyebutkan beberapa ayat al-Qur’an yang secara literal (dzahir)
mengarah pada pengertian bahwa Allah subhanahu wata‘ala itu ada di atas ‘Arasy
sesuai keyakinan mereka.
Akhirnya saya (al-Ghumari) berkata
kepada mereka: “Apakah ayat-ayat yang Anda sebutkan tadi termasuk bagian
dari al-Qur’an?”
Wahhabi menjawab: “Ya.”
Saya berkata: “Apakah meyakini apa
yang menjadi maksud ayat-ayat tersebut dihukumi wajib?”
Wahhabi menjawab: “Ya.”
Saya berkata: “Bagaimana dengan
firman Allah subhanahu wa ta‘ala: …………………….. Apakah ini termasuk al-Qur’an?”
Wahhabi tersebut menjawab: “Ya,
termasuk al-Qur’an.”
Saya berkata: “Bagaimana dengan
firman Allah subhanahu wata‘ala: “Tiada pembicaraan rahasia antara tiga
orang, melainkan Dia-lah keempatnya….” (QS. al-Mujadilah ayat 7). Apakah
ayat ini termasuk al-Qur’an juga?”
Wahhabi itu menjawab: “Ya, termasuk
al-Qur’an.”
Saya berkata: “(Kedua ayat ini
menunjukkan bahwa Allah subhanahu wata‘ala tidak ada di langit). Mengapa Anda
menganggap ayat-ayat yang Anda sebutkan tadi yang menurut asumsi Anda
menunjukkan bahwa Allah subhanahu wata‘ala ada di langit lebih utama untuk
diyakini dari pada kedua ayat yang saya sebutkan yang menunjukkan bahwa Allah
subhanahu wata‘ala tidak ada di langit? Padahal kesemuanya juga dari Allah
subhanahu wata‘ala?”
Wahhabi itu menjawab: “Imam
Ahmad mengatakan demikian.”
Saya berkata kepada mereka: “Mengapa
kalian taklid kepada Ahmad dan tidak mengikuti dalil?”
Tiga ulama Wahhabi itu pun terbungkam.
Tak satu kalimat pun keluar dari mulut mereka.
Sebenarnya saya menunggu jawaban
mereka, bahwa ayat-ayat yang saya sebutkan tadi harus dita’wil,
sementara ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wata‘ala ada
di langit tidak boleh dita’wil.
Seandainya mereka menjawab demikian,
tentu saja saya akan bertanya kepada mereka, siapa yang mewajibkan
menta’wil ayat-ayat yang saya sebutkan dan melarang menta’wil ayat-ayat
yang kalian sebutkan tadi?
Seandainya mereka mengklaim adanya
ijma’ ulama yang mengharuskan menta’wil ayat-ayat yang saya sebutkan
tadi, tentu saja saya akan menceritakan kepada mereka informasi beberapa
ulama seperti al-Hafidz Ibn Hajar tentang ijma’ ulama salaf untuk tidak
menta’wil semua ayat-ayat sifat dalam al-Qur’an, bahkan yang wajib harus
mengikuti pendekatan tafwidh (menyerahkan pengertiannya kepada Allah
subhanahu wata‘ala).”
Demikian kisah al-Imam al-Hafidz Ahmad
bin ash-Shiddiq al-Ghumari dengan tiga ulama terhebat kaum Wahhabi.
Dialog Terbuka di Surabaya dan Blitar
Pada tahun 2009, saya pernah terlibat
perdebatan sengit dengan seorang Ustadz Salafi berinisial AH di Surabaya.
Beberapa bulan berikutnya saya berdebat lagi dengan Ustadz Salafi di Blitar.
Ustadz tersebut berinisial AH pula, tetapi lain orang.
Dalam perdebatan tersebut saya bertanya
kepada AH: “Mengapa Anda meyakini bahwa Allah subhanahu wata‘ala ada di
langit?”
Menanggapi pertanyaan saya, AH
menyebutkan ayat-ayat al-Qur’an yang menurut asumsinya menunjukkan bahwa
Allah subhanahu wata‘ala ada di langit.
Lalu saya berkata: “Ayat-ayat yang
Anda sebutkan tidak secara tegas menunjukkan bahwa Allah ada di langit. Karena
kosa kata istawa, menurut para ulama memiliki 15 makna. Disamping itu, apabila
Anda berargumentasi dengan ayat-ayat tersebut, maka argumen Anda dapat
dipatahkan dengan ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu
wata‘ala tidak ada di langit. Misalnya Allah subhanahu wa ta‘ala berfirman:
“Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS. al-Hadid ayat 4). Ayat
ini menegaskan bahwa Allah subhanahu wata‘ala bersama kita di bumi, bukan ada
di langit. Dalam ayat lain Allah subhanahu wa ta‘ala berfirman: “Dan
Ibrahim berkata, “Sesungguhnya aku pergi menuju Tuhanku (Palestina), yang akan
memberiku petunjuk.” (QS. ash-Shaffat ayat 99). Dalam ayat ini, Nabi Ibrahim
alaihissalam berkata akan pergi menuju Tuhannya, padahal Nabi Ibrahim
alaihissalam pergi ke Palestina. Dengan demikian, secara literal ayat ini
menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala bukan ada di langit, tetapi ada di
Palestina.”
Setelah saya berkata demikian, AH tidak
mampu menjawab akan tetapi mengajukan dalil lain dan berkata: “Keyakinan
bahwa Allah subhanahu wata‘ala ada di langit telah dijelaskan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih: “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bertanya kepada seorang budak perempuan yang berkulit hitam:
“Allah ada di mana?” Lalu budak itu menjawab: “Allah ada di langit.” Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya; “Saya siapa?” Ia menjawab: “Engkau
Rasul Allah.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada majikan
budak itu, “Merdekakanlah budak ini. Karena ia seorang budak yang mukmin.” (HR.
Muslim).”
Setelah AH berkata demikian, saya
menjawab begini: “Ada tiga tinjauan berkaitan dengan hadits yang Anda
sebutkan.”
Pertama, dari aspek kritisisme ilmu
hadits (naqd al-hadits). Hadits yang Anda sebutkan menurut para ulama tergolong
hadits mudhtharib (hadits yang simpang-siur periwayatannya), sehingga
kedudukannya menjadi lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah. Kesimpangsiuran
periwayatan hadits tersebut, dapat dilihat dari perbedaan setiap perawi dalam
meriwayatkan hadits tersebut. Ada yang meriwayatkan Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam tidak bertanya di mana Allah subhanahu wa ta‘ala. Akan tetapi Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, apakah kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan
selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah.
Kedua, dari segi makna, para ulama
melakukan ta’wil terhadap hadits tersebut dengan mengatakan, bahwa yang
ditanyakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebenarnya adalah bukan
tempat, tetapi kedudukan atau derajat Allah subhanahu wata‘ala.”
Lalu orang tersebut menjawab kedudukan
Allah subhanahu wata‘ala ada di langit, maksudnya Allah subhanahu wa ta‘ala itu
Maha Luhur dan Maha Tinggi.
Ketiga, apabila Anda berargumen
dengan hadits tersebut tentang keyakinan Allah subhanahu wata‘ala ada di
langit, maka argumen Anda dapat dipatahkan dengan hadits lain yang lebih kuat
dan menegaskan bahwa Allah subhanahu wata‘ala tidak ada di langit, bahkan ada
di bumi. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya: “Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat
dahak di arah kiblat, lalu beliau menggosoknya dengan tangannya, dan beliau
kelihatannya tidak menyukai hal itu. Lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya
apabila salah seorang kalian berdiri dalam shalat, maka ia sesungguhnya
berbincang-bincang dengan Tuhannya, atau Tuhannya ada di antara dirinya dan
kiblatnya. Oleh karena itu, janganlah ia meludah ke arah kiblatnya, akan tetapi
meludahlah ke arah kiri atau di bawah telapak kakinya.” (HR. al-Bukhari
no. 405).
Hadits ini menegaskan bahwa Allah
subhanahu wata‘ala ada di depan orang yang sedang shalat, bukan ada di
langit. Hadits ini jelas lebih kuat dari hadits riwayat Muslim, karena
hadits ini riwayat al-Bukhari. Setelah saya menjawab demikian, AH juga
tidak mampu menanggapi jawaban saya. Sepertinya dia merasa kewalahan dan
tidak mampu menjawab. Ia justru mengajukan dalil lain dengan berkata: “Keyakinan
bahwa Allah ada di langit itu ijma’ ulama salaf.”
Lalu saya jawab: “Tadi Anda
mengatakan bahwa dalil keyakinan Allah ada di langit, adalah ayat al-Qur’an.
Kemudian setelah argumen Anda kami patahkan, Anda beragumen dengan hadits. Lalu
setelah argumen Anda kami patahkan lagi, Anda sekarang berdalil dengan ijma’.
Padahal ijma’ ulama salaf sejak generasi sahabat justru meyakini Allah
subhanahu wa ta‘ala tidak bertempat. Al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi berkata
dalam al-Farqu Bayna al-Firaq: “Kaum Muslimin sejak generasi salaf (para
sahabat dan tabi’in) telah bersepakat bahwa Allah tidak bertempat dan tidak
dilalui oleh waktu.” (al-Farq bayna al-Firaq halaman 256). Al-Imam Abu Ja’far
ath-Thahawi juga berkata dalam al-’Aqidah ath-Thahawiyyah, risalah kecil yang
menjadi kajian kaum Sunni dan Wahhabi: “Allah subhanahu wa ta‘ala tidak
dibatasi oleh arah yang enam.”
Setelah saya menjawab demikian kepada
AH, saya bertanya kepada AH: “Menurut Anda, tempat itu makhluk apa bukan?”
AH menjawab: “Makhluk.”
Saya bertanya: “Kalau tempat
itu makhluk, lalu sebelum terciptanya tempat, Allah ada di mana?”
AH menjawab: “Pertanyaan ini tidak
boleh, dan termasuk pertanyaan yang bid’ah.”
Demikian jawaban AH, yang menimbulkan
tawa para hadirin dari semua kalangan pada waktu itu. Kebetulan pada
acara tersebut, mayoritas hadirin terdiri dari kalangan Salafi, anggota
jamaah AH.
Demikianlah, cara dialog orang-orang
Wahhabi. Ketika mereka tidak dapat menjawab pertanyaan, mereka tidak
akan menjawab “Aku tidak tahu” sebagaimana tradisi ulama salaf dulu.
Akan tetapi mereka akan menjawab “Pertanyaanmu bid’ah dan tidak boleh.”
AH sepertinya tidak mengetahui bahwa pertanyaan Allah subhanahu wa
ta‘ala ada di mana sebelum terciptanyan alam, telah ditanyakan oleh para
sahabat kepada Nabi Saw., dan Nabi Saw. tidak berkata kepada mereka,
bahwa pertanyaan tersebut bid’ah atau tidak boleh.
Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam
Shahih-nya: “Imran bin Hushain Ra. berkata: “Aku berada bersama Nabi Saw.,
tiba-tiba datang sekelompok dari penduduk Yaman dan berkata: “Kami
datang untuk belajar agama dan menanyakan tentang permulaan yang ada
ini, bagaimana sesungguhnya?” Rasulullah Saw. menjawab: “Allah telah ada dan
tidak ada sesuatu apapun selain Allah.” (HR. al-Bukhari no. 3191).
Hadits ini menunjukkan bahwa Allah
subhanahu wata‘ala tidak bertempat. Allah subhanahu wata‘ala ada sebelum
adanya makhluk, termasuk tempat. Al-Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dengan
sanad yang hasan dalam as-Sunan berikut ini: “Abi Razin Ra. berkata: “Aku
berkata, wahai Rasulullah, di manakah Tuhan kita sebelum menciptakan
makhlukNya?” Rasulullah Saw. menjawab: “Allah ada tanpa sesuatu apapun yang
menyertainya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada sesuatu.
Lalu Allah menciptakan ‘Arsy di atas air.” Ahmad bin Mani’ berkata, bahwa Yazid
bin Harun berkata, maksud hadits tersebut, Allah ada tanpa sesuatu apapun yang
menyertai (termasuk tempat). At-Tirmidzi berkata: “hadits ini bernilai hasan”. (Sunan
at-Tirmidzi no. 3109).
Dalam setiap dialog yang terjadi antara
Muslim Sunni dengan kaum Wahhabi, pasti kaum Sunni mudah sekali
mematahkan argumen Wahhabi. Ketika Wahhabi mengajukan argumen dari ayat
al-Qur’an, maka dengan mudahnya dipatahkan dengan ayat al-Qur’an yang
lain. Ketika Wahhabi mengajukan argumen dengan hadits Nabi Saw., pasti
kaum Sunni dengan mudahnya mematahkan argumen tersebut dengan hadits
yang lebih kuat. Dan ketika Sunni berargumen dengan dalil rasional,
pasti Wahhabi tidak dapat membantah dan menjawabnya. Keyakinan bahwa
Allah subhanahu wata‘ala ada tanpa tempat adalah keyakinan kaum Muslimin
sejak generasi salaf, kalangan sahabat dan tabi’in. Sayyidina Ali bin
Abi Thalib Ra. berkata: “Allah subhanahu wata‘ala ada sebelum adanya tempat.
Dan keberadaan Allah sekarang, sama seperti sebelum adanya tempat (maksudnya
Allah tidak bertempat).” (al-Farq baina al-Firaq halaman 256).
Syaikh asy-Syanqithi dan Wahhabi Tuna Netra
Ketika orang-orang Wahhabi memasuki
Hijaz dan membantai kaum Muslimin dengan alasan bahwa mereka telah
syirik, sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Nabi Saw. dalam sabdanya,
“Orang-orang Khawarij akan membunuh orang-orang yang beriman dan
membiarkan para penyembah berhala.”
Mereka juga membunuh seorang ulama
terkemuka. Mereka menyembelih Syaikh Abdullah az-Zawawi, guru para ulama
madzhab asy-Syafi’i, sebagaimana layaknya menyembelih kambing. Padahal usia
beliau sudah di atas 90 tahun. Mertua Syaikh az-Zawawi yang juga sudah
memasuki usia senja juga mereka sembelih. Kemudian mereka memanggil
sisa-sisa ulama yang belum dibunuh untuk diajak berdebat tentang tauhid, Asma
Allah subhanahu wata‘ala dan sifat-sifatNya. Ulama yang setuju dengan pendapat
mereka akan dibebaskan. Sedangkan ulama yang membantah pendapat mereka akan
dibunuh atau dideportasi dari Hijaz.
Diantara ulama yang diajak berdebat oleh
mereka adalah Syaikh Abdullah asy-Syanqithi, salah seorang ulama kharismatik
yang dikenal hafal Sirah Nabi Saw. Sedangkan dari pihak Wahhabi yang
mendebatnya, diantaranya seorang ulama mereka yang buta mata dan buta
hati. Kebetulan perdebatan berkisar tentang teks-teks al-Qur’an dan
hadits yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah subhanahu wata‘ala. Mereka
bersikeras bahwa teks-teks tersebut harus diartikan secara literal dan
tekstual, dan tidak boleh diartikan secara kontekstual dan majazi.
Si tuna netra itu juga mengingkari
adanya majaz dalam al-Qur’an. Bahkan lebih jauh lagi, ia menafikan majaz
dalam bahasa Arab, karena taklid buta kepada pendapat Ibn Taimiyah dan
Ibn al-Qayyim.
Lalu Syaikh Abdullah asy-Syanqithi berkata
kepada si tuna netra itu: “Apabila Anda berpendapat bahwa majaz itu
tidak ada dalam al-Qur’an, maka sesungguhnya Allah subhanahu wata‘ala
telah berfirman dalam al-Qur’an: “Dan barangsiapa yang buta di dunia ini,
niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari
jalan (yang benar).” (QS. al-Isra’ ayat 72). Berdasarkan ayat di atas, apakah
Anda berpendapat bahwa setiap orang yang tuna netra di dunia, maka di akhirat
nanti akan menjadi lebih buta dan lebih tersesat, sesuai dengan pendapat Anda
bahwa dalam al-Qur’an tidak ada majaz?”
Mendengar sanggahan Syaikh
asy-Syanqithi, ulama Wahhabi yang tuna netra itu pun tidak mampu
menjawab. Ia hanya berteriak dan memerintahkan anak buahnya agar
Syaikh asy-Syanqithi dikeluarkan dari majlis perdebatan. Kemudian si
tuna netra itu meminta kepada Ibn Saud agar mendeportasi asy-Syanqithi dari
Hijaz. Akhirnya ia pun dideportasi ke Mesir. Kisah ini dituturkan oleh
al-Hafidz Ahmad al-Ghumari dalam kitabnya, Ju’nat al-’Aththar.
Al-Imam al-Bukhari dan Ta’wil
Kalau kita mengamati dengan seksama,
perdebatan orang-orang Wahhabi dengan para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah, akan
mudah kita simpulkan, bahwa kaum Wahhabi seringkali mengeluarkan vonis hukum
tanpa memiliki dasar ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Bahkan tidak
jarang, pernyataan mereka dapat menjadi senjata untuk memukul balik pandangan
mereka sendiri.
Ustadz Syafi’i Umar Lubis dari Medan
bercerita kepada saya: “Ada sebuah pesantren di kota Siantar, Siamlungun,
Sumatera Utara. Pesantren itu bernama Pondok Pesantren Darus Salam. Setiap
tahun, Pondok tersebut mengadakan Maulid Nabi Saw. dengan mengundang sejumlah
ulama dari berbagai daerah termasuk Medan dan Aceh. Acara puncak biasanya
ditaruh pada siang hari. Malam harinya diisi dengan diskusi. Pada Maulid Nabi
Saw. tahun 2010 ini saya dan beberapa orang ustadz diminta sebagai pembicara
dalam acara diskusi. Kebetulan diskusi kali ini membahas tentang Salafi apa dan
mengapa, dengan judul Ada Apa Dengan Salafi? Setelah presentasi tentang aliran
Salafi selesai, lalu tibalah sesi tanya jawab. Ternyata dalam sesi tanya jawab
ini ada orang yang berpakaian gamis mengajukan keberatan dengan pernyataan saya
dalam memberikan keterangan tentang Salafi, antara lain berkaitan dengan
ta’wil.
Orang Salafi tersebut mengatakan: “Al-Qur’an
itu diturunkan dengan bahasa Arab. Sudah barang tentu harus kita fahami sesuai
dengan bahasa Arab pula”.
Pernyataan orang Salafi itu, saya
dengarkan dengan cermat. Kemudian dia melanjutkan keberatannya dengan berkata: “Ayat-ayat
al-Qur’an itu tidak perlu dita’wil dan ini pendapat Ahlussunnah”.
Setelah diselidiki, ternyata pemuda
Salafi itu bernama Sofyan. Ia berprofesi sebagai guru di lembaga As-Sunnah,
sebuah lembaga pendidikan orang-orang Wahhabi atau Salafi. Mendengar pernyataan
Sofyan yang terakhir, saya bertanya: “Apakah Anda yakin bahwa al-Imam
al-Bukhari itu ahli hadits?”
Sofyan menjawab: “Ya, tidak
diragukan lagi, beliau seorang ahli hadits.”
Saya bertanya: “Apakah al-Bukhari
penganut faham Ahlussunnah wal Jama’ah?”
Sofyan menjawab: “Ya.”
Saya berkata: “Apakah al-Albani
seorang ahli hadits?”
Sofyan menjawab: “Ya, dengan
karya-karya yang sangat banyak dalam bidang hadits, membuktikan bahwa beliau
juga ahli hadits.”
Saya berkata: “Kalau benar
al-Bukhari menganut Ahlussunnah, berarti al-Bukhari tidak melakukan ta’wil.
Bukankah begitu keyakinan Anda?”
Sofyan menjawab: “Benar begitu.”
Saya berkata: “Saya akan membuktikan
kepada Anda, bahwa al-Bukhari juga melakukan ta’wil.”
Sofyan berkata: “Mana buktinya?”
Mendengar pertanyaan Sofyan,
saya langsung membuka Shahih al-Bukhari tentang ta’wil yang beliau lakukan
dan memberikan photo copynya kepada anak muda itu. Saya berkata: “Anda lihat
pada halaman ini, al-Imam al-Bukhari mengatakan: “Bab tentang ayat: Segala
sesuatu akan hancur kecuali WajahNya, artinya KekuasaanNya.” Nah, kata
WajahNya, oleh al-Imam al-Bukhari diartikan dengan mulkahu, artinya
kekuasaanNya. Kalau begitu al-Imam al-Bukhari melakukan ta’wil terhadap ayat
ini. Berarti, menurut logika Anda, al-Bukhari seorang yang sesat, bukan
Ahlussunnah. Anda setuju bahwa al-Bukhari bukan Ahlussunnah dan pengikut aliran
sesat?”.
Mendengar pertanyaan saya, Sofyan hanya
terdiam. Sepatah katapun tidak terlontar dari lidahnya. Kemudian saya
berkata: “Kalau begitu, sejak hari ini, sebaiknya Anda jangan memakai hadits
al-Bukhari sebagai rujukan. Bahkan Syaikh al-Albani, orang yang saudara puji
itu, dan orang-orang Salafi memujinya dan menganggapnya lebih hebat dari
al-Imam al-Bukhari sendiri. Al-Albani telah mengkritik al-Imam al-Bukhari
dengan kata-kata yang tidak pantas. Al-Albani berkata: “Pendapat al-Bukhari
yang melakukan ta’wil terhadap ayat di atas ini tidak sepatutnya diucapkan oleh
seorang Muslim yang beriman”. Inilah komentar Syaikh Anda, al-Albani tentang
ta’wil al-Imam al-Bukhari ketika menta’wil ayat “Segala sesuatu akan hancur
kecuali WajahNya”. Secara tidak langsung, seolah-olah al-Albani mengatakan
bahwa ta’wilan al-Imam al-Bukhari tersebut pendapat orang kafir. Kemudian saya
mengambil photo copy buku fatwa al-Albani dan saya serahkan kepada anak muda
Salafi ini. Ia pun diam seribu bahasa.”
Demikian kisah yang dituturkan oleh
Syafi’i Umar Lubis dari Medan, seorang ulama muda yang kharismatik dan
bersemangat dalam membela Ahlussunnah wal Jama’ah.
Ta’wil Imam Ahmad bin Hanbal
Ta’wil tehadap teks-teks mutasyabihat telah
dilakukan oleh para ulama salaf, diantaranya Imam Malik bin Anas, Imam Ahmad
bin Hanbal, dan lain-lain. Akan tetapi kaum Wahhabi seringkali mengingkari
fakta-fakta tersebut dengan berbagai macam alasan yang tidak ilmiah dan selalu
dibuat-buat.
Seorang teman saya, berinisial AD
menceritakan pengalamannya ketika berdialog dengan AM, tokoh Wahhabi kelahiran
Sumatera yang sekarang tinggal di Jember. AD bercerita begini:
“Sekitar bulan Maret tahun 2010 lalu,
saya mengikuti suatu acara di Jakarta Selatan. Acara tersebut diadakan oleh
salah satu ormas Islam di Indonesia. Dalam acara itu, ada seorang pemateri
Wahhabi yang berasal dari Sumatera dan saat ini tinggal di Jember. Diantara
materi yang disampaikannya adalah persoalan ta’wil. Dalam pandangannya, ta’wil
atas ayat-ayat mutasyabihat tidak boleh dilakukan. Sehingga dengan asumsi
demikian, ia meyakini bahwa Allah subhanahu wata‘ala itu bertempat atau berada
di atas ‘Arsy. Dia menggunakan ayat “ar-Rahman ‘ala al-‘Arsy istawa”
(QS. Thaha ayat 5). Lalu saya mengajukan beberapa ayat lain yang justru
menunjukkan kalau Allah subhanahu wata‘ala tidak ada di atas ‘Arasy.
Akibatnya, terjadiah dialog sengit
antara saya dengan Ustadz lulusan Madinah tersebut. Lalu setelah itu, saya
membeberkan fakta dan data-data akurat bahwa tradisi ta’wil sudah biasa
dilakukan oleh ulama salaf. Salah satunya adalah ta’wil yang dilakukan oleh
Imam Ahmad bin Hanbal atas ayat “wa jaa-a rabbuka wal malaku
shaffan-shaffan” (QS. al-Fajr ayat 22). Imam Ahmad mentakwil ayat tersebut
dengan jaa-a tsawaabuhu waqhadha-uhu (datangnya pahala dan ketetapan
Allah subhanahu wata‘ala).
Setelah itu, Ustadz Ali Musri mencari
ta’wil Imam Ahmad tersebut di software Maktabah Syamilah. Setelah dia
menemukannya, dia membacakan komentar Imam al-Baihaqi yang berbunyi hadza
al-isnad la ghubara ‘alaih (sanad ini tidak ada nodanya alias bersih) yang
menunjukkan bahwa sanadnya memang shahih.
Ternyata, aneh sekali, Ustadz tersebut
tertawa dan menganggap bahwa komentar atau penilaian al-Baihaqi yang berupa
redaksi hadza al-isnad la ghubara ’alaih tersebut sebagai shighat
(redaksi) yang menunjukkan atas kelemahan suatu sanad. Saya juga heran, mengapa
Ustadz lulusan Madinah tersebut tidak begitu memahami istilah-istilah yang
biasa dipakai oleh para ahli hadits. Ia tidak mengerti bahwa pernyataan
al-Baihaqi yang berbunyi hadza al-isnad la ghubara ’alaih bermakna bahwa
sanad riwayat ini tidak ada nodanya sama sekali, alias shahih. Sayangnya,
berhubung waktu yang disediakan oleh panitia dan moderator telah habis, saya
tidak bisa membantah dan mengomentari kembali pernyataan pemateri itu.”
Demikian kisah AD, kepada saya secara pribadi.
BAB III
BID’AH HASANAH
Bid’ah Hasanah dan Dalilnya
Bid’ah hasanah adalah persoalan yang
tidak pernah selesai dibicarakan. Hal ini disamping karena banyak inovasi
amaliah kaum Muslimin yang tercover dalam bingkai bid’ah hasanah, juga karena
adanya kelompok minoritas umat Islam yang sangat kencang menyuarakan tidak
adanya bid’ah hasanah dalam Islam.
Akhirnya kontroversi bid’ah hasanah ini
selalu menjadi aktual untuk dikaji dan dibicarakan. Toh walaupun sebenarnya
khilafiyah tentang pembagian bid’ah menjadi dua, antara bid’ah hasanah dan
bid’ah sayyi’ah, tidak perlu terjadi. Karena disamping dalil-dalil Sunnah
Rasulullah Saw. Yang menunjukkan adanya bid’ah hasanah cukup banyak dan sangat
kuat, juga karena konsep bid’ah hasanah telah diakui sejak generasi sahabat
pada masa Khulafaur Rasyidin. Namun apa boleh dikata, kelompok yang anti bid’ah
hasanah tidak pernah bosan dan lelah untuk membicarakannya.
Dalam sebuah diskusi dengan tema
Membedah Kontroversi Bid’ah, yang diadakan oleh MPW Fahmi Tamami Provinsi Bali,
di Denpasar, pada bulan Juli 2010, saya terlibat dialog cukup tajam dengan
beberapa tokoh Salafi yang hadir dalam acara tersebut. Dalam acara itu, saya
menjelaskan, bahwa pembagian bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah
sayyi’ah, merupakan keharusan dan keniscayaan dari pengamalan sekian banyak
hadits Rasulullah Saw. yang shahih dan terdapat dalam kitab-kitab hadits yang
otoritatif (mu’tabar). Karena meskipun Rasulullah Saw. bersabda: “Sebaik-baik
ucapan adalah kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad.
Sejelek-jelek perkara, adalah perkara yang baru. Dan setiap bid’ah itu
kesesatan.” (HR. Muslim no. 867).
Ternyata Rasulullah Saw. juga bersabda:
“Barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan
memperoleh pahalanya serta pahala orang-orang yang melakukannya
sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barangsiapa
yang memulai perbuatan jelek dalam Islam, maka ia akan memperoleh
dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa
dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.” (HR. Muslim no. 1017).
Dalam hadits pertama, Rasulullah Saw.
menegaskan, bahwa setiap bid’ah adalah sesat. Tetapi dalam hadits kedua,
Rasulullah Saw. menegaskan pula, bahwa barangsiapa yang memulai perbuatan baik
dalam Islam, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang
melakukannya sesudahnya. Dengan demikian, hadits kedua jelas membatasi jangkauan
makna hadits pertama “kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat)”
sebagaimana dikatakan oleh al-Imam an-Nawawi dan lain-lain. Karena dalam hadits
kedua, Nabi Saw. menjelaskan dengan redaksi, maksudnya baik perbuatan yang dimulai
tersebut pernah dicontohkan dan pernah ada pada masa Nabi Saw., atau belum
pernah dicontohkan dan belum pernah ada pada masa Nabi Saw.
Di sisi lain, Rasulullah Saw.
Seringkali melegitimasi beragam bentuk inovasi amaliah para sahabat yang belum
pernah diajarkan oleh beliau. Misalnya berkaitan dengan tatacara ma’mum masbuq
dalam shalat berjamaah dalam hadits shahih berikut ini: “Abdurrahman bin Abi
Laila berkata: “Pada masa Rasulullah Saw., bila seseorang datang terlambat
beberapa rakaat mengikuti shalat berjamaah, maka orang-orang yang lebih dulu
datang akan memberi isyarat kepadanya tentang rakaat yang telah dijalani,
sehingga orang itu akan mengerjakan rakaat yang tertinggal itu terlebih dahulu,
kemudian masuk ke dalam shalat berjamaah bersama mereka. Pada suatu hari Mu’adz
bin Jabal datang terlambat, lalu orang-orang mengisyaratkan kepadanya tentang
jumlah rakaat shalat yang telah dilaksanakan, akan tetapi Mu’adz langsung masuk
dalam shalat berjamaah dan tidak menghiraukan isyarat mereka, namun setelah
Rasulullah Saw. selesai shalat, maka Mu’adz segera mengganti rakaat yang
tertinggal itu. Ternyata setelah Rasulullah Saw. selesai shalat, mereka
melaporkan perbuatan Mu’adz bin Jabal yang berbeda dengan kebiasaan mereka.
Lalu beliau Saw. menjawab: “Mu’adz telah memulai cara yang baik buat shalat
kalian.” Dalam riwayat Mu’adz bin Jabal, beliau Saw. bersabda; “Mu’adz telah
memulai cara yang baik buat shalat kalian. Begitulah cara shalat yang harus
kalian kerjakan”. (HR. al-Imam Ahmad juz 5 halaman 233), Abu Dawud, Ibn Abi
Syaibah dan lain-lain. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Hafidz Ibn Daqiq
al-’Id dan al-Hafidz Ibn Hazm al-Andalusi).
Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat
perkara baru dalam ibadah, seperti shalat atau lainnya, apabila sesuai dengan
tuntunan syara’. Dalam hadits ini, Nabi Saw. tidak menegur Mu’adz dan tidak
pula berkata, “Mengapa kamu membuat cara baru dalam shalat sebelum bertanya
kepadaku?”, bahkan beliau membenarkannya, karena perbuatan Mu’adz sesuai dengan
aturan shalat berjamaah, yaitu makmum harus mengikuti imam.
Dalam hadits lain diriwayatkan:
“Rifa’ah bin Rafi’ Ra. berkata: “Suatu ketika kami shalat bersama Nabi
Saw. Ketika beliau bangun dari ruku’, beliau berkata: “sami’allahu liman
hamidah”. Lalu seorang laki-laki di belakangnya berkata: “rabbana walakalhamdu
hamdan katsiran thayyiban mubarakan fih”. Setelah selesai shalat, beliau
bertanya: “Siapa yang membaca kalimat tadi?” Laki-laki itu menjawab:
“Saya”. Beliau bersabda: “Aku telah melihat lebih 30 malaikat berebutan
menulis pahalanya”. (HR. al-Bukhari no. 799).
Kedua sahabat di atas mengerjakan
perkara baru yang belum pernah diterimanya dari Nabi Saw., yaitu menambah
bacaan dzikir dalam i’tidal. Ternyata Nabi Saw. membenarkan perbuatan mereka,
bahkan member kabar gembira tentang pahala yang mereka lakukan, karena
perbuatan mereka sesuai dengan syara’, dimana dalam i’tidal itu tempat memuji
kepada Allah. Oleh karena itu al-Imam al-Hafidz Ibn Hajar al-’Asqalani
menyatakan dalam Fath al-Bari juz 2 halaman 267, bahwa hadits ini menjadi dalil
bolehnya membuat dzikir baru dalam shalat, selama dzikir tersebut tidak
menyalahi dzikir yang ma’tsur (datang dari Nabi Saw.), dan bolehnya mengeraskan
suara dalam bacaan dzikir selama tidak mengganggu orang lain.
Seandainya hadits “kullu bid’atin
dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat)”, bersifat umum tanpa pembatasan,
tentu saja Rasulullah Saw. Akan melarang setiap bentuk inovasi dalam agama
ketika beliau masih hidup.
Selanjutnya pembagian bid’ah menjadi
dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, juga dilakukan oleh para sahabat Nabi
Saw., termasuk Khulafaur Rasyidin. Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya:
“Abdurrahman bin Abd al-Qari berkata: “Suatu malam di bulan Ramadhan aku pergi
ke masjid bersama Umar bin al-Khaththab. Ternyata orang-orang di masjid berpencar-pencar
dalam sekian kelompok. Ada yang shalat sendirian. Ada juga yang shalat
menjadi imam beberapa orang. Lalu Umar Ra. berkata: “Aku berpendapat, andaikan
mereka aku kumpulkan dalam satu imam, tentu akan lebih baik”. Lalu
beliau mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab. Malam berikutnya, aku ke
masjid lagi bersama Umar bin al-Khaththab, dan mereka melaksanakan
shalat bermakmum pada seorang imam. Menyaksikan hal itu, Umar berkata:
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Tetapi menunaikan shalat di akhir malam,
lebih baik daripada di awal malam”. Pada waktu itu, orang-orang menunaikan
tarawih di awal malam.” (HR. al-Bukhari no. 2010).
Rasulullah Saw. tidak pernah
menganjurkan shalat Tarawih secara berjamaah. Beliau hanya melakukannya
beberapa malam, kemudian meninggalkannya. Beliau tidak pernah pula melakukannya
secara rutin setiap malam. Tidak pula mengumpulkan mereka untuk melakukannya.
Demikian pula pada masa Khalifah Abu Bakar Ra. Kemudian Umar Ra. Mengumpulkan
mereka untuk melakukan shalat Tarawih pada seorang imam dan menganjurkan mereka
untuk melakukannya. Apa yang beliau lakukan ini tergolong bid’ah. Tetapi bid’ah
hasanah, karena itu beliau mengatakan: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”.
Al-Bukhari meriwayatkan dalam
Shahihnya: “As-Sa’ib bin Yazid Ra. berkata: “Pada masa Rasulullah Saw., Abu
Bakar dan Umar adzan Jum’at pertama dilakukan setelah imam duduk di atas
mimbar. Kemudian pada masa Utsman Ra., dan masyarakat semakin banyak, maka
beliau menambah adzan ketiga di atas Zaura’, yaitu nama tempat di Pasar
Madinah.” (HR. al-Bukhari no. 916).
Pada masa Rasulullah Saw., Abu Bakar dan Umar adzan
Jum’at dikumandangkan apabila imam telah duduk di
atas mimbar. Pada masa Utsman, kota Madinah
semakin luas, populasi penduduk semakin meningkat, sehingga mereka perlu mengetahui dekatnya waktu Jum’at
sebelum imam hadir ke mimbar. Lalu Utsman
menambah adzan pertama, yang dilakukan di Zaura’, tempat di Pasar Madinah, agar mereka segera berkumpul untuk
menunaikan shalat Jum’at, sebelum imam hadir
ke atas mimbar. Semua sahabat yang ada pada
waktu itu menyetujuinya. Apa yang beliau lakukan ini termasuk bid’ah, tetapi bid’ah hasanah dan dilakukan hingga sekarang oleh
kaum Muslimin. Benar pula menamainya dengan
sunnah, karena Utsman termasuk Khulafaur Rasyidin yang sunnahnya harus diikuti berdasarkan hadits sebelumnya.
Selanjutnya, beragam inovasi dalam
amaliah keagamaan juga dipraktekkan oleh para sahabat secara
individu. Dalam kitab-kitab hadits diriwayatkan, beberapa sahabat seperti Umar bin al-Khaththab, Abdullah bin Umar,
Anas bin Malik, al-Hasan bin Ali dan lain-lain menyusun doa talbiyahnya ketika
menunaikan ibadah haji berbeda dengan redaksi
talbiyah yang datang dari Nabi Saw. Para ulama ahli hadits seperti al-Hafidz
al-Haitsami meriwayatkan dalam Majma’ az-Zawaid, bahwa Anas bin Malik dan
al-Hasan al-Bashri melakukan shalat Qabliyah dan Ba’diyah shalat Idul Fitri dan
Idul Adhha.
Berangkat dari sekian banyak
hadits-hadits shahih di atas, serta perilaku para sahabat, para ulama akhirnya
berkesimpulan bahwa bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah
sayyi’ah. Al-Imam asy-Syafi’i, seorang mujtahid pendiri madzhab asy-Syafi’i
berkata: “Bid’ah (muhdatsat) ada dua macam; pertama, sesuatu yang baru yang
menyalahi al-Qur’an atau Sunnah atau Ijma’, dan itu disebut bid’ah dhalalah
(tersesat). Kedua,sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi
al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela”. (Al-Baihaqi,
Manaqib as-Syafi’i juz 1 halaman 469).
Pernyataan al-Imam asy-Syafi’i ini juga
disetujui oleh Syaikh Ibn Taimiyah al-Harrani dalam kitabnya, Majmu’ Fatawa
Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah juz 20 halaman 163.
Setelah saya memaparkan penjelasan di
atas, Ustadz Husni Abadi, pembicara yang mewakili kaum Salafi pada waktu itu,
tidak mampu membantah dalil-dalil yang saya ajukan. Anehnya ia justru
mengajukan dalil-dalil lain yang menurut asumsinya menunjukkan tidak adanya
bid’ah hasanah.
Seharusnya dalam sebuah perdebatan,
pihak penentang (mu’taridh) melakukan bantahan terhadap dalil-dalil yang
diajukan oleh pihak lawan, sebagaimana diterangkan dalam ilmu Ushul Fiqih.
Apabila pihak penentang tidak mampu mematahkan dalil-dalil pihak lawan, maka
argumentasi pihak tersebut harus diakui benar dan shahih.
Ustadz Husni Abadi berkata: “Ustadz,
dalam soal ibadah kita tidak boleh membuat-buat sendiri. Kita terikat dengan
kaidah al-ashlu fi al-‘ibadah al-buthlan hatta yadulla ad-dalil ‘ala al-’amal,
(hukum asal dalam sebuah ibadah adalah batal, sebelum ada dalil yang
menunjukkan kebenaran mengamalkannya)”.
Mendengar pernyataan Ustadz Husni, saya
menjawab: “Kaidah yang Anda sebutkan tidak dikenal dalam ilmu fiqih. Dan
seandainya kaidah yang Anda sebutkan ada dalam ilmu fiqih, maka kaidah tersebut
tidak menolak adanya bid’ah hasanah. Karena Anda tadi mengatakan, bahwa dalam
soal ibadah tidak boleh membuat-buat sendiri. Maksud Anda tidak boleh membuat
bid’ah hasanah. Lalu Anda berargumen dengan kaidah, hukum asal dalam sebuah
ibadah adalah batal, sebelum ada dalil yang menunjukkan kebenaran
mengamalkannya. Tadi sudah kami buktikan, bahwa bid’ah hasanah banyak sekali
dalilnya. Berarti, kaidah Anda membenarkan mengamalkan bid’ah hasanah, karena
dalilnya jelas.”
HA berkata: “Ustadz, dalam surat
al-Maidah ayat 3 disebutkan: “Pada hari ini aku sempurnakan bagimu agamamu
dan aku sempurnakan bagimu nikmatKu.” Ayat di atas menegaskan bahwa Islam telah
sempurna. Dengan demikian, orang yang melakukan bid’ah hasanah berarti
berasumsi bahwa Islam belum sempurna, sehingga masih perlu disempurnakan dengan
bid’ah hasanah.”
Saya menjawab: “Ayat 3 dalam surat
al-Maidah yang Anda sebutkan tidak berkaitan dengan bid’ah hasanah. Karena yang
dimaksud dengan penyempurnaan agama dalam ayat tersebut, seperti dikatakan oleh
para ulama tafsir, adalah bahwa Allah subhanahu wata’ala telah menyempurnakan
kaidah-kaidah agama. Seandainya yang dimaksud dengan ayat tersebut, tidak boleh
melakukan bid’ah hasanah, tentu saja para sahabat sepeninggal Rasulullah Saw.
tidak akan melakukan bid’ah hasanah. Sayidina Abu Bakar menghimpun al-Qur’an,
Sayyidina Umar menginstruksikan shalat Tarawih secara berjamaah, dan Sayyidina
Utsman menambah adzan Jum’at menjadi dua kali, serta beragam bid’ah hasanah
lainnya yang diterangkan dalam kitab-kitab hadits. Dalam hal ini tak seorang
pun dari kalangan sahabat yang menolak hal-hal baru tersebut dengan alasan ayat
3 surat al-Maidah tadi. Jadi, ayat yang Anda sebutkan tidak ada kaitannya
dengan bid’ah hasanah. Justru bid’ah hasanah masuk dalam kesempurnaan agama,
karena dalil-dalilnya terdapat dalam sekian banyak hadits Rasul Saw. dan perilaku
para sahabat.”
HA berkata: “Ustadz, hadits Jarir
bin Abdullah al-Bajali, tidak tepat dijadikan dalil bid’ah hasanah. Karena
hadits tersebut jelas membicarakan sunnah Rasul Saw. Bukankah redaksinya
berbunyi, man sanna fi al-Islaam sunnatan hasanatan. Disamping itu, hadits
tersebut mempunyai latar belakang, yaitu anjuran sedekah. Dan sudah maklum
bahwa sedekah memang ada tuntunannya dalam al-Qur’an dan Sunnah. Jadi hadits
yang Ustadz jadikan dalil bid’ah hasanah tidak proporsional.”
Saya menjawab: “Untuk memahami
hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut kita harus berpikir jernih dan
teliti. Pertama, kita harus tahu bahwa yang dimaksud dengan sunnah dalam teks
hadits tersebut adalah sunnah secara lughawi (bahasa). Secara bahasa, sunnah
diartikan dengan ath-thariqah mardhiyyatan kanat au ghaira mardhiyyah (perilaku
dan perbuatan, baik perbuatan yang diridhai ataupun tidak). Sunnah dalam teks
hadits tersebut tidak bisa dimaksudkan dengan Sunnah dalam istilah ilmu hadits,
yaitu maa jaa-a ‘aninnabiy shallallahu alaihi wa sallam min qaulin au fi’lin au
taqrir (segala sesuatu yang datang dari Nabi Saw., baik berupa ucapan,
perbuatan maupun pengakuan). Sunnah dengan definisi terminologis ahli hadits
seperti ini, berkembang setelah abad kedua Hijriah. Seandainya, Sunnah dalam
teks hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut dimaksudkan dengan Sunnah
Rasul Saw. dalam terminologi ahli hadits, maka pengertian hadits tersebut akan
menjadi kabur dan rancu. Coba kita amati, dalam teks hadits tersebut ada dua
kalimat yang belawanan, pertama kalimat man sanna sunnatan hasanatan. Dan
kedua, kalimat berikutnya yang berbunyi man sanna sunnatan sayyi’atan. Nah,
kalau kosa kata Sunnah dalam teks hadits tersebut kita maksudkan pada Sunnah
Rasul Saw. Dalam terminologi ahli hadits tadi, maka akan melahirkan sebuah
pengertian bahwa Sunnah Rasul Saw. itu ada yang hasanah (baik) dan ada yang
sayyi’ah (jelek). Tentu saja ini pengertian sangat keliru. Oleh karena itu,
para ulama seperti al-Imam an-Nawawi menegaskan, bahwa hadits man sanna fi
al-islam sunnatan hasanatan, membatasi jangkauan makna hadits kullu bid’atin
dhalalah, karena makna haditsnya sangat jelas, tidak perlu disangsikan.
Selanjutnya, alasan Anda bahwa konteks yang menjadi latar belakang (asbab
al-wurud) hadits tersebut berkaitan dengan anjuran sedekah, maka alasan ini
sangat lemah sekali. Bukankah dalam ilmu Ushul Fiqih telah kita kenal kaidah
al-’ibrah bi ’umum al-lafdzi la bi khusush as-sabab, (peninjauan dalam makna
suatu teks itu tergantung pada keumuman kalimat, bukan melihat pada konteksnya
yang khusus).”
HA berkata: “Ustadz, menurut al-Imam
Ibn Rajab, bid’ah hasanah itu tidak ada. Yang namanya bid’ah itu pasti sesat.”
Saya menjawab: “Maaf, Anda salah
dalam mengutip pendapat al-Imam Ibn Rajab al-Hanbali. Justru al-Imam Ibn Rajab
itu mengakui bid’ah hasanah. Hanya saja beliau tidak mau menamakan bid’ah
hasanah dengan bid’ah, tetapi beliau namakan Sunnah. Jadi hanya perbedaan
istilah saja. Sebagai bukti, bahwa Ibn Rajab menerima bid’ah hasanah, dalam
kitabnya, Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam fi Syarth Khamsin Haditsan min Jamawi’
al-Kalim, beliau mengutip pernyataan al-Imam asy-Syafi’i yang membagi bid’ah
menjadi dua. Dan seandainya al-Imam Ibn Rajab memang berpendapat seperti yang
Anda katakan, kita tidak akan mengikuti beliau, tetapi kami akan mengikuti
Rasulullah Saw. dan para sahabat yang mengakui adanya bid’ah hasanah.”
HA berkata: “Ustadz, dalil-dalil
yang Anda ajukan dari Khulafaur Rasyidin, seperti dari Khalifah Umar, Utsman
dan Ali, itu tidak bisa dijadikan dalil bid’ah hasanah. Karena mereka termasuk
Khulafaur Rasyidin. Dan Rasulullah Saw. telah memerintahkan kita mengikuti
Khulafaur Rasyidin, dalam hadits ‘alaikum bisunnati wa sunnatil khulafair
rasyidin al-mahdiyyin (ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang
memperoleh petunjuk). Dengan demikian, apa yang mereka lakukan sebenarnya
termasuk Sunnah berdasarkan hadits ini.”
Saya menjawab: “Ustadz Husni yang
saya hormati, menurut hemat kami sebenarnya yang tidak mengikuti Khulafaur
Rasyidin itu orang yang menolak bid’ah hasanah seperti Anda. Karena Khulafaur
Rasyidin sendiri melakukan bid’ah hasanah. Rasulullah Saw. memerintahkan kita
mengikuti Khufaur Rasyidin. Sementara Khulafaur Rasyidin melakukan bid’ah
hasanah. Berarti Rasulullah Saw. memerintahkan kita melakukan bid’ah hasanah.
Dengan demikian kami yang berpendapat dengan adanya bid’ah hasanah itu
sebenarnya mengikuti Rasulullah Saw. dan Khulafaur Rasyidin. Oleh karena itu,
mari kita ikuti Rasulullah Saw. dan Khulafaur Rasyidin dengan melakukan bid’ah
hasanah sebanyak-banyaknya.”
HA berkata: “Ustadz Idrus, kalau
Anda mengatakan bahwa hadits kullu bid’atin dhalalah maknanya terbatas dengan
artian bahwa sebagian bid’ah itu sesat, bukan semua bid’ah, lalu apakah Anda
akan mengartikan teks berikutnya, yang berbunyi wa kullu dhalalatin finnar,
dengan pengertian yang sama, bahwa sebagian kesesatan itu masuk neraka, bukan
semuanya. Apakah Ustadz berani mengartikan demikian?”
Saya menjawab: “Ustadz Husni yang
saya hormati, dalam mengartikan atau membatasi jangkauan makna suatu ayat atau
hadits, kita tidak boleh mengikuti hawa nafsu. Akan tetapi kita harus mengikuti
al-Qur’an dan Sunnah pula. Para ulama mengartikan teks hadits kullu bid’atin
dhalalah dengan arti sebagian besar bid’ah itu sesat, karena ada sekian banyak
hadits yang menuntut demikian. Sedangkan berkaitan teks berikutnya, wa kullu
dhalalatin finnar (setiap kesesatan itu di neraka), di sini kami tegaskan,
bahwa selama kami tidak menemukan dalil-dalil yang membatasi jangkauan
maknanya, maka kami akan tetap berpegang pada keumumannya. Jadi makna seluruh
atau sebagian dalam sebuah teks itu tergantung dalil. Yang namanya dalil, ya
al-Qur’an dan Sunnah. Jadi membatasi jangkauan makna dalil, dengan dalil pula,
bukan dengan hawa nafsu.”
Demikianlah dialog saya dengan Ustadz
Husni Abadi, di Denpasar pada akhir Juli 2010 yang lalu.
Di Islamic Center Jakarta Utara
Ada kisah menarik berkaitan dengan
bid’ah hasanah yang perlu diceritakan di sini. Kisah ini pengalaman pribadi Ali
Rahmat, laki-laki gemuk yang sekarang tinggal di Jakarta Pusat. Beliau pernah
kuliah di Syria setelah tamat dari Pondok Pesantren Assunniyah Kencong, Jember.
Ali Rahmat bercerita:
“Pada pertengahan 2009, kaum Wahhabi
mengadakan pengajian di Islamic Center Jakarta Utara. Tampil sebagai pembicara,
Yazid Jawas dan Abdul Hakim Abdat, dua tokoh Wahhabi di Indonesia. Pada waktu
itu, saya sengaja hadir bersama beberapa teman alumni Pondok Pesantren Sidogiri
Pasuruan, antara lain Ustadz Abdussalam, Ustadz Abdul Hamid Umar dan Ustadz
Mishbahul Munir. Ternyata, sejak awal acara, dua tokoh Wahhabi itu sangat
agresif menyampaikan ajarannya tentang bid’ah. Setelah saya amati, Ustadz Yazid
Jawas banyak berbicara tentang bid’ah. Menurut Yazid Jawas, bid’ah hasanah itu
tidak ada. Semua bid’ah pasti sesat dan masuk neraka. Menurut Yazid Jawas,
apapun yang tidak pernah ada pada masa Rasulullah Saw., harus ditinggalkan,
karena termasuk bid’ah dan akan masuk neraka.
Di tengah-tengah presentasi tersebut
saya bertanya kepada Yazid Jawas: “Anda sangat ekstrem dalam membicarakan
bid’ah. Menurut Anda, apa saja yang belum pernah ada pada masa Rasulullah Saw.
itu pasti bid’ah dan akan masuk neraka. Sekarang saya bertanya, Sayidina Umar
bin al-Khaththab memulai tradisi shalat Tarawih 20 raka’at dengan berjamaah,
Sayidina Utsman menambah adzan Jum’at menjadi dua kali, sahabat-sahabat yang
lain juga banyak yang membuat susunan-susunan dzikir yang tidak diajarkan oleh
Rasulullah Saw. Sekarang saya bertanya, beranikah Anda mengatakan bahwa
Sayidina Umar, Sayidina Utsman dan sahabat lainnya termasuk ahli bid’ah dan
akan masuk neraka?” Mendengar pertanyaan saya, Yazid Jawas hanya terdiam
seribu bahasa, tidak bisa memberikan jawaban.
Setelah acara dialog selesai, saya
menghampiri Yazid Jawas, dan saya katakana kepadanya: “Bagaimana kalau Anda
kami ajak dialog dan debat secara terbuka dengan ulama kami. Apakah Anda siap?”
“Saya tidak siap.” Demikian jawab Yazid Jawas seperti diceritakan oleh Ali Rahmat
kepada saya.
Kisah serupa terjadi juga di Jember
pada akhir Desember 2009. Dalam daurah tentang Syi’ah yang diadakan oleh
Perhimpunan Al-Irsyad di Jember, ada beberapa mahasiswa STAIN Jember yang
mengikutinya. Ternyata dalam daurah tersebut, tidak hanya membicarakan Syi’ah.
Tetapi juga membicarakan tentang bid’ah dan ujung-ujungnya membid’ah-bid’ahkan
amaliah kaum Muslimin di Tanah Air yang telah mengakar sejak beberapa abad yang
silam.
Diantara pematerinya ada yang bernama
Abu Hamzah Agus Hasan Bashori, tokoh Salafi dari Malang. Dalam kesempatan
tersebut, Agus menyampaikan bahwa bid’ah itu sesat semua. Yang namanya bid’ah
hasanah itu tidak ada. Apa saja yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah
Saw., harus kita tinggalkan, karena itu termasuk bid’ah dan akan masuk neraka.
Demikian konsep yang dipaparkan oleh Agus.
Dalam sesi tanya jawab, salah seorang
mahasiswa dari Jember tadi ada yang bertanya: “Kalau konsep bid’ah seperti
yang Anda paparkan barusan, bahwa semua bid’ah itu sesat, tidak ada bid’ah
hasanah, dan bahwa apa saja yang tidak ada pada masa Rasulullah Saw. harus kami
tinggalkan, karena termasuk bid’ah. Sekarang bagaimana Anda menanggapi doa-doa
yang disusun oleh para sahabat yang belum pernah diajarkan oleh Rasulullah
Saw.? Bagaimana dengan doa al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam sujud ketika shalat
selama 40 tahun yang berbunyi: “Ya Allah ampunilah aku, kedua orang tuaku dan
Muhammad bin Idris asy-Syafi’i.” (Al-Hafidz al-Baihaqi, Manaqib al-Imam
asy-Syafi’i juz 2 halaman 254). Doa seperti itu sudah pasti tidak pernah
dilakukan oleh Rasulullah Saw., para sahabat dan tabi’in. Tetapi al-Imam Ahmad
bin Hanbal melakukannya selama empat puluh tahun. Demikian pula Syaikh Ibn
Taimiyah, setiap habis shalat shubuh, melakukan dzikir bersama, lalu membaca
surat al-Fatihah berulang-ulang hingga Matahari naik ke atas, sambil mengangkat
kepalanya menghadap langit. Nah, sekarang saya bertanya, menurut Anda, apakah
para sahabat, al-Imam Ahmad bin Hanbal dan Syaikh Ibn Taimiyah termasuk ahli
bid’ah, berdasarkan konsep bid’ah yang Anda paparkan tadi? Karena jelas sekali,
mereka melakukan sesuatu yang belum pernah ada pada masa Rasulullah Saw.”
Mendengar pertanyaan tersebut Agus
ternyata tidak mampu menjawab dan malah bercerita tentang bid’ah hasanah
Ibn Taimiyyah secara pribadi. Kisah ini diceritakan oleh beberapa teman
saya, antara lain Is dan AD yang mengikuti acara daurah tersebut.
Demikianlah, konsep anti bid’ah hasanah
ala Wahhabi sangat lemah dan rapuh. Tidak mampu dipertahankan di arena
diskusi ilmiah. Konsep anti bid’ah hasanah ala Wahhabi akan menemukan
jalan buntu ketika dihadapkan dengan fakta bahwa Rasulullah Saw.
melegitimasi amaliah-amaliah baru yang dilakukan oleh para sahabat.
Konsep tersebut akan runtuh pula ketika dibenturkan dengan fakta bahwa
para sahabat sepeninggal Rasulullah Saw. banyak melakukan inovasi
kebaikan dalam agama sebagaimana diriwayatkan dalam kitab-kitab hadits
yang otoritatif (mu’tabar).
BAB IV
OTORITAS ULAMA
Sumber Liberalisme
Pada tahun 2009, saya terlibat
perdebatan sengit di Surabaya dengan seorang tokoh Salafi dari Malang,
berinisial AH. Di bagian awal buku yang dipromosikannya pada waktu itu,
ia menulis, bahwa madzhab al-Asy’ari merupakan sumber pemikiran liberal.
Saya merasa heran dengan asumsi murahan AH yang mengatakan bahwa
pemikiran liberal sumbernya dari madzhab al-Asy’ari. Logika dan
paradigma apa yang dijadikan barometer untuk menilai madzhab al-Asy’ari
sebagai sumber ajaran liberal. Seandainya ada seseorang berpendapat
bahwa ajaran Islam itu sumber kejahatan pencurian dan perzinahan, karena
ia melihat dalam kitab-kitab tafsir ada beberapa ayat yang turun berkaitan
dengan sahabat Nabi Saw. yang mencuri dan berzina, apakah AH akan menerima
logika berpikir seperti ini? Tentu saja dia tidak akan menerima.
Seandainya AH berkomunikasi terlebih
dahulu dengan ulama-ulama Wahhabi yang menjadi gurunya di Saudi Arabia, mungkin
ia tidak akan menulis tuduhan keji seperti itu. Karena para ulama Wahhabi
sendiri mengakui, bahwa mayoritas ulama dari berbagai bidang, seperti ahli
tafsir, ahli hadits, ahli fiqih, ahli sejarah, gramatika dan lain-lain
mengikuti madzhab al-Asy’ari. AH sepertinya tidak pernah membaca sejarah bahwa
para ulama yang berhasil membabat habis kelompok Mu’tazilah sampai punah pada
akhir abad keenam Hijriah adalah para ulama pengikut madzhab al-Asy’ari.
Dalam sejarah pemikiran Islam,
Mu’tazilah merupakan aliran yang dikenal paling tangguh dan hebat dalam arena
dialog dan perdebatan. Mu’tazilah juga dikenal sebagai aliran yang mendahulukan
akal daripada nash (teks) al-Qur’an dan Sunnah. Di tangan Mu’tazilah,
teks-teks al-Qur’an dan hadits menjadi berkurang nilai sakralitasnya karena
harus dikoreksi terlebih dahulu dengan perisai rasio dan nalar.
AH juga sepertinya tidak tahu sejarah,
bahwa ilmu filsafat yang dianggap sebagai sumber pemikiran liberal dalam Islam,
menjadi terkapar untuk selama-lamanya dari ranah intelektual kaum Muslimin
setelah dibabat habis oleh Hujjatul Islam al-Ghazali dengan kitabnya Tahafut
al-Falasifah. Dari sini layakkah AH menuduh madzhab al-Asy’ari sebagai
sumber ajaran liberal? Bukankah lebih layak kalau dikatakan bahwa liberalisme
sumbernya dari Wahhabi.
Sebagaimana dimaklumi, diantara ciri
khas liberalisme, adalah upaya desakralisasi otoritas ulama. Ketika pendapat
dan hasil ijtihad ulama diajukan kepada kaum liberal, maka dengan serta merta
mereka akan menolaknya dengan alasan para ulama juga manusia biasa seperti
halnya mereka. Kaum Wahhabi juga demikian, ketika pendapat dan hasil ijtihad
ulama diajukan kepada mereka, maka sudah barang tentu mereka akan menolaknya,
dengan bahasa yang terkadang lebih halus, “kita kembali kepada al-Qur’an dan
Sunnah”. Bahasa yang mengesankan bahwa hasil ijtihad ulama tidak mengikuti
al-Qur’an dan Sunnah.
Memang tidak aneh kalau orang Wahhabi
seperti AH menuduh madzhab al-Asy’ari sebagai sumber ajaran liberal. Bukankah
pendiri aliran Wahhabi sendiri, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi telah
mengatakan bahwa kitab-kitab fiqih merupakan sumber ajaran syirik.
Dalam kitab ad-Durar as-Saniyyah fi
al-Ajwibah an-Najdiyyah (kumpulan fatwa-fatwa ulama Wahhabi sejak Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, sang pendiri aliran Wahhabi), yang dihimpun
oleh Syaikh Abdurrahman bin Muhammad an-Najdi al-Wahhabi, juz 3 halaman 59,
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengeluarkan statemen yang cukup ekstrem bahwa
ilmu fiqih merupakan sumber kesyirikan. Sedangkan para ulama fuqaha yang
menulis kitab-kitab fiqih, ia samakan dengan syetan-syetan manusia dan jin. Astaghfirullah.
Tidak Perlu Mengikuti Ulama
Kejadian itu agak mirip dengan kejadian
berikutnya. Suatu ketika, saya mengisi pengajian di daerah Kesiman Denpasar Timur
Bali. Setelah saya memaparkan tentang dalil-dalil bid’ah hasanah dari al-Qur’an
dan hadits, lalu saya mengutip pendapat para ulama sejak Khulafaur Rasyidin yang
mengakui dan mengamalkan bid’ah hasanah, tiba-tiba seorang Wahhabi angkat
bicara dengan nada emosi. Ia berkata begini: “Kita tidak perlu mengikuti
imam ini maupun imam itu. Kita kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah saja, titik.
Setelah Rasulullah Saw. tidak ada orang yang perlu kita ikuti.” Demikian
perkataan orang Wahhabi tersebut dengan suara berapi-api dan nada suara tinggi.
Orang Wahhabi ini sepertinya tidak
tahu, bahwa yang memberikan otoritas kepada ulama agar diikuti oleh umat Islam
adalah al-Qur’an dan Sunnah. Ketika kita mengikuti ulama, itu bukan berarti
kita meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah. Akan tetapi kita justru mengikuti
al-Qur’an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman para ulama yang lebih mengerti
dari pada kita. Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam al-Qur’an al-Karim:
“Bertanyalah kamu kepada para ulama apabila kamu tidak tahu.” (QS. an-Nahl
ayat 43 dan al-Anbiya’ ayat 7).
Dalam ayat di atas, al-Qur’an
memerintahkan kita agar bertanya kepada para ulama ketika kita tidak tahu.
Al-Qur’an tidak memerintahkan kita membuka-buka lembaran-lembaran al-Qur’an dan
kitab-kitab hadits ketika kita tidak tahu.
Dalam ayat lain, Allah subhanahu
wata’ala juga berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul(Nya) dan Ulil Amri di antara kamu.” (QS. an-Nisa’
ayat 59).
Dalam ayat di atas, al-Qur’an menuntun
kita agar mengikuti Ulil Amri. Yang dimaksud dengan Ulil Amri dalam ayat
tersebut adalah para ulama yang mendalam ilmunya.
Dalam hadits shahih, Rasulullah Saw.
bersabda: “Semoga Allah membuat elok pada orang yang mendengar sabdaku, lalu
ia mengingatnya, kemudian menyampaikannya seperti yang pernah
didengarnya. Karena tidak sedikit orang yang menyampaikan suatu hadits
dariku tidak dapat memahaminya.” Dalam riwayat lain dikatakan: “Tidak
sedikit orang yang memperoleh suatu hadits dari seseorang lebih memahami
daripada orang yang mendengar hadits itu secara langsung dariku.”
(HR. at-Tirmidzi no. 2580, 2581 dan 2583, Abu Dawud no. 3175, Ibn Majah no. 226
dan lain-lain).
Hadits tersebut menunjukkan bahwa di
antara para sahabat Rasul Saw. yang mendengar hadits dari beliau secara langsung,
ada yang kurang memahami terhadap makna-makna yang dikandung oleh hadits
tersebut. Namun kemudian ia menyampaikan hadits itu kepada murid-muridnya yang
terkadang lebih memahami terhadap kandungan maknanya. Pemahaman lebih, terhadap
kandungan hadits tersebut menyangkut penggalian hukum-hukum dan masalahmasalah
yang nantinya disebut dengan proses istinbath atau ijtihad.
Dari sini dapat dipahami, bahwa di
antara para sahabat Nabi Saw. Ada yang kurang mengerti terhadap maksud suatu
hadits daripada murid-murid mereka. Dan murid-murid mereka yang memiliki
pemahaman lebih terhadap hadits tadi disebut dengan mujtahid. Mujtahid inilah
yang menjadi focus pembicaraan dalam hadits shahih berikut ini: “Apabila
seorang hakim melakukan ijtihad, lalu ijtihadnya benar, maka ia memperoleh
dua pahala. Dan apabila melakukan ijtihad, lalu ijtihadnya keliru, maka
ia memperoleh satu pahala.” (HR. al-Bukhari no. 6805).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
tidak semua sahabat Nabi
Saw. yang memiliki penguasaan mendalam terhadap susunan bahasa
Arab mampu mengeluarkan fatwa. Dan kesimpulan ini akan semakin kelihatan dengan
jelas, apabila kita perhatikan kitab-kitab mushthalah al-hadits yang
disusun oleh para hafidz (gelar kesarjanaan tertinggi dalam bidang studi
ilmu hadits), di sana akan kita dapati bahwa para mufti dari kalangan sahabat
Nabi Saw. tidak sampai sepuluh orang. Ada yang mengatakan hanya enam orang.
Tetapi sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa sekitar dua ratus orang sahabat
Nabi Saw. telah mencapai derajat mujtahid.
Dialog Syaikh Al-Buthi dan Syaikh Al-Albani
Ada sebuah perdebatan yang menarik
tentang ijtihad dan taqlid, antara Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi,
seorang ulama Ahlussunnah wal Jama’ah di Syria, bersama Syaikh Muhammad
Nashiruddin al-Albani, seorang tokoh Wahhabi dari Yordania.
Syaikh al-Buthi bertanya: “Bagaimana
cara Anda memahami hukum-hukum Allah, apakah Anda mengambilnya secara langsung
dari al-Qur’an dan Sunnah, atau melalui hasil ijtihad para imam-imam mujtahid?”
Al-Albani menjawab: “Aku
membandingkan antara pendapat semua imam mujtahid serta dalil-dalil mereka lalu
aku ambil yang paling dekat terhadap al-Qur’an dan Sunnah.”
Syaikh al-Buthi bertanya:
“Seandainya Anda punya uang 5000 Lira. Uang itu Anda simpan selama enam bulan.
Kemudian uang itu Anda belikan barang untuk diperdagangkan, maka sejak kapan
barang itu Anda keluarkan zakatnya. Apakah setelah enam bulan berikutnya, atau
menunggu setahun lagi?”
Al-Albani menjawab: “Maksud
pertanyaannya, kamu menetapkan bahwa harta dagang itu ada zakatnya?”
Syaikh al-Buthi berkata: “Saya hanya
bertanya. Yang saya inginkan, Anda menjawab dengan cara Anda sendiri. Di sini
kami sediakan kitab-kitab tafsir, hadits dan fiqih, silahkan Anda telaah.”
Al-Albani menjawab: “Hai saudaraku,
ini masalah agama. Bukan persoalan mudah yang bisa dijawab dengan seenaknya.
Kami masih perlu mengkaji dan meneliti. Kami datang ke sini untuk membahas
masalah lain”.
Mendengar jawaban tersebut, Syaikh
al-Buthi beralih pada pertanyaan lain: “Baik kalau memang begitu. Sekarang
saya bertanya, apakah setiap Muslim harus atau wajib membandingkan dan meneliti
dalil-dalil para imam mujtahid, kemudian mengambil pendapat yang paling sesuai
dengan al-Qur’an dan Sunnah?”
Al-Albani menjawab: “Ya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Maksud jawaban
Anda, semua orang memiliki kemampuan berijtihad seperti yang dimiliki oleh para
imam madzhab? Bahkan kemampuan semua orang lebih sempurna dan melebihi
kemampuan ijtihad para imam madzhab. Karena secara logika, seseorang yang mampu
menghakimi pendapat-pendapat para imam madzhab dengan barometer al-Qur’an dan
Sunnah, jelas ia lebih alim dari mereka.”
Al-Albani menjawab: “Sebenarnya
manusia itu terbagi menjadi tiga, yaitu muqallid (orang yang taklid), muttabi’
(orang yang mengikuti) dan mujtahid. Orang yang mampu membandingkan
madzhab-madzhab yang ada dan memilih yang lebih dekat pada al-Qur’an adalah
muttabi’. Jadi muttabi’ itu derajat tengah, antara taklid dan ijtihad.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa
kewajiban muqallid?”
Al-Albani menjawab: “Ia wajib mengikuti
para mujtahid yang bisa diikutinya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Apakah ia
berdosa kalau seumpama mengikuti seorang mujtahid saja dan tidak pernah
berpindah ke mujtahid lain?”
Al-Albani menjawab: “Ya, ia berdosa
dan haram hukumnya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa dalil
yang mengharamkannya?”
Al-Albani menjawab: “Dalilnya, ia
mewajibkan pada dirinya, sesuatu yang tidak diwajibkan Allah padanya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Dalam
membaca al-Qur’an, Anda mengikuti qira’ahnya siapa di antara qira’ah yang
tujuh?”
Al-Albani menjawab: “Qira’ah Hafsh.”
Al-Buthi bertanya: “Apakah Anda
hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja? Atau setiap hari, Anda mengikuti qira’ah
yang berbeda-beda?”
Al-Albani menjawab: “Tidak. Saya
hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Mengapa
Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja, padahal Allah subhanahu wata’ala tidak
mewajibkan Anda mengikuti qira’ah Hafsh. Kewajiban Anda justru membaca
al-Qur’an sesuai riwayat yang dating dari Nabi Saw. secara mutawatir.”
Al-Albani menjawab: “Saya tidak
sempat mempelajari qira’ah-qira’ah yang lain. Saya kesulitan membaca al-Qur’an
dengan selain qira’ah Hafsh.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Orang yang
mempelajari fiqih madzhab asy-Syafi’i, juga tidak sempat mempelajari
madzhab-madzhab yang lain. Ia juga tidak mudah memahami hukum-hukum agamanya
kecuali mempelajari fiqihnya Imam asy-Syafi’i. Apabila Anda mengharuskannya
mengetahui semua ijtihad para imam, maka Anda sendiri harus pula mempelajari
semua qira’ah, sehingga Anda membaca al-Qur’an dengan semua qira’ah itu. Kalau
Anda beralasan tidak mampu melakukannya, maka Anda harus menerima alasan
ketidakmampuan muqallid dalam masalah ini. Bagaimanapun, kami sekarang bertanya
kepada Anda, dari mana Anda berpendapat bahwa seorang muqallid harus
berpindah-pindah dari satu madzhab ke madzhab lain, padahal Allah tidak
mewajibkannya. Maksudnya sebagaimana ia tidak wajib menetap pada satu madzhab
saja, ia juga tidak wajib berpindah-pindah terus dari satu madzhab ke madzhab
lain?”
Al-Albani menjawab: “Sebenarnya yang
diharamkan bagi muqallid itu menetapi satu madzhab dengan keyakinan bahwa Allah
memerintahkan demikian.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Jawaban
Anda ini persoalan lain. Dan memang benar demikian. Akan tetapi, pertanyaan
saya, apakah seorang muqallid itu berdosa jika menetapi satu mujtahid saja,
padahal ia tahu bahwa Allah tidak mewajibkan demikian?”
Al-Albani menjawab: “Tidak berdosa.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Tetapi isi
buku yang Anda ajarkan, berbeda dengan yang Anda katakan. Dalam buku tersebut
disebutkan, menetapi satu madzhab saja itu hukumnya haram. Bahkan dalam bagian
lain buku tersebut, orang yang menetapi satu madzhab saja itu dihukumi kafir.”
Menjawab pertanyaan tersebut, al-Albani
kebingungan menjawabnya.
Demikianlah dialog panjang antara
Syaikh al-Buthi dengan al-Albani, yang didokumentasikan dalam kitab beliau
al-Lamadzhabiyyah Akhthar Bid’ah Tuhaddid asy-Syari’at al-Islamiyyah. Dialog
tersebut menggambarkan, bahwa kaum Wahhabi melarang umat Islam mengikuti
madzhab tertentu dalam bidang fiqih. Tetapi ajakan tersebut, sebenarnya upaya
licik mereka agar umat Islam mengikuti madzhab yang mereka buat sendiri. Tentu
saja mengikuti madzhab para ulama salaf, lebih menenteramkan bagi kaum
Muslimin. Keilmuan, ketulusan dan keshalehan ulama salaf jelas diyakini
melebihi orang-orang sesudah mereka.
Hadits Ikhtilaf Ummati Rahmatun
Dalam tradisi bermadzhab, perbedaan
pendapat merupakan sebuah keniscayaan dan termasuk khazanah kekayaan fiqih kaum
Muslimin.
Dewasa ini, seiring dengan merebaknya
aliran Wahhabi, yang cenderung memaksakan pendapatnya kepada orang lain agar
diikuti, disebarluaskan wacana bahwa mengikuti madzhab fiqih yang ada merupakan
salah satu bentuk kesyirikan dan dilarang dalam agama. Demikian asumsi mereka.
Dalam sebuah diskusi di Mushalla
al-Fitrah, Monang Maning Denpasar, ada seorang Wahhabi melakukan protes dengan
berkata: “Ustadz, kita tidak perlu mengikuti ulama atau para imam madzhab.
Bukankah para imam madzhab itu pendapatnya berbeda-beda. Ustadz harus
mengetahui bahwa hadits ikhtilafu ummati rahmatun (perbedaan umat Islam itu
merupakan rahmat Allah) itu hadits mursal yang kualitasnya lemah atau dha’if”.
Demikian pernyataan orang Wahhabi tadi
yang belakangan diketahui berinisial HA. Pada waktu itu saya menjawab: “Memang
hadits ikhtilafu ummati rahmatun, termasuk hadits dha’if. Akan tetapi
substansinya terdapat dalam hadits-hadits yang shahih. Al-Imam al-Bukhari
meriwayatkan dalam Shahihnya dari Ibn Umar Ra. yang berkata: “Sepulangnya dari
peperangan Ahzab, Rasulullah Saw. bersabda: “Jangan ada yang shalat Ashar
kecuali di perkampungan Bani Quraidzah.” (HR. al-Bukhari no. 894). Sebagian
sahabat ada yang memahami teks hadits tersebut secara tekstual, sehingga tidak
shalat Ashar (walaupun waktunya telah berlalu) kecuali di tempat itu. Sebagian
lainnya memahaminya secara kontekstual, sehingga mereka melaksanakan shalat
Ashar, sebelum tiba di perkampungan yang dituju. Ketika Nabi Saw. menerima
laporan tentang kasus ini, beliau tidak mempersalahkan kedua kelompok sahabat
yang berbeda pendapat dalam memahami teks hadits beliau.” (HR. al-Bukhari no.
894). Berkaitan dengan hal tersebut Sayidina Ali bin Abi Thalib Ra. berkata:
“Nabi mendera orang yang minum khamr sebanyak empat puluh kali. Abu Bakar
mendera empat puluh kali pula. Sedangkan Umar menderanya delapan puluh kali.
Dan kesemuanya adalah sunnah. Akan tetapi, empat puluh kali lebih aku sukai.”
(HR. Muslim no. 3220 dan Abi Dawud no.3384). Dalam hadits ini, Ali bin Abi
Thalib menetapkan bahwa dera empat puluh kali yang dilakukan oleh Rasulullah
Saw. dan Abu Bakar, sedang dera delapan puluh kali yang dilakukan oleh Umar
kepada orang yang minum khamr, keduanya sama-sama benar. Hadits ini menjadi
bukti bahwa perbedaan pendapat di antara sesama mujtahid dalam bidang fiqih,
tidak tercela, bahkan eksistensinya diakui berdasarkan hadits tersebut. Seorang
ulama salaf dari generasi tabi’in, al-Imam al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar
ash-Shiddiq berkata: “Perbedaan pendapat di kalangan sahabat Nabi Muhammad Saw.
merupakan rahmat bagi manusia.” (Jazil al-Mawahib halaman 21). Khalifah yang
shaleh, Umar bin Abdul Aziz Ra. juga
berkata: “Aku tidak gembira seandainya para sahabat Nabi Muhammad Saw. tidak
berbeda pendapat. Karena seandainya mereka tidak berbeda pendapat, tentu tidak
ada kemurahan dalam agama.” (Jazil al-Mawahib halaman 22). Paparan di atas
menyimpulkan bahwa perbedaan pendapat di kalangan sahabat telah terjadi sejak
masa Rasulullah Saw. Dan ternyata perbedaan tersebut dilegitimasi oleh
Rasulullah Saw. Dan menjadi rahmat bagi umat Islam sebagaimana diakui oleh
ulama salaf yang saleh. Wallahu a’lam.”
BAB V
BUKAN AHLUSSUNNAH
Mereka Golongan Khawarij
Mayoritas umat Islam meyakini bahwa
Ahlussunnah wal Jama’ah itu pengikut madzhab al-Asy’ari dan al-Maturidzi.
Tetapi tidak sedikit pula yang berasumsi bahwa aliran Wahhabi juga masuk dalam
golongan Ahlussunnah wal Jama’ah. Padahal menurut para ulama yang otoritatif di
kalangan Sunni, aliran Wahhabi itu tergolong Khawarij, bukan Ahlussunnah wal
Jama’ah.
Dalam sebuah diskusi tentang ASWAJA di
Kantor PWNU Jawa Timur di Surabaya, ada pembicaraan mengenai Wahhabi, apakah
termasuk Ahlussunnah wal Jama’ah atau bukan. Dalam kesempatan itu saya
menjelaskan bahwa aliran Wahhabi atau Salafi itu bukan Ahlussunnah wal Jama’ah.
Bahkan aliran Wahhabi itu termasuk golongan Khawarij. Mendengar penjelasan ini,
sebagian peserta ada yang bertanya, “Mengapa aliran Wahhabi Anda masukkan
dalam golongan Khawarij? Bukankah mereka juga berpedoman dengan kitab-kitab
hadits yang menjadi pedoman kita seperti Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim dan
lain-lain?”
Aliran Wahhabi itu dikatakan Khawarij
karena ada ajaran penting di kalangan Khawarij menjadi ajaran Wahhabi, yaitu takfir
al-mukhalif dan istihlal dima’ almukhalifin (mengkafirkan dan menghalalkan
darah kaum Muslimin yang berbeda dengan mereka). Suatu kelompok dikatakan
keluar dari Ahlussunnah wal Jama’ah, tidak harus berbeda 100 % dengan
Ahlussunnah wal Jama’ah. Kaum Khawarij pada masa sahabat dulu dikatakan
Khawarij bukan semata-mata karena perlawanan mereka terhadap kaum Muslimin,
akan tetapi karena perlawanan mereka terhadap Sayyidina Ali dilatarbelakangi
oleh motif ideology yaitu takfir dan istihlal dima’ al-mukhalifin
(pengkafiran dan pengahalalan darah kaum Muslimin yang berbeda dengan mereka).
Sayyidah ‘Aisyah, Thalhah bin
Ubaidillah, Zubair bin al-’Awwam dan banyak sahabat yang lain juga memerangi
Sayidina Ali. Sayidina Mu’awiyah bin Abi Sufyan juga memerangi Sayidina Ali.
Akan tetapi karena latar belakang peperangan mereka bukan motif ideologi,
tetapi karena semata-mata karena persoalan politik, maka mereka tidak dikatakan
Khawarij.
Persoalan bahwa kaum Wahhabi juga
merujuk terhadap kitab-kitab tafsir dan hadits yang menjadi rujukan Ahlussunnah
wal Jama’ah, hal ini bukan alas an menganggap mereka sebagai Ahlussunnah wal
Jama’ah. Kalau kita mempelajari ilmu rijal hadits, dalam Shahih al-Bukhari,
Muslim dan lain-lain, tidak sedikit para perawi hadits yang mengikuti aliran
Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, Qadariyah dan lain-lain. Para ulama kita, termasuk
dari kalangan ahli hadits, sangat toleran dengan siapapun, sehingga tidak
menghalangi menerima hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para perawi ahli
bid’ah untuk dimasukkan dalam kitab-kitab mereka dan kemudian menjadi rujukan
utama kaum Muslimin Ahlussunnah wal Jama’ah.
Kalau setiap orang yang merujuk
terhadap Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim dan kitab-kitab hadits lainnya harus
dimasukkan dalam golongan Ahlussunnah wal Jama’ah, maka kita tentunya harus
pula memasukkan semua perawi hadits al-Bukhari dan lain-lain dalam Ahlussunnah
wal Jama’ah. Padahal faktanya tidak demikian.
Bersama Ulama Wahhabi
Alasan utama mengapa aliran Wahhabi
dikatakan Khawarij dan bukan Ahlussunnah wal Jama’ah, adalah paradigma
pemikirannya yang mengusung konsep takfir dan istihlal dima’ wa amwal al-mukhalifin
(pengkafiran dan penghalalan darah dan harta benda kaum Muslimin di luar
alirannya).
Dalam sebuah diskusi di PCNU Sumenep,
pada 22 Mei 2010, tentang aliran Syi’ah dan Wahhabi, seorang ulama Wahhabi
kelahiran Sumatera dan sekarang tinggal di Jember, berinisial AMSP menggugat
pernyataan saya, bahwa Wahhabi mengkafirkan dan menghalalkan darah kaum
Muslimin di luar mereka. Ia mengatakan: “Wahhabi itu Ahlussunnah wal
Jama’ah, bukan Khawarij. Karena Wahhabi tidak mengkafirkan dan menghalalkan
darah kaum Muslimin yang berbeda dengan dirinya.”
Mendengar pernyataan tersebut saya
katakan: “Bahwa Wahhabi itu mengkafirkan dan menghalalkan darah kaum Muslimin,
itu bukan kata saya. Tetapi itu pernyataan Syaikh Muhammad, pendiri aliran
Wahhabi. Misalnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata: “Aku pada waktu itu
tidak mengerti makna la ilaha illallah dan tidak mengerti agama Islam, sebelum
kebaikan yang dianugerahkan oleh Allah. Demikian pula guru-guruku, tidak
seorang pun di antara mereka yang mengetahui hal tersebut. Barangsiapa yang
berasumsi di antara ulama Aridh (Riyadh) bahwa ia mengetahui makna la ilaha
illallah atau mengetahui makna Islam sebelum waktu ini, atau berasumsi bahwa di
antara guru-gurunya ada yang mengetahui hal tersebut, berarti ia telah berdusta,
mereka-reka (kebohongan), menipu manusia dan memuji dirinya dengan sesuatu yang
tidak dimilikinya.” (Ibn Ghannam, Tarikh Najd halaman 310).
Dalam pernyataan di atas, jelas sekali
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menyatakan bahwa sebelum ia menyebarkan faham
Wahhabi, ia sendiri tidak mengerti makna kalimat la ilaha illallah dan tidak
mengerti agama Islam. Bahkan tidak seorang pun dari guru-gurunya dan ulama
manapun yang mengerti makna kalimat la ilaaha illallah dan makna agama Islam.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengkafirkan
guru-gurunya, semua ulama dan mengkafirkan dirinya sebelum menyebarkan faham
Wahhabi. Pernyataan tersebut ditulis oleh muridnya sendiri, Syaikh Ibn Ghannam
dalam Tarikh Najd halaman 310.
Dalam kitab Kasyf asy-Syubuhat hal.
29-30, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata: “Ketahuilah bahwa
kesyirikan orang-orang dulu lebih ringan daripada kesyirikan orang-orang masa
kita sekarang ini.” Maksudnya kaum Muslimin di luar golongannya itu telah
syirik semua. Kesyirikan mereka melebihi kesyirikan orang-orang Jahiliyah.
Sebagaimana ia tulis dalam kitab Kasyf asy-Syubuhat, kitab pendiri Wahhabi yang
paling ekstrem dan paling keras dalam mengkafirkan seluruh kaum Muslimin selain
golongannya.
Dalam kitab ad-Durar as-Saniyyah fi
al-Ajwibat an-Najdiyyah (kumpulan fatwa-fatwa ulama Wahhabi sejak masa
pendirinya) yang ditahqiq oleh Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim, ulama
Wahhabi kontemporer, ada pernyataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, bahwa
ilmu fiqih dan kitab-kitab fiqih madzhab empat yang diajarkan oleh para ulama
adalah ilmu syirik, sedangkan para ulama yang menyusunnya adalah syetan-syetan
manusia dan jin. (Ad-Durar ad-Saniyyah juz 3 halaman 56).
Pernyataan Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab ini berarti pembatalan dan pengkafiran terhadap kaum Muslimin yang
mengikuti madzhab fiqih yang empat.
Dalam berbagai kitab dan risalahnya,
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab selalu menyebutkan kalimat-kalimat yang
ditujukan kepada orang-orang musyrik. Namun ia tidak pernah menyebut seorang
pun nama orang musyrik yang menjadi lawan polemiknya dalam kitab-kitab dan
tulisannya. Justru yang ia sebutkan adalah nama-nama para ulama terkemuka pada
waktu itu seperti Syaikh Ibn Fairuz, Marbad at-Tamimi, Ibn Suhaim, Syaikh Sulaiman
dan ulama-ulama lainnya. Maksudnya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
mengkafirkan seluruh ulama pada waktu itu yang tidak mengikuti ajarannya.
Bahkan secara terang-terangan, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menyebutkan
dalam kitab Kasyf asy-Syubuhat, bahwa kaum Muslimin pada waktu itu telah
memilih mengikuti agamanya Amr bin Luhay al-Khuza’i, orang yang pertama kali
mengajak orang-orang Arab memuja berhala.
Pengkafiran terhadap kaum Muslimin
terus dilakukan oleh ulama Wahhabi dewasa ini. Dalam kitab Kaifa Nafhamu
at-Tauhid, karangan Muhammad bin Ahmad Basyamil, disebutkan: “Aneh dan
ganjil, ternyata Abu Jahal dan Abu Lahab lebih banyak tauhidnya kepada Allah
dan lebih murni imannya kepadaNya dari pada kaum Muslimin yang bertawassul
dengan para wali dan orang-orang saleh dan memohon pertolongan dengan perantara
mereka kepada Allah. Ternyata Abu Jahal dan Abu Lahab lebih banyak tauhidnya
dan lebih tulus imannya dari mereka kaum Muslimin yang mengucapkan tiada Tuhan
selain Allah dan Muhammad Rasul Allah.” (Muhammad bin Ahmad Basyamil, Kaifa
Nafhamu at-Tauhid halaman 16).
Dalam pernyataan tersebut, Basyamil
menganggap bahwa kaum Muslimin selain Wahhabi, lebih syirik dari pada Abu Jahal
dan Abu Lahab. Kitab karya Basyamil ini dibagi-bagikan secara gratis oleh
tokoh-tokoh Wahhabi kepada siapapun yang berminat.
Demikian dialog saya dengan AMSP yang
tidak berjalan lama. Karena ia minta agar dialog segera diakhiri.
Mereka Ahli Bid’ah Abad Modern
Dalam sebuah diskusi di Surabaya
tentang status Wahhabi sebagai golongan Khawarij, ada seorang teman bertanya: “Mengapa
Anda memasukkan Wahhabi ke dalam golongan Khawarij? Apa bukti-buktinya?”.
Teman kita ini sepertinya keberatan
sekali kalau Wahhabi dimasukkan ke dalam golongan Khawarij. Akhirnya pada waktu
itu saya berusaha meyakinkan semua peserta diskusi yang hadir, dengan
memberikan penjelasan bahwa kita mengganggap Wahhabi sebagai Khawarij, karena
semua ulama Ahlussunnah wal Jama’ah yang otoritatif (mu’tabar) di kalangan
pesantren mengatakan demikian.
Dari kalangan ulama madzhab al-Maliki,
al-Imam Ahmad bin Muhammad ash-Shawi al-Maliki, ulama terkemuka abad 12 Hijriah
dan semasa dengan pendiri Wahhabi, berkata dalam Hasyiyah ‘ala Tafsir
al-Jalalain sebagai berikut: “Ayat ini turun mengenai orang-orang Khawarij,
yaitu mereka yang mendistorsi penafsiran al-Qur’an dan Sunnah, dan oleh sebab
itu mereka menghalalkan darah dan harta benda kaum Muslimin sebagaimana yang
terjadi dewasa ini pada golongan mereka, yaitu kelompok di negeri Hijaz yang
disebut dengan aliran Wahhabiyah, mereka menyangka bahwa mereka akan memperoleh
sesuatu (manfaat), padahal merekalah orang-orang pendusta.” (Hasyiyah
ash-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalain juz 3 halaman 307).
Dari kalangan ulama madzhab Hanafi,
al-Imam Muhammad Amin Afandi yang populer dengan sebutan Ibn Abidin, juga
berkata dalam kitabnya, Hasyiyah Radd al-Mukhtar sebagai berikut:
“Keterangan tentang pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab, kaum Khawarij pada masa
kita. Sebagaimana terjadi pada masa kita, pada pengikut Ibn Abdil Wahhab yang
keluar dari Najd dan berupaya keras menguasai dua tanah suci. Mereka mengikuti
madzhab Hanabilah. Akan tetapi mereka meyakini bahwa mereka saja kaum Muslimin,
sedangkan orang yang berbeda dengan keyakinan mereka adalah orang-orang
musyrik. Dan oleh sebab itu mereka menghalalkan membunuh Ahlussunnah dan para
ulamanya sampai akhirnya Allah memecah kekuatan mereka, merusak negeri mereka
dan dikuasai oleh tentara kaum Muslimin pada tahun 1233 H.” (Ibn Abidin,
Hasyiyah Radd al Mukhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar juz 4 halaman 262).
Dari kalangan ulama madzhab Hanbali,
al-Imam Muhammad bin Abdullah bin Humaid an-Najdi berkata dalam kitabnya
ash-Suhub al-Wabilah ‘ala Dharaih al-Hanabilah ketika menulis biografi Syaikh
Abdul Wahhab, ayah pendiri Wahhabi, sebagai berikut: “Abdul Wahhab bin
Sulaiman at-Tamimi an-Najdi, adalah ayah pembawa dakwah Wahhabiyah, yang
percikan apinya telah tersebar di berbagai penjuru. Akan tetapi antara keduanya
terdapat perbedaan. Padahal Muhammad (pendiri Wahhabi) tidak terang-terangan
berdakwah kecuali setelah meninggalnya sang ayah. Sebagian ulama yang aku
jumpai menginformasikan kepadaku, dari orang yang semasa dengan Syaikh Abdul
Wahhab ini, bahwa beliau sangat murka kepada anaknya, karena ia tidak suka
belajar ilmu fiqih seperti para pendahulu dan orang-orang di daerahnya. Sang
ayah selalu berfirasat tidak baik tentang anaknya pada masa yang akan datang.
Beliau selalu berkata kepada masyarakat, “Hati-hati, kalian akan menemukan
keburukan dari Muhammad.” Sampai akhirnya takdir Allah benar-benar terjadi.
Demikian pula putra beliau, Syaikh Sulaiman (kakak Muhammad bin Abdul Wahhab),
juga menentang terhadap dakwahnya dan membantahnya dengan bantahan yang baik
berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi Saw. Syaikh Sulaiman
menamakan bantahannya dengan judul Fashl al-Khithab fi ar-Radd ‘ala Muhammad
bin Abdul Wahhab. Allah telah menyelamatkan Syaikh Sulaiman dari keburukan dan
tipu daya adiknya meskipun ia sering melakukan serangan besar yang mengerikan
terhadap orang-orang yang jauh darinya. Karena setiap ada orang yang
menentangnya, dan membantahnya, lalu ia tidak mampu membunuhnya secara
terang-terangan, maka ia akan mengirim orang yang akan menculik dari tempat
tidurnya atau di pasar pada malam hari karena pendapatnya yang mengkafirkan dan
menghalalkan membunuh orang yang menyelisihinya.” (Ibn Humaid an-Najdi,
ash-Suhub al-Wabilah ‘ala Dharaih al-Hanabilah halaman 275).
Dari kalangan ulama madzhab Syafi’i,
al-Imam as-Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan al-Makki, guru pengarang I’anah
ath-Thalibin, kitab yang sangat otoritatif (mu’tabar) di kalangan ulama di
Indonesia, berkata: “Sayyid Abdurrahman al-Ahdal, mufti Zabid berkata:
“Tidak perlu menulis bantahan terhadap Ibn Abdil Wahhab. Karena sabda Nabi Saw.
cukup sebagai bantahan terhadapnya, yaitu “Tanda-tanda mereka (Khawarij) adalah
mencukur rambut (maksudnya orang yang masuk dalam ajaran Wahhabi, harus
mencukur rambutnya)”. Karena hal itu belum pernah dilakukan oleh seorang pun
dari kalangan ahli bid’ah.” (Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Fitnah
al-Wahhabiyah halaman 54).
Demikian pernyataan ulama terkemuka
dari empat madzhab, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali, yang menegaskan bahwa
golongan Wahhabi termasuk Khawarij bukan Ahlussunnah wal Jama’ah. Tentu saja
masih terdapat ratusan ulama lain dari madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah yang
menyatakan bahwa Wahhabi itu Khawarij dan tidak mungkin kami kutip semuanya
dalam diskusi kali ini.
Dialog Sunni vs Wahhabi
Ada dialog menarik antara orang Sunni
dengan orang Wahhabi yang akan kami kutip di sini. Namun sebelum mengutip
dialog tersebut, ada baiknya dikutip terlebih dahulu tulisan seorang teman di
dunia maya yang menguraikan kesamaan Wahhabi dengan Khawarij.
Menurut teman tersebut, ada beberapa
kesamaan antara Wahhabi dengan Khawarij. Pertama, Khawarij telah
mengucilkan diri dari seluruh kaum Muslimin dengan berpendapat bahwa pelaku
dosa besar itu kafir. Dan ternyata Wahhabi juga mengucilkan diri dari kaum
Muslimin dengan mengkafirkan kaum Muslimin karena perbuatan dosa menurut asumsi
Wahhabi. Kedua, Khawarij menetapkan negara Islam yang penduduknya
melakukan dosa besar sebagai negara harbi, yang dihalalkan melakukan tindakan
seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. terhadap negara harbi (darah dan
harta bendanya dihalalkan). Demikian pula kaum Wahhabi, akan menghukumi negara
Islam sebagai negara harbi meskipun penduduknya orang yang paling taat
beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala dan paling saleh, apabila mereka
meyakini bolehnya bepergian berziarah ke makam Nabi dan makam orang-orang saleh
dan meminta syafa’at kepada mereka.
Dari kedua poin ini bisa disimpulkan
bahwa Wahhabi itu lebih buruk daripada Khawarij. Kaum Khawarij melihat
perbuatan yang disepakati sebagai dosa besar oleh kaum Muslimin lalu
mengkafirkan pelakunya. Sementara Wahhabi melihat amaliah-amaliah yang sama
sekali bukan perbuatan dosa, bahkan termasuk amaliah sunnah yang dilakukan oleh
generasi salaf yang saleh dari kalangan sahabat, tabi’in dan generasi
berikutnya tanpa ada perselisihan di kalangan ulama. Lalu kaum Wahhabi mengkafirkan
pelaku amaliah sunat tersebut.
Ketiga, Wahhabi dan Khawarij sama-sama ekstrem (ghuluw) dalam
beragama serta jumud dalam memahaminya. Kaum Khawarij ketika membaca firman
Allah subhanahu wata’ala “inna al-hukmu illa lillah (hukum itu hanyalah
milik Allah)”, maka mereka mengatakan bahwa orang yang membolehkan
arbitrase telah syirik kepada Allah subhanahu wata’ala. Mereka membuat
semboyan, “la hukma illa lillah (tidak ada hukum selain dari Allah)”,
kata-kata benar yang disalahgunakan (kalimatu haqqin urida biha bathilun).
Pernyataan Khawarij tersebut jelas kejumudan dan kedangkalan berpikir. Karena
arbitrase dalam persengketaan telah ditetapkan dalam al-Qur’an, Sunnah, sirah
Rasul Saw. dan tidak bertentangan dengan logika nalar. Demikian pula Wahhabi, ketika
mereka membaca firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Hanya kepadaMu kami
menyembah dan hanya kepadaMu kami memohon pertolongan”, (QS al-Fatihah ayat
5), dan firman Allah subhanahu wata’ala, “Tiada yang dapat memberi syafa’at
di sisiNya tanpa izinNya”, (QS. al-Baqarah ayat 255), dan firman Allah
subhanahu wata’ala, “Dan mereka tiada memberi syafa’at melainkan kepada
orang yang diridhai Allah”, (QS. al-Anbiya’ ayat 28), maka mereka (Wahhabi)
berkata: “Barangsiapa berpendapat boleh meminta syafa’at kepada Nabi dan
orang-orang saleh, maka ia telah syirik kepada Allah subhanahu wata’ala, dan
barangsiapa yang bermaksud ziarah ke makam Nabi dan meminta syafa’at kepadanya,
maka ia telah menyembahnya dan menjadikannya sebagai tuhan selain Allah
subhanahu w ta’ala.”
Dari sini, kaum Wahhabi selalu membawa
slogan “Tidak ada yang disembah selain Allah”, dan “Syafa’at hanya
milik Allah”, sebuah kalimat benar yang disalahgunakan. Hal ini termasuk
kejumudan dan kedangkalan dalam berpikir. Karena kebolehan hal tersebut telah
dimaklumi dari sejarah kehidupan para sahabat, tabi’in dan generasi sesudahnya.
Keempat, Ibn Taimiyah berkata: “Aliran Khawarij adalah bid’ah pertama
yang muncul dalam Islam, lalu pengikut Khawarij mengkafirkan dan menghalalkan
darah kaum Muslimin”. Demikian pula Wahhabi, bid’ah terakhir dalam Islam,
pengikutnya mengkafirkan dan menghalalkan darah kaum Muslimin.
Kelima, hadits-hadits shahih yang menerangkan tentang Khawarij dan
keluarnya mereka dari agama, sebagiannya sesuai dengan aliran Wahhabi. Dalam Shahih
al-Bukhari, Rasulullah Saw. bersabda: “Akan ada sekelompok manusia keluar
dari arah timur. Mereka membaca al-Qur’an, namun apa yang mereka baca tidak
melewati tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana anak panah
keluar dari sasarannya. Tanda-tanda mereka mencukur rambut.”
Al-Imam al-Qasthalani berkata dalam
mengomentari hadits ini, bahwa yang dimaksud dari arah timur adalah arah timur
kota Madinah seperti Najd dan sesudahnya. Demikian pula Wahhabi, lahir di Najd
dan kemudian menyebar ke mana-mana. Disamping mencukur rambut juga menjadi ciri
khas mereka. Kaum Wahhabi memerintahkan orang-orang yang mengikuti mereka agar
mencukur rambut, meskipun kaum wanita.
Oleh karena itu, sebagian ulama yang
semasa dengan lahirnya ajaran Wahhabi berkata: “Tidak perlu menulis bantahan
terhadap Ibn Abdil Wahhab. Karena sabda Nabi Saw. cukup sebagai bantahan
terhadapnya, yaitu “Tanda-tanda mereka (Khawarij) adalah mencukur rambut
(maksudnya orang yang masuk dalam ajaran Wahhabi, harus mencukur rambutnya)”.
Dalam hadits lain tentang Khawarij, Rasulullah Saw. bersabda: “Mereka akan
membunuh umat Islam, akan tetapi membiarkan penyembah berhala”. Hadits ini
persis dengan aliran Wahhabi. Mereka belum pernah mengarahkan peperangan
terhadap selain umat Islam.
Dalam sejarah mereka belum pernah
dikenal bahwa mereka mendatangi atau bermaksud memerangi penyembah berhala,
karena hal tersebut tidak masuk dalam prinsip dan buku-buku mereka yang isinya
penuh dengan kecaman dan pengkafiran terhadap umat Islam. Al-Imam al-Bukhari
juga meriwayatkan dari Ibn Umar dalam menjelaskan ciri-ciri kaum Khawarij: “Mereka
mengambil ayat-ayat al-Qur’an yang turun mengenai orang-orang kafir, lalu
mereka tuangkan kepada orang-orang beriman”. Ibn Abbas juga berkata: “Janganlah
kalian seperti Khawarij, memaksakan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an untuk umat
Islam (ahlil qiblah). Padahal ayat-ayat tersebut turun mengenai ahlul kitab dan
orang-orang musyrik. Mereka tidak mengetahui ilmunya, lalu mereka mengalirkan
darah dan merampas harta benda orang-orang Muslim”. Demikian pula kaum
Wahhabi, mengambil ayat-ayat yang turun mengenai pemuja berhala, lalu mereka
terapkan pada orang-orang yang beriman. Hal tersebut memenuhi buku-buku dan
menjadi dasar madzhab mereka.
Berikut ini dialog menarik antara Sunni
dengan Wahhabi. Wahhabi berkata: “Kitab-kitab madzhab Hanbali itu
kitab-kitab Wahhabi. Apa yang Anda tidak setuju? Anda tidak boleh menilai
negatif mereka kecuali dengan apa yang tertulis dengan jelas dalam kitab-kitab
mereka, bukan berdasarkan informasi dari pihak lawan Wahhabi”.
Sunni berkata: “Bagaimana Anda
menilai aliran Qaramithah?”
Wahhabi menjawab: “Mereka
orang-orang kafir dan mulhid”.
Sunni berkata: “Orang-orang
Qaramithah berasumsi bahwa madzhab mereka itu madzhab Ahlul Bait. Menurut
mereka, kitab-kitab Ahlul Bait itu kitab-kitab Qaramithah. Bukankah dalam
kitab-kitab Ahlul Bait itu hanya kebenaran dan cahaya?”
Wahhabi berkata: “Qaramithah itu
berbohong. Para sejarawan telah mencatat kekafiran dan kebohongan Qaramithah.”
Sunni berkata: “Anda menganggap
kesaksian sejarawan sebagai hujjah?”
Wahhabi berkata: “Ya, karena
asy-Syafi’i menjelaskan bahwa informasi para sejarawan secara kolektif dari
banyak orang ke banyak orang lebih ia senangi daripada hadits yang diriwayatkan
seorang ahli hadits, melalui seorang perawi dari seorang perawi.”
Sunni menjawab: “Kalau begitu Anda
harus menerima argumentasi saya. Bukankah para sejarawan yang menyaksikan
lahirnya Wahhabi mencatat kekafiran mereka yang nyata. Perbuatan seseorang
sangat kuat sebagai hujjah dan dalil, meskipun lidahnya tidak mengakuinya.
Qaramithah ketika menghalalkan darah dan harta benda kaum Muslimin, maka tanpa
ragu-ragu para ulama meyakini kekafiran mereka. Demikian pula generasi awal
aliran Wahhabi, perbuatannya sama dengan Qaramithah, mengkafirkan dan membantai
kaum Muslimin.”
Akhirnya orang Wahhabi itu emosi. Ia
tidak mampu mengendalikan bicaranya dengan kalimat-kalimat yang sulit
dimengerti.
Sunni berkata: “Bagaimana pendapat
Anda tentang hadits-hadits yang menerangkan tentang Khawarij. Dalam
hadits-hadits tersebut diterangkan bahwa Khawarij keluar dari agama, mereka
akan menjadi anjing-anjing di neraka dan mereka seburuk-buruk orang yang
dibunuh di bawah langit?”
Wahhabi menjawab: “Hadits-hadits
yang ada memberikan kesimpulan yang pasti dan tanpa keraguan bahwa Khawarij
memang keluar dari agama dan berhak menerima murka Allah subhanahu wa ta’ala.
Tetapi mereka orang-orang yang diperangi oleh Ali bin Abi Thalib Ra. di
Nahrawan. Wahhabi bukan bagian dari mereka.”
Sunni berkata: “Mengapa Khawarij
berhak menerima murka Allah subhanahu wata’ala. Apakah karena shalat mereka
lebih baik daripada shalat para sahabat dan puasa mereka lebih baik daripada
puasa sahabat?”
Wahhabi menjawab: “Bukan karena
itu.”
Sunni berkata: “Atau karena mereka
zuhud, bersahaja, membaca al-Qur’an dengan rajin dan sungguh-sungguh dan sering
mengeluarkan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?”
Wahhabi menjawab: “Bukan karena
itu.”
Sunni menjawab: “Kalau bukan karena
itu, lalu karena apa?”
Wahhabi terdiam dan tidak bisa
menjawab.
Lalu Sunni menjawab: “Hal itu karena
Khawarij mengkafirkan dan menghalalkan darah dan harta benda kaum Muslimin.
Mereka mengklaim bahwa hanya mereka kaum Muslimin. Selain mereka jelas kafir.
Sudah barang tentu, kelompok yang memiliki konsep ajaran seperti Khawarij, juga
berhak menerima ancaman seperti mereka.”
BAB VI
MENURUT ASY-SYATHIBI
Tanda-Tanda Aliran Sesat
Pada beberapa waktu yang lalu, Majlis
Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang sesatnya aliran Ahmadiyah.
Terdapat sekian banyak dalil yang diajukan oleh MUI sebagai bukti-bukti
kesesatan Ahmadiyah. Dalam sebuah pertemuan di Surabaya saya mengemukakan bahwa
aliran Wahhabi atau Salafi juga termasuk aliran sesat. Mendengar pernyataan ini
salah seorang peserta diskusi mengajukan pertanyaan, apa bukti-bukti atau
dalil-dalil kesesatan Wahhabi?
Menjawab pertanyaan tersebut, saya
menjelaskan, bahwa al-Imam Abu Ishaq asy-Syathibi telah menguraikan dalam
kitabnya, al-I’tisham tentang tanda-tanda ahli bid’ah atau aliran sesat. Menurut
beliau ada dua macam tanda-tanda aliran sesat:
1)
tanda-tanda terperinci, yang telah
diuraikan oleh para ulama dalam kitab-kitab yang menerangkan tentang
sekte-sekte dalam Islam seperti al-Milal wa an-Nihal, al-Farq baina al-Firaq
dan lain-lain.
2)
tanda-tanda umum. Menurut asy-Syathibi,
secara umum tanda-tanda aliran sesat itu ada tiga:
a.
Perpecahan dan Perceraiberaian
Pertama, terjadinya perpecahan di antara mereka. Hal tersebut
seperti telah diingatkan dalam firman Allah subhanahu wata’ala: “Dan
janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih
sesudah dating keterangan yang jelas kepada mereka.” (QS. Ali Imran
ayat 105), “Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara
mereka sampai hari kiamat.” (QS. al-Maidah ayat 64).
Dalam hadits shahih, melalui Abu Hurairah Ra., Rasulullah Saw.
bersabda: “Sesungguhnya Allah ridha pada kamu tiga perkara dan
membenci tiga perkara. Allah ridha kamu menyembahNya dan janganlah kamu
mempersekutukanNya, kamu berpegang dengan tali (agama) Allah dan
janganlah kamu bercerai berai...”
Kemudian asy-Syathibi mengutip pernyataan sebagian ulama, bahwa
para sahabat banyak yang berbeda pendapat sepeninggal Nabi Saw., tetapi
mereka tidak bercerai-berai. Karena perbedaan mereka berkaitan dengan hal-hal
yang masuk dalam konteks ijtihad dan istinbath dari al-Qur’an dan Sunnah dalam
hukum-hukum yang tidak mereka temukan nashnya.
Jadi, setiap persoalan yang timbul dalam Islam, lalu orang-orang
berbeda pendapat mengenai hal tersebut dan perbedaan itu tidak menimbulkan
permusuhan, kebencian dan perpecahan, maka kami meyakini bahwa persoalan
tersebut masuk dalam koridor Islam.
Sedangkan setiap persoalan yang timbul dalam Islam, lalu
menyebabkan permusuhan, kebencian, saling membelakangi dan memutus hubungan,
maka hal itu kami yakini bukan termasuk urusan agama. Persoalan tersebut
berarti termasuk yang dimaksud oleh Rasulullah Saw. dalam menafsirkan ayat
berikut ini. Rasulullah Saw. bersabda kepada ‘Aisyah: “Wahai ‘Aisyah, siapa
yang dimaksud dalam ayat, “Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya
dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap
mereka”, (QS. al-An’am ayat 159)?” ‘Aisyah menjawab: “Allah dan
RasulNya yang lebih mengetahui.” Nabi Saw. bersabda: “Mereka adalah golongan
yang mengikuti hawa nafsu, ahli bid’ah dan aliran sesat dari umat ini.”
Demikian uraian asy-Syathibi. Setelah menguraikan demikian,
kemudian asy-Syathibi mencontohkan dengan aliran Khawarij. Dimana Khawarij
memecah-belah umat Islam, dan bahkan sesama mereka juga terjadi perpecahan.
Mereka sebenarnya yang dimaksud dengan sabda Nabi Saw.: “Mereka akan
membunuh orang-orang Islam, tetapi membiarkan para penyembah berhala.”
Berkaitan dengan aliran Wahhabi, agaknya terdapat kemiripan antara
Wahhabi dengan Khawarij, yaitu menjadi pemecah-belah umat Islam dan bahkan
sesame mereka juga terjadi perpecahan. Perpecahan sesama Wahhabi telah
dibeberkan oleh Syaikh Abdul Muhsin bin Hamad al-‘Abbad al-Badr, dosen di
Jami’ah Islamiyah, Madinah al-Munawwaroh dalam bukunya, Rifqan Ahlussunnah bi
Ahlissunnah, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ali
Mushri.
Ada kisah menarik berkaitan
dengan perpecahan di kalangan Wahhabi. AD, salah seorang teman saya bercerita
pengalaman pribadinya kepada saya:
“Pada April 2010 saya mengikuti daurah (pelatihan) tentang aliran
Syi’ah di Jakarta yang diadakan oleh salah satu ormas Islam di Indonesia.
Daurah itu dilaksanakan di Gedung LPMP Jakarta Selatan dengan peserta dari
berbagai daerah di seluruh Indonesia. Dalam daurah tersebut, salah seorang
pemateri yang beraliran Salafi berkata: “Aliran Syi’ah itu pecah belah
menjadi 300 aliran lebih. Antara yang satu dengan yang lain saling membid’ahkan
dan bahkan saling mengkafirkan. Jadi, itulah tanda-tanda ahli bid’ah, sesama kelompoknya
saja saling membid’ahkan dan saling mengkafirkan. Kalau Ahlussunnah wal Jama’ah
tidak demikian. Tidak saling membid’ahkan, apalagi saling mengkafirkan.”
Demikian kata pemateri Salafi itu.
Setelah sesi dialog selesai, saya menghampiri pemateri Salafi tadi
dan bertanya: “Ustadz, Anda tadi mengatakan bahwa tanda-tanda ahli bid’ah
itu, sesame kelompoknya terjadi perpecahan, saling membid’ahkan dan saling
mengkafirkan. Sedangkan Ahlussunnah wal Jama’ah tidak demikian. Ustadz, saya
sekarang bertanya, siapa yang dimaksud Ahlussunnah wal Jama’ah menurut Ustadz?
Bukankah sesama ulama Salafi di Timur Tengah yang mengklaim Ahlussunnah wal
Jama’ah juga terjadi perpecahan, saling membid’ahkan dan bahkan saling
mengkafirkan. Misalnya Abdul Muhsin al-’Abbad dari Madinah menganggap al-Albani
berfaham Murji’ah. Hamud at-Tuwaijiri dari Riyadh menilai al-Albani telah
mulhid (tersesat). Al-Albani juga memvonis tokoh Wahhabi di Saudi Arabia yang
mengkritiknya sebagai musuh tauhid dan sunnah. Komisi fatwa Saudi Arabia yang
beranggotakan al-Fauzan dan al-Ghudyan, serta ketuanya Abdul Aziz Alus-Syaikh
memvonis Ali Hasan al-Halabi, murid al-Albani dan ulama Wahhabi yang tinggal di
Yordania, berfaham Murji’ah dan Khawarij. Kemudian Husain Alus-Syaikh yang
tinggal di Madinah membela al-Halabi dan mengatakan bahwa yang membid’ahkan
al-Halabi adalah ahli bid’ah dan bahwa al-Fauzan telah berbohong dalam fatwanya
tentang al-Halabi. Al-Halabi pun membalas juga dengan mengatakan, bahwa Safar
al-Hawali, pengikut Wahhabi di Saudi Arabia, beraliran Murji’ah. Ahmad bin
Yahya an-Najmi, ulama Wahhabi di Saudi Arabia, memvonis al-Huwaini dan
al-Mighrawi yang tinggal di Mesir mengikuti faham Khawarij. Falih al-Harbi dan
Fauzi al-Atsari dari Bahrain menuduh Rabi’ al-Madkhali dan Wahhabi Saudi
lainnya mengikuti faham Murji’ah. Dan banyak pula ulama Wahhabi yang hampir
saja menganggap Bakar Abu Zaid, ulama Wahhabi yang tinggal di Riyadh, keluar
dari mainstream Wahhabi karena karangannya yang berjudul Tashnif an-Nas baina
adz-Dzann wa al-Yaqin. Dengan kenyataan terjadinya perpecahan di kalangan ulama
Salafi seperti ini, menurut Ustadz layakkah para ulama Salafi tadi disebut
Ahlussunnah wal Jama’ah?”
Mendengar pertanyaan tersebut, Ustadz Salafi itu hanya menjawab: “Wah,
kalau begitu, saya tidak tahu juga ya”. Demikian jawaban Ustadz Salafi itu
yang tampaknya kebingungan.” Demikian kisah teman saya, AD.
Beberapa bulan sebelumnya, ketika data-data perpecahan di kalangan
ulama Salafi di Timur Tengah tersebut disampaikan kepada Ustadz Ali Musri,
tokoh Wahhabi dari Sumatera yang sekarang tinggal di Jember, Ustadz Ali Musri
langsung mengatakan: “Data ini fitnah. Di kalangan ulama Salafi tidak ada
perpecehan.” Demikian jawaban Ustadz Ali Mushri pada waktu itu.
Namun tanpa diduga sebelumnya, beberapa hari kemudian, Ustadz Ali
Mushri membagi-bagikan beberapa buku kecil kepada mahasiswanya di STAIN Jember.
Ketika saya mengajar di STAIN Jember, sebagian mahasiswa yang menerima
buku-buku tersebut, meminjamkannya kepada saya. Dan ternyata, di antara buku
tersebut ada yang berjudul, Rifqan Ahlussunnah bi Ahlissunnah, karangan Dr.
Abdul Muhsin bin Hamad al-‘Abbad al-Badar, dosen Ustadz Ali Mushri ketika
kuliah di Jami’ah Islamiyah, Madinah al-Munawwaroh.
Ternyata dalam kitab Rifqan Ahlussunnah bi Ahlissunnah, Dr. Abdul
Muhsin membeberkan terjadinya perpecahan di kalangan Salafi yang sangat parah
dan sampai klimaks, sampai pada batas saling membid’ahkan, tidak bertegur sapa,
memutus hubungan dan sebagainya. Subhanallah, kesesatan suatu golongan
dibeberkan oleh orang dalam sendiri. “Dan seorang saksi dari keluarga wanita
itu memberikan kesaksiannya.” (QS. an-Nahl ayat 26).
b.
Mengikuti Teks Mutasyabihat
Kedua, mengikuti teks mutasyabihat, seperti yang diingatkan dalam
firman Allah subhanahu wata’ala: “Adapun orang-orang yang dalam hatinya
condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabihat untuk
menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya.” (QS. Ali Imran ayat 7).
Ayat ini menegaskan bahwa orang-orang sesat selalu mengikuti ayat-ayat
mutasyabihat dalam al-Qur’an. Mereka suka mengikuti teks yang mutasyabih, bukan
yang muhkam.
Menurut Asy-Syathibi, yang dimaksud mutasyabih di sini adalah teks
yang samar maknanya dan belum dijelaskan maksudnya. Menurutnya, mutasyabih itu
ada dua:
1)
mutasyabih haqiqi seperti lafadz-lafadz
yang mujmal (global) dan ayat-ayat yang secara literal menunjukkan keserupaan
Allah subhanahu wata’ala dengan makhluk.
2)
mutasyabih relatif (idhafi), yaitu ayat
yang membutuhkan dalil eksternal untuk menjelaskan makna yang sebenarnya,
meskipun secara sepintas, teks tersebut memiliki kejelasan makna, seperti
ketika orang-orang Khawarij berupaya membatalkan arbitrase mengambil dalil dari
ayat, “innama al-hukmu illa lillah (hukum hanya milik Allah)”. Secara
literal, ayat tersebut dapat dibenarkan menjadi dalil mereka. Tetapi apabila
dikaji lebih mendalam, ayat tersebut masih membutuhkan penjelasan. Berkaitan
dengan hal ini Ibn Abbas memberikan penjelasan, bahwa hukum Allah subhanahu
wata’ala itu terkadang terjadi tanpa proses arbitrase, karena ketika Allah
subhanahu wata’ala memerintahkan kita melakukan arbitrase, maka hukum yang
menjadi keputusannya juga dianggap sebagai hukum Allah subhanahu wata’ala.
Demikian pula pernyataan Khawarij yang menyalahkan Sayidina Ali Ra. Menurut
Khawarij, “Ali telah memerangi musuhnya, tetapi tidak melakukan penawanan.”
Di sini kaum Khawarij membatasi logika mereka pada satu sisi saja, yaitu kalau
memang kelompok ‘Aisyah dan Muawiyah itu boleh diperangi, mengapa mereka tidak
dijadikan tawanan oleh Ali sebagaimana Rasulullah Saw. menawan musuh-musuhnya
dalam peperangan? Dalam logika berpikir ini, Khawarij telah meninggalkan sisi
lain, yaitu sisi yang dijelaskan oleh firman Allah subhanahu wata’ala: “Dan
jika ada dua golongan dari orang-orang mu’min berperang maka damaikanlah antara
keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap
golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga
golongan itu kembali kepada perintah Allah.” (QS. al-Hujurat ayat 9). Ayat
tersebut menjelaskan tentang peperangan tanpa operasi penawanan sesudahnya
terhadap pihak yang kalah. Hal ini yang tidak disadari oleh kaum Khawarij. Akan
tetapi dalam perdebatan dengan Khawarij, Ibn Abbas mengingatkan mereka pada
aspek yang lebih mematahkan, yaitu bahwa jika dalam peperangan Ali Ra. terjadi
operasi penawanan, maka sebagian mereka akan mendapat bagian Ummul Mu’minin
‘Aisyah sebagai tawanannya. Dengan demikian, pada akhirnya mereka akan
menyalahi al-Qur’an, yang mereka klaim berpegang teguh dengannya.
Berkaitan dengan aliran Wahhabi, kita dapati mereka selalu
berpegangan dengan ayat-ayat mutasyabihat. Misalnya ketika kaum Wahhabi membaca
ayat al-Qur’an: “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka
mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (QS. az-Zumar ayat
3), maka mereka mengatakan bahwa orang yang berdoa kepada Allah subhanahu
wata’ala melalui perantara (tawassul) orang yang sudah wafat, berarti telah
syirik dan kafir. Kaum Wahhabi lupa, bahwa disamping mereka tidak memahami
makna ibadah secara benar, mereka juga tidak menyadari bahwa bertawassul dengan
para Nabi dan orang-orang saleh, telah diajarkan oleh Nabi Saw., para sahabat,
tabi’in dan generasi penerusnya. Sehingga dengan pemahaman yang dangkal
terhadap ayat tersebut, Wahhabi akhirnya terjerumus pada pengkafiran terhadap
kaum Muslimin. Dan jika diamati dengan seksama, dalam setiap pendapat yang
keluar dari mainstream kaum Muslimin, kaum Wahhabi biasanya mengikuti teks-teks
literal yang tidak dipahami maknanya secara benar.
Al-Imam asy-Syathibi berkata dalam kitabnya al-I’tisham yang
sangat populer: “Renungkanlah, logika berpikir mengikuti ayat-ayat
mutasyabihat, dapat membawa seseorang pada kesesatan dan keluar dari jamaah.
Oleh karena itu Rasulullah Saw. bersabda: “Apabila kalian melihat orang-orang
yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat, maka merekalah orang-orang yang
disebutkan oleh Allah (sebagai orang-orang yang sesat). Hati-hatilah dengan
mereka”.
c.
Mengikuti Hawa Nafsu
Ketiga, mengikuti hawa nafsu sebagaimana diingatkan oleh firman
Allah subhanahu wata’ala, “Adapun orang-orang yang dalam hatinya
condong pada kesesatan (zaigh).” (QS. Ali Imran ayat 3). Kesesatan
(zaigh) adalah lari dari kebenaran karena mengikuti hawa nafsu. Dalam
ayat lain, “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang
mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah
sedikitpun.” (QS. al-Qashash ayat 50).
Ada kisah menarik berkaitan dengan mengikuti hawa nafsu ini.
Ketika orangorang Khawarij mengasingkan diri dan menjadi kekuatan
oposisi terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib Ra, Ali selalu didatangi
orang-orang yang memberinya saran: “Wahai Amirul Mu’minin, mereka
melakukan gerakan melawan Anda.”
Ali Ra. hanya menjawab: “Biarkan saja mereka. Aku tidak
akan memerangi mereka, sebelum mereka memerangiku. Dan mereka pasti
melakukannya.”
Sampai akhirnya pada suatu hari, Ibn Abbas mendatanginya
sebelum waktu Dzuhur dan berkata: “Wahai Amirul Mu’minin, aku mohon
shalat Dzuhur agak diakhirkan, aku hendak mendatangi mereka (Khawarij)
untuk berdialog dengan mereka.”
Ali Ra. menjawab: “Aku khawatir mereka
mengapa-apakanmu.”
Ibn Abbas berkata: “Tidak perlu khawatir. Aku laki-laki
yang baik budi pekertinya dan tidak pernah menyakiti orang.”
Akhirnya Ali Ra. merestuinya. Lalu Ibn Abbas memakai pakaian
yang paling bagus produk negeri Yaman. Ibn Abbas berkata: “Aku
menyisir rambutku dengan rapi dan mendatangi mereka pada waktu terik
matahari. Setelah aku mendatangi mereka, aku tidak pernah melihat orang
yang lebih bersungguh-sungguh daripada mereka. Pada dahi mereka tampak
sekali bekas sujud. Tangan mereka kasar seperti kaki onta. Dari wajah
mereka, tampak sekali kalau mereka tidak tidur malam untuk beribadah. Lalu
aku mengucapkan salam kepada mereka.”
Mereka menjawab: “Selamat datang Ibn Abbas. Apa
keperluanmu?”
Aku menjawab: “Aku datang mewakili kaum Muhajirin dan Anshar
serta menantu Rasulullah Saw. Al-Qur’an turun di tengah-tengah mereka.
Mereka lebih mengetahui maksud al-Qur’an daripada kalian. Lalu sebagian mereka
berkata, “Jangan berdebat dengan kaum Quraisy, karena Allah subhanahu
wata’ala berfirman: “Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar”.
(QS. az-Zukhruf ayat 58).
Kemudian ada dua atau tiga orang berkata: “Kita akan berdialog
dengan Ibn Abbas.”
Kemudian terjadi dialog antara Ibn Abbas dengan mereka.
Setelah Ibn Abbas berhasil mematahkan argumentasi mereka, maka 2000
orang Khawarij kembali kepada barisan Sayidina Ali bin Abi Thalib Ra.
Sementara yang lain tetap bersikeras dengan pendiriannya. 2000 orang
tersebut kembali kepada kelompok kaum Muslimin, karena berhasil mengalahkan
hawa nafsu mereka. Sementara yang lainnya, telah dikalahkan oleh hawa
nafsunya, sehingga bertahan dalam kekeliruan.
Kita seringkali melihat atau mendengar kisah perdebatan para ulama
Ahlussunnah wal Jama’ah dengan tokoh-tokoh ahli bid’ah, misalnya orang Syi’ah,
Wahhabi, atau lainnya. Akan tetapi meskipun mereka berulangkali dikalahkan
dalam perdebatan, dengan dalil-dalil al-Qur’an, Sunnah dan pandangan
ulama salaf, mereka tidak pernah kembali kepada kebenaran, karena hawa nafsu
telah mengalahkan mereka.
d.
Tidak Mengetahui Posisi Sunnah
Al-Imam asy-Syathibi dalam kitabnya al-I’tisham membuat sebuah
pertanyaan yang dijawabnya sendiri, mengapa seseorang itu mengikuti hawa
nafsu dan kemudian pendapat-pendapatnya menjelma dalam bentuk sebuah
aliran sesat? Hal tersebut ada kaitanya dengan latar belakang lahirnya
aliran-aliran sesat, yang sebagian besar berangkat dari ketidaktahuan
terhadap Sunnah. Hal ini seperti diingatkan oleh sebuah hadits shahih, “Manusia
menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin”.
Menurut asy-Syathibi, setiap orang itu mengetahui terhadap dirinya
apakah ilmunya sampai pada derajat menjadi mufti atau tidak. Ia juga
mengetahui apabila melakukan introspeksi diri ketika ditanya tentang
sesuatu, apakah ia berpendapat dengan ilmu pengetahuan yang terang tanpa
kekaburan atau bahkan sebaliknya. Ia juga mengetahui ketika dirinya
meragukan ilmu yang dimilikinya. Oleh karena itu, menurut asy-Syathibi: “Seorang
alim apabila keilmuannya belum diakui oleh para ulama, maka kealimannya
dianggap tidak ada, sampai akhirnya para ulama menyaksikan kealimannya.”
Kaitannya dengan aliran Wahhabi, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab,
sang pendiri aliran Wahhabi sendiri, termasuk orang yang tidak jelas
kealimannya. Tidak seorang pun dari kalangan ulama yang semasa dengan
Syaikh Muhammad, yang mengakui kealimannya. Bahkan menurut Syaikh Ibn
Humaid dalam ash-Suhub al-Wabilah, kitab yang menghimpun biografi para
ulama madzhab Hanbali, Syaikh Muhammad sering dimarahi ayahnya, karena
ia tidak rajin mempelajari ilmu fiqih seperti para pendahulu dan
orang-orang di daerahnya.
Pernyataan Syaikh Ibn Humaid, diperkuat dengan pernyataan Syaikh
Sulaiman bin Abdul Wahhab, kakak kandung Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
an-Najdi, yang mengatakan dalam kitabnya ash-Shawa’iq al-Ilahiyyah fi ar-Radd
‘ala al-Wahhabiyyah halaman 5: “Hari ini manusia mendapat ujian dengan
tampilnya seseorang yang menisbatkan dirinya kepada al-Qur’an dan
al-Sunnah dan menggali hukum dari ilmu-ilmu al-Qur’an dan Sunnah. Ia
tidak peduli dengan orang yang berbeda dengannya. Apabila ia diminta
membandingkan pendapatnya terhadap para ulama, ia tidak mau. Bahkan ia
mewajibkan manusia mengikuti pendapat dan konsepnya. Orang yang
menyelisihinya, dianggap kafir. Padahal tak satupun dari syarat-syarat
ijtihad ia penuhi, bahkan demi Allah, 1 % pun ia tidak memiliknya. Meski
demikian pandangannya laku di kalangan orang-orang awam. Inna lillah
wainna ilaihi raji’un.”
Dewasa ini, para pengikut aliran Wahhabi atau Salafi, sebagian
besar memang orang-orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan agama yang
memadai. Ada kisah menarik berkaitan hal ini. Bahrul Ulum, teman saya
yang tinggal di Surabaya, bercerita kepada saya:
“Suatu hari saya mendatangi Ustadz Mahrus Ali yang populer dengan
mantan kiai NU, di rumahnya, Waru Sidoarjo. Ternyata Ustadz Mahrus Ali
sedang menulis buku yang isinya mengharamkan ayam. Melihat tulisan
tersebut, saya segera membuka Shahih al-Bukhari, dan di situ ada sebuah
hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah Saw. pernah makan ayam.
Saya tunjukkan kepada Ustadz Mahrus Ali, hadits dalam Shahih al-Bukhari itu
sambil menyerahkan kitabnya. Ternyata, di luar dugaan, Ustadz Mahrus Ali
bilang: “Hadits ini hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat saja.” Mendengar
jawaban tersebut, saya terkejut. Ternyata Ustadz Mahrus Ali mengikuti
logika orientalis, menolak otoritas hadits ahad.” Demikian cerita Bahrul Ulum.
Menurut saya, sebenarnya Mahrus Ali itu bukan bermaksud mengikuti
logika orientalis. Ia hanya bermaksud menutupi rasa malunya saja dengan
alas an bahwa hadits tersebut hanya diriwayatkan oleh seorang
sahabat saja. Sebab dalam logika Wahhabi, kedudukan hadits ahad
(kebalikan hadits mutawatir) sama dengan hadits mutawatir,
sama-sama menjadi pedoman dalam akidah dan hukum.
Sekitar dua tahun yang lalu, saya sering mendapat pertanyaan,
mengapa LBM NU Jember tidak menulis bantahan terhadap buku-buku
Mahrus Ali yang baru. LBM hanya membantah buku Mahrus Ali yang
pertama.
Kami dari tim LBM NU Jember memang tidak menulis
bantahan terhadap buku-buku Mahrus Ali yang baru, karena
disamping buku-buku yang baru, dalil dan argumentasinya sama dengan
buku yang pertama, juga dalam buku-buku yang baru, pendapat-pendapatnya banyak
yang berangkat dari ketidaktahuan terhadap hadits-hadits Nabi
Saw. yang terdapat dalam kitab-kitab hadits.
Misalnya dalam buku kedua, Mahrus Ali mengatakan: “Kini, saya
tidak mau lagi mencium tangan guru-guru saya, karena saya tidak pernah
melihat para sahabat mencium tangan Nabi shallallahu alaihi wasallam.” Pernyataan
ini jelas menyingkap siapa sebenarnya Mahrus Ali. Bukankah
hadits-hadits yang menerangkan bahwa para sahabat mencium tangan
Nabi Saw. terdapat dalam kitab standart yang enam. Bahkan sebagian ulama ahli
hadits dari generasi salaf, yaitu al-Imam al-Hafidz Abu Bakr Ibn al-Muqri’
al-Ashbihani, menulis kitab khusus tentang mencium tangan berjudul Juz’ fi
Taqbil al-Yad. Tetapi Ustadz Mahrus Ali, seperti kebiasaan kaum Wahhabi, memang
sangat mudah mendistribusikan vonis bid’ah dan syirik terhadap hal-hal yang
tidak disetujuinya, tanpa mengetahui dalil-dalil yang semestinya.
e.
Menghujat Generasi Salaf
Menurut al-Imam asy-Syathibi, dari ketiga tanda-tanda aliran sesat
di atas, tanda yang pertama diterangkan dalam hadits-hadits iftiraq
(yang menerangkan tentang perpecahan umat Islam). Sedangkan tanda-tanda
kedua dan ketiga, yaitu mengikuti teks mutasyabihat dan hawa nafsu,
tidak diterangkan dalam hadits-hadits iftiraq, akan tetapi disebutkan
dalam ayat al-Qur’an (QS. Ali Imran ayat 7).
Selain hal tersebut, asy-Syathibi juga menerangkan bahwa ciri khas
ahli bid’ah dapat diketahui dari awal pembicaraan. Yaitu setiap bertemu
orang lain, ia akan membeberkan kejelekan orang-orang terdahulu yang
dikenal alim, saleh dan menjadi panutan umat. Sebaliknya ia akan
menyanjung setinggi langit, orang-orang yang berbeda dengan para tokoh
panutan tersebut.
Dalam hal ini asy-Syathibi memberikan contoh bagi kita, bagaimana
kaum Khawarij mengkafirkan para sahabat Nabi Saw. Padahal para
sahabat telah dipuji oleh Allah dalam al-Qur’an dan dipuji oleh Rasulullah Saw.
dalam hadits-hadits shahih. Sebaliknya, kaum Khawarij justru memuji
Abdurrahman bin Muljam al-Muradi karena telah membunuh Sayidina Ali Ra.
Perbuatan serupa juga dilakukan oleh orang-orang Syi’ah. Syi’ah
telah menghujat dan mengkafirkan para sahabat. Menurut Syi’ah, seperti
dalam riwayat al-Kulaini dalam Ushul al-Kafi: “Sesudah Nabi Saw. wafat,
semua sahabat menjadi murtad kecuali tiga orang saja, yaitu Salman al-Farisi,
Abu Dzar al-Ghifari dan Miqdad bin al-Aswad.”
Sementara kaum Wahhabi, secara ekslpisit tidak mengkafirkan para
sahabat dan generasi salaf. Namun dari pandangan mereka yang
membid’ahkan dan mengkafirkan beberapa amaliah generasi salaf
sejak masa sahabat, tabi’in dan generasi penerusnya, seperti
amaliah tawassul, istighatsah, tabarruk dan lain-lain, sebagian
ulama menganggap kaum Wahhabi telah membid’ahkan dan mengkafirkan
generasi salaf secara implisit. Bukankah amaliah tawassul, tabarruk,
istighatsah dan lain-lain yang menjadi isu-isu kontroversi antara kaum Sunni
dengan Wahhabi, telah diajarkan oleh kaum salaf, generasi sahabat, tabi’in
dan generasi sesudahnya. Sebaliknya, kaum Wahhabi justru menganggap orang-orang
Musyrik seperti Abu Jahal, Abu Lahab dan lain-lain lebih mantap tauhidnya
dari pada kaum Muslimin yang bertawassul.
Belakangan, dari kaum Wahhabi kontemporer tidak sedikit terlontar
pernyataan tokoh-tokoh mereka yang menistakan generasi salaf
secara parsial (juz’i). Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz,
misalnya menganggap sahabat Bilal bin al-Harits al-Muzani Ra. telah musyrik,
dalam komentarnya terhadap kitab Fath al-Bari Syarh Shahih
al-Bukhari karena melakukan istighatsah di makam Rasulullah Saw.
pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab Ra.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin dalam fatwanya,
menganggap al-Imam an-Nawawi dan al-Hafidz Ibn Hajar al-’Asqalani bukan
pengikut Ahlussunnah.
Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam fatwanya mengkafirkan al-Imam
al-Bukhari karena melakukan ta’wil terhadap ayat mutasyabihat
dalam al-Qur’an. Dalam kitab at-Tawassul Ahkamuhu wa Anwa’uhu, al-Albani juga
mencela Sayyidah ‘Aisyah, dan menganggapnya tidak mengetahui
kesyirikan.
Syaikh Ahmad bin Sa’ad bin Hamdan al-Ghamidi,
menganggap al-Imam al-Hafidz al-Lalika’i, pengarang kitab Syarh
Ushul I’tiqad Ahlussunnah wa al-Jama’ah, tidak bersih dari kesyirikan.
Demikian sekelumit contoh penistaan tokoh-tokoh Wahhabi terhadap
generasi salaf dan para ulama terkemuka secara parsial.
f.
Sulit Diajak Dialog Terbuka
Pada bulan Maret 2008, tim LBM NU Jember mengajak Mahrus Ali untuk
berdialog dan berdebat secara terbuka di IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Hasilnya, dengan berbagai alasan Mahrus Ali tidak siap datang.
Sesudah itu, beberapa kali ia diajak dialog di Universitas
Diponegoro Semarang, kemudian di Universitas Brawijaya Malang, ia juga tidak
siap. Dan terakhir dia diajak dialog di masjid di sebelah rumah tempat
tinggalnya, ternyata ia tidak datang. Sepertinya ia tidak berani berdialog
terbuka dengan para ulama, karena ia merasa yakin bahwa dalil-dalil yang
dimilikinya sangat lemah sekali dan tidak akan mampu bertahan di arena
perdebatan ilmiah
Al-Imam asy-Syathibi menjelaskan dalam al-I’tisham, bahwa sebagian
besar kaum ahli bid’ah dan pengikut aliran sesat tidak suka berdialog dan
berdebat dengan pihak lain. Menurut asy-Syathibi, mereka tidak akan membicarakan
pendapatnya dengan orang yang alim, khawatir kelihatan kalau pendapat mereka
tidak memiliki landasan dalil syar’i yang otoritatif. Sikap yang mereka
tampakkan ketika bertemu dengan orang alim adalah sikap pura-pura. Tetapi
ketika mereka bertemu dengan orang awam, mereka akan mengajukan sekian banyak
kritik dan sanggahan terhadap ajaran dan amaliah umat Islam yang sesuai dengan
syari’at. Sedikit demi sedikit, mereka masukkan ajaran bid’ahnya kepada
kalangan awam.
Dalam beberapa kali diskusi dengan kaum Wahhabi, seperti awal
Agustus 2010 di Sampang, beberapa bulan sebelumnya di Yogyakarta dan Juli 2010
di Denpasar, tidak sedikit dari kalangan Wahhabi yang melontarkan pernyataan
kepada saya, “Kita tidak perlu berdialog soal-soal khilafiyah antara Sunni
dengan Wahhabi. Ini sama sekali tidak penting. Musuh kita orang-orang kafir,
Amerika, Zionis dan lainnya yang dengan rapi berupaya menghancurkan umat
Islam.”
Begitulah kira-kira ucapan mereka. Tentu saja ucapan itu mereka
lontarkan ketika posisi mereka terdesak dalam arena perdebatan dan diskusi
ilmiah yang disaksikan oleh publik. Mereka merasa khawatir, pandangan-pandangan
mereka yang keluar dari mainstream kaum Muslimin akan terbongkar kelemahan dan
kerapuhannya.
Terbukti, mereka sendiri ketika berbicara di hadapan orang awam,
tidak pernah berhenti membid’ahkan dan mengkafirkan umat Islam di luar golongan
mereka. Bahkan selama ini, kelompok mereka sangat agresif membicarakan dan
menyebarkan isu-isu khilafiyah antara Sunni dengan Wahhabi, maupun dengan
lainnya.
Al-Imam asy-Syathibi berkata dalam al-I’tisham: “Jangan
berharap mereka (ahli bid’ah) akan berdialog dengan seorang alim yang pakar
dalam ilmunya.”
BAB VII
ISTIGHATSAH DAN TAWASSUL
Hakekat Istighatsah dan Tawassul
Para ulama seperti al-Imam al-Hafidz
Taqiyyuddin as-Subki menegaskan bahwa tawassul, istisyfa’, istighatsah,
isti’anah, tajawwuh dan tawajjuh, memiliki makna dan hakekat yang sama. Mereka
mendefinisikan tawassul (dan istilah-istilah lain yang sama) dengan definisi
sebagai berikut: “Memohon datangnya manfaat (kebaikan) atau terhindarnya
bahaya (keburukan) kepada Allah dengan menyebut nama seorang nabi atau wali
untuk memuliakan (ikram) keduanya”. (Al-Hafidz al-’Abdari, ash-Syarh
al-Qawim halaman 378).
Sebagian kalangan memiliki persepsi
bahwa tawassul adalah memohon kepada seorang Nabi atau Wali untuk mendatangkan
manfaat dan menjauhkan bahaya dengan keyakinan bahwa Nabi atau Wali itulah yang
mendatangkan manfaat dan menjauhkan bahaya secara hakiki. Persepsi yang keliru
tentang tawassul ini kemudian membuat mereka menuduh orang yang bertawassul
kafir dan musyrik. Padahal hakekat tawassul di kalangan para pelakunya adalah
memohon datangnya manfaat (kebaikan) atau terhindarnya bahaya (keburukan)
kepada Allah subhanahu wata’ala dengan menyebut nama seorang nabi atau wali
untuk memuliakan keduanya.
Ide dasar dari tawassul ini adalah
sebagai berikut: Allah subhanahu wa ta’ala telah menetapkan bahwa biasanya
urusan-urusan di dunia ini terjadi berdasarkan hukum kausalitas; sebab akibat.
Sebagai contoh, Allah subhanahu wata’ala sesungguhnya Maha Kuasa untuk
memberikan pahala kepada manusia tanpa beramal sekalipun, namun kenyataannya
tidak demikian. Allah subhanahu wata’ala memerintahkan manusia untuk beramal
dan mencari hal-hal yang mendekatkan diri kepadaNya. Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, dan sesungguhnya
yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” (QS.
al-Baqarah ayat 45).
Allah subhanahu wa ta’ala juga
berfirman: “Dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepadaNya (Allah).” (QS.
al-Maidah ayat 35). Ayat ini memerintahkan untuk mencari segala cara yang dapat
mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wata’ala. Artinya, carilah sebab-sebab
tersebut, kerjakanlah sebab-sebab itu, maka Allah subhanahu wata’ala akan
mewujudkan akibatnya. Allah subhanahu wata’ala telah menjadikan tawassul dengan
para Nabi dan Wali sebagai salah satu sebab dipenuhinya permohonan hamba.
Padahal Allah subhanahu wa ta’ala Maha Kuasa untuk mewujudkan akibat tanpa
sebab-sebab tersebut. Oleh karena itu, kita diperkenankan bertawassul dengan
para Nabi dan Wali dengan harapan agar permohonan kita dikabulkan oleh Allah
subhanahu wata’ala.
Jadi, tawassul adalah sebab yang
dilegitimasi oleh syara’ sebagai sarana dikabulkannya permohonan seorang hamba.
Tawassul dengan para Nabi dan Wali diperbolehkan baik di saat mereka masih
hidup atau mereka sudah meninggal. Karena seorang mukmin yang bertawassul,
tetap berkeyakinan bahwa tidak ada yang menciptakan manfaat dan mendatangkan
bahaya secara hakiki kecuali Allah subhanahu wata’ala. Para Nabi dan para Wali
tidak lain hanyalah sebab dikabulkannya permohonan hamba karena kemuliaan dan
ketinggian derajat mereka. Ketika seorang Nabi atau Wali masih hidup, Allah subhanahu
wata’ala yang mengabulkan permohonan hamba. Demikian pula setelah mereka
meninggal, Allah subhanahu wata’ala juga yang mengabulkan permohonan seorang
hamba yang bertawassul dengan mereka, bukan Nabi atau Wali itu sendiri.
Sebagaimana orang yang sakit pergi ke dokter dan meminum obat agar diberikan
kesembuhan oleh Allah subhanahu wata’ala, meskipun keyakinannya pencipta
kesembuhan adalah Allah subhanahu wata’ala, sedangkan obat hanyalah sebab
kesembuhan.
Jika obat adalah contoh sabab ‘âdi
(sebab-sebab alamiah), maka tawassul adalah sabab syar’i (sebab-sebab yang
diperkenankan syara’).
Syaikh Majdi Ghassan Ma’ruf al-Husaini,
seorang ulama Ahlussunnah wal Jama’ah dari Lebanon bercerita:
“Suatu ketika seorang Wahhabi dengan
beraninya berkata kepada saya: “Mengapa kalian selalu beristighatsah dengan
mengucapkan “Ya Muhammad”. Ucapkan saja “Ya Allah”, tanpa perantara!”
Saya bertanya, “Kalau Anda terserang
sakit kepala, apa yang Anda lakukan?”
Ia menjawab: “Saya minum dua tablet
obat sakit kepala.”
Saya berkata: “Mengapa Anda
melakukan itu? Bukankah Allah itu Maha Penyembuh? Mengapa Anda tidak langsung
saja berdoa kepada Allah, “Ya Allah, ya Syafi isyfini (Ya Allah, Dzat Yang Maha
Penyembuh, sembuhkanlah aku)”. Mengapa Anda membuat perantara dan sebab musabab
untuk kesembuhan antara anda dengan Allah? Kalau Anda minum dua tablet obat
tersebut sebagai perantara kesembuhan Anda, maka kami Ahlussunnah wal Jama’ah
menjadikan Muhammad Saw. sebagai perantara kami, dan beliaulah perantara yang
paling agung.”
Akhirnya, Wahhabi tersebut tidak dapat
menjawab.
Debat Publik di Melbourne Australia
Abdurrahman Dimasyqiyat adalah salah
satu tokoh Wahhabi kelahiran Lebanon. Nama lengkapnya Abdurrahman Muhammad
Sa’id Dimasyqiyat. Karya-karyanya mulai populer di kalangan Wahhabi Indonesia.
Bahkan banyak pula tulisannya yang dipublikasikan melalui program software
Maktabah Syamilah. Tetapi dari kalangan Wahhabi sendiri tidak banyak yang tahu
siapa sebenarnya Abdurrahman Dimasyqiyat. Masa lalunya penuh dengan skandal. Di
setiap tempat yang pernah disinggahinya, ia selalu bikin ulah. Lidahnya selalu
menghujat umat Islam, generasi salaf (terdahulu) maupun generasi khalaf
(terkemudian). Kerjanya, merubah ajaran agama. Mencela para kekasih Allah
subhanahu wata’ala. Menyerang orang-orang saleh. Kebiasaannya, mencela
orang-orang yang baik. Ia lupa bahwa Allah subhanahu wata’ala telah berfirman
dalam hadits qudsi: “Barangsiapa yang memusuhi kekasihKu, maka Aku
deklarasikan perang terhadapnya.”
Akibat ulahnya, akhirnya orang-orang
banyak tahu kebusukan masa lalunya. Petualangannya dengan wanita-wanita cantik
dan kegemarannya mengikuti para biduanita menjadi obrolan dari mulut ke mulut.
Banyak pula yang membicarakan kisah-kisah kelamnya ketika di Universitas
al-Azhar Cabang Lebanon dulu, dalam pemeriksaan yang suaranya
direkaman-rekamannya masih ada sampai sekarang, dan saksi-saksinya masih hidup,
dimana dalam rekaman itu ia mengakui telah melakukan perbuatan asusila, yaitu
melakukan homo sex, yang dituduhkan kepadanya. Akibatnya, ia pun dikeluarkan
dari al-Azhar Lebanon pada tahun 1972. Kasus itu, diakuinya sendiri.
Abdurrahman Dimasyqiyat tidak menepis
kejadian itu. Ia tidak menutup-nutupi aib dirinya. Bahkan tanpa merasa malu ia
berterus-terang telah melakukannya. Seakan-akan ia bangga dengan perbuatannya.
Dengan enteng ia berkata, “Pada waktu itu aku masih belum baligh, catatan
amal masih belum berlaku bagiku.”
Tentu saja pengakuan seperti ini tidak
aneh dari seseorang yang telah memutus hubungan dengan kerabatnya.
Menyakiti kedua orang tuanya. Selalu gagal mencari pekerjaan yang
mendatangkan hasil yang halal di Lebanon dan di Perancis.
Akhirnya, apa boleh dikata, Abdurrahman
Dimasyqiyat menjulur-julurkan lidahnya di belakang uang logam dan dolar
sebagai penulis bayaran kaum Wahhabi. Ia memulung sisa-sisa makanan di
bawah meja orang-orang gendut berperut besar dan berhati keras sekeras
batu. Yaitu kaum Musyabbihah (kaum yang menyerupakan Allah dengan
makhlukNya) dan kaum anti tawassul.
Di antara mukjizat Rasulullah Saw.
adalah sabda beliau yang memperingatkan umatnya agar berhati-hati dengan
kaum Wahhabi sebelum kemunculan mereka. Nabi Saw. Bersabda: “Kepala
kekafiran muncul di arah timur.” Dalam hadits lain, Rasulullah Saw.
menunjuk ke arah timur, daerah Najd, dan bersabda: “Fitnah akan muncul dari
sana, fitnah akan muncul dari sana, dan diucapkannya sampai tiga kali”.
Kedua hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari.
Akhirnya semua orang tahu siapa
sebenarnya Abdurrahman Dimasyqiyat. Identitasnya terungkap di Swedia. Ia
melarikan diri dari perdebatan setelah menyetujui kesepakatan pada waktu yang
dijanjikan. Kemudian ia mengira bahwa pengikut kebenaran melupakannya begitu
saja ketika ia di Australia. Ternyata Abdurrahman Dimasyqiyat menyetujui debat
publik bersama Syaikh Salim Alwan al-Hasani. Namun kemudian Dimasyqiyat takut,
ragu-ragu dan berupaya menghindar. Sementara pengikutnya melakukan teror dan
ancaman. Akan tetapi takdir Allah subhanahu wata’ala pasti terjadi. Akhirnya
perdebatan terjadi. Kebenaran tampak dan kebatilan sirna. Sesungguhnya kebatilan
pasti sirna.
Abdurrahman Dimasyqiyat telah
berkali-kali diminta melalui radio dan surat kabar, agar siap berdebat. Namun
ia selalu melarikan diri. Akhirnya ia pun terpaksa datang karena takut malu. Ia
datang ke Aula Universitas Melbourne pada tanggal 9 November 1994. Di Aula itu
telah disiapkan meja untuk Syaikh Salim Alwan dan Syaikh Abdurrahman al-Harari.
Di depannya ada meja yang disiapkan untuk Abdurrahman Dimasyqiyat dan dua orang
temannya. Di tengah meja itu ada mimbar untuk moderator.
Yang menarik perhatian, pada waktu itu
Abdurrahman Dimasyqiyat membawa komputer yang sering digunakannya untuk
mengeluarkan dalil-dalilnya yang lemah. Sepertinya ia memang tidak hapal teks
dan tidak menguasai banyak persoalan. Kemampuannya hanya mengulang-ulang pernyataan
orang yang menjadi sutradara di belakangnya, yaitu kaum Wahhabi.
Perdebatan dimulai. Syaikh Salim
melontarkan pertanyaan kepada Abdurrahman Dimasyqiyat: “Kalian kaum Wahhabi
menghukumi bahwa memanggil orang yang tidak ada di depannya atau memanggil
orang mati (nida’ al-ghaib aw al-mayyit), seperti berkata “Ya Muhammad, atau ya
Rasulallah (wahai Muhammad atau wahai Rasulullah)”, itu syirik akbar (besar)
sebagaimana ditetapkan oleh Ibn Abdil Wahhab an-Najdi dalam kitab al-Ushul
ats-Tsalatsah. Sekarang, ini al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam al-Adab
al-Mufrad, bahwa Abdullah bin Umar pada suatu hari kakinya mengalami mati rasa.
Lalu ada orang berkata kepada beliau, “Sebutkan orang yang paling Anda cintai.”
Lalu Ibn Umar berkata, “Ya Muhammad (Wahai Muhammad)”. Maka seketika itu
kakinya sembuh. Apakah kalian kaum Wahhabi akan mencabut pendapat kalian. Dan
ini yang kami kehendaki. Atau kalian akan memutuskan bahwa Abdullah bin Umar,
al-Imam al-Bukhari, para perawi al-Bukhari, dan bahkan Ibn Taimiyah yang kalian
sebut Syaikhul Islam, dan al-Albani pemimpin kalian, mereka semuanya kafir.
Coba renungkan inkonsistensi Wahhabi ini. Pendapat mereka dapat mengkafirkan
pemimpin-pemimpin mereka sendiri, yaitu Ibn Taimiyah dan al-Albani, bahkan
mengkafirkan seluruh umat Islam, antara lain sahabat Abdullah bin Umar, dan
sahabat-sahabat lainnya.”
Mendengar pertanyaan Syaikh Salim,
mulailah serangkaian kebohongan Abdurrahman Dimasyqiyat. Setelah Syaikh Salim
mengajukan pertanyaan tersebut, Dimasyqiyat kebingungan. Lalu ia berkata: “Lafal
“Ya Muhammad”, hanya terdapat dalam naskah cetakan kitab al-Adab al-Mufrad yang
ditahqiq Ustadz Kamal al-Hut. Dalam naskah-naskah lain, yang ada hanya lafal
“Muhammad”, tanpa “Ya” untuk memanggil.”
Mendengar pernyataan Dimasyqiyat, Syaikh
Salim segera mengeluarkan beberapa naskah al-Adab al-Mufrad yang dicetak oleh
percetakan-percetakan lain. Ternyata, semuanya sepakat memakai redaksi “Ya
Muhammad”. Sehingga hal tersebut membuktikan kebohongan Dimasyqiyat. Kemudian,
Dimasyqiyat semakin terkejut, ketika Syaikh Salim memperlihatkan naskah kitab
al-Kalim ath-Thayyib karangan Ahmad bin Taimiyah al-Harrani, panutan kaum
Wahhabi yang mereka sebut Syaikhul Islam. Dimana dalam kitab tersebut Ibn
Taimiyah menyebutkan hadits Ibn Umar di bawah judul, “Bab yang diucapkan
seseorang ketika kakinya mati rasa”. Naskah ini dicetak oleh kaum Wahhabi dan
dikoreksi oleh Nashiruddin al-Albani, pemimpin mereka yang kontradiktif, yang
menganggap perbuatan Ibn Umar itu syirik dan menentang tauhid.
Dimasyqiyat telah berusaha mengingkari
lafal “Ya” yang terdapat dalam hadits Ibn Umar dengan redaksi “Ya Muhammad”.
Dimasyqiyat berkata, bahwa ia telah mencari lafal “Ya”, ternyata tidak
menemukannya.
Akhirnya Syaikh Salim berkata:
“Al-Albani, pemimpin kalian yang kontradiktif, berkata dalam al-Kalim
ath-Thayyib halaman 120 dalam mengomentari hadits “Ya Muhammad” yang disebutkan
dan dianjurkan oleh Ibn Taimiyah untuk diamalkan, sebagaimana terbaca dari
judul kitabnya al-Kalim ath-Thayyib (kalimat-kalimat yang baik). Al-Albani
berkata: “Kami memilih menetapkan “Ya”, karena sesuai dengan sebagian
manuskrip yang kami temukan.”
Anda telah gagal wahai Dimasyqiyat.
Kami menuntut Anda berdasarkan pimpinan-pimpinan Anda yang kontradiktif, dimana
al-Albani menemukan manuskrip yang di dalamnya terdapat lafal “Ya Muhammad”,
lalu dia anggap menentang tauhid dan termasuk perbuatan syirik menurut
asumsinya. Coba Anda lihat (halaman 16 kitab al-Kalim ath-Thayyib), yang
dicetak di percetakan asy-Syawisy al-Wahhabi dengan nama al-Maktab al-Islami,
ta’liq (komentar) Nashiruddin al-Albani, pemimpin Wahhabi yang kontradiktif.
Pernyataan al-Albani menjadi dalil yang menggugat Anda dan dia sendiri.
Kemudian Syaikh Salim memperlihatkan
naskah tersebut dan berkata kepada Abdurrahman Dimasyqiyat: “Aku ulangi
pertanyaanku lagi kepada Anda, untuk mengingatkan bahwa Ibn Taimiyah menyebut
atsar (hadits) ini dan menetapkannya. Ia tidak menjadikannya sebagai kesyirikan
dan kekufuran. Bagaimana komentar Anda. Adakalanya Anda mengatakan bahwa
Abdullah bin Umar, al-Bukhari sampai pimpinanmu, Ibn Taimiyah adalah
orang-orang sesat dan kafir. Atau Anda mencabut pendapat Anda?”
Mendengar pertanyaan tersebut,
Dimasyqiyat menjadi gagap. Ia tidak menjawab pertanyaan. Tetapi beralih pada
tema-tema lain. Lalu Syaikh Salim mengingatkan kepada hadirin, bahwa
Dimasyqiyat menghindar dari jawaban. Kemudian Syaikh Salim mengulangi
pertanyaannya yang tadi dengan pertanyaan tambahan. Yaitu riwayat hadits
seorang tuna netra yang diajari oleh Rasulullah Saw. agar berdoa, “Ya Muhammad,
sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhanku dengan perantara dirimu.”
Hal ini agar dilakukan bukan di hadapan Rasul Saw. Hadits ini shahih, riwayat
ath-Thabarani dan lainnya. Ath-Thabarani dan lainnya juga menilainya shahih.
Syaikh Salim berkata: “Apakah Anda
berasumsi wahai Abdurrahman, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah
mengajarkan kesyirikan, dan bahwa sahabat yang menjadi perawi hadits tersebut
serta al-Imam ath-Thabarani mengajarkan kesyirikan? Jelas ini tidak mungkin.”
Mendapat pertanyaan tersebut, tampak
sekali Abdurrahman Dimasyqiyat lemah, dimana moderator mengingatkan bahwa ia
berupaya beralih dari jawaban, dan kelemahannya jelas sekali.
Di tengah dialog tersebut, Abdurrahman
Dimasyqiyat mengakui bahwa ia telah menulis beberapa kitab untuk membantah
al-Muhaddits al-Habasyi. Akan tetapi ia menerbitkannya dengan memakai nama
orang lain, seakan-akan mereka yang menulisnya. Diantaranya kitab ar-Radd ‘ala
Abdillah al-Habasyi, karya penulis palsu Abdullah asy-Syami.
Anehnya, laki-laki ini menghendaki agar
orang-orang percaya sama dia. Padahal ia mengakui sendiri telah berbuat bohong
dan merekayasa dengan menulis buku yang dinisbatkan kepada nama-nama fiktif.
Setelah itu, Syaikh Salim mengulangi
menyebut hadits laki-laki tuna netra tersebut yang isinya, “Ya Allah,
sesungguhnya aku memohon kepadaMu dan menghadapkan diriku kepadaMu dengan
perantara NabiMu, Muhammad, nabi pembawa rahmat”, serta menyebutkan para hafidz
yang menilainya shahih. Ternyata Abdurrhman Dimasyqiyat juga mengakui bahwa
hadits tersebut shahih.
Lalu Syaikh Salim berkata: “Bagaimana
kalian melarang manusia bertawassul dengan Rasul shallallahu alaihi wasallam
bukan di hadapannya, padahal Rasul shallallahu alaihi wasallam telah
mengajarkan laki-laki tuna netra tadi untuk bertawassul dengan beliau bukan di
hadapannya? Apakah kalian akan mencabut keyakinan kalian. Atau kalian mengira
bahwa kalian lebih pandai daripada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam?”
Mendengar pertanyaan tersebut, Wahhabi
yang berperilaku aneh itu kebingungan. Ia kemudian berbicara banyak, tetapi
tidak berkaitan dengan topic pertanyaan. Kemudian Syaikh Salim mengulangi
pertanyaannya, serta mengingatkan hadirin bahwa Dimasyqiyat melarikan diri dari
jawaban.
Di sini, Abdurrahman Dimasyqiyat mengalihkan
pembicaraan pada kebohongan lain. Ia bermaksud mencela Syaikh al-Harari, untuk
menutupi kegagalannya. Ia berkata kepada Syaikh Salim: “Bagaimana Syaikh
Abdullah mentahqiq kitab, yang di dalamnya terdapat redaksi bahwa sebagian
auliya berkata kepada sesuatu “kun fayakuun”, tanpa menentang redaksi tersebut,
serta mengingatkan rusaknya redaksi tersebut. Kitab tersebut telah dicetak dan
saya punya kopiannya.”
Mendengar pernyataan tersebut,
moderator melakukan intervensi, dan meminta kopian itu agar isinya bisa
diperlihatkan kepada hadirin. Ternyata semua yang hadir terkejut. Karena sampul
kitab tersebut membuktikan kebohongan Dimasyqiyat. Kitab tersebut bukan
ditahqiq oleh Syaikh Abdullah. Kitab tersebut justru ditahqiq dan dikoreksi
oleh orang lain, bernama Husain Nadzim al-Hulwani, dan diberi kata pengantar
oleh Syaikh Muhammad al-Hasyimi, bukan Syaikh al-Harari.
Di sini, untuk menambah jelas kelemahan
dan keanehan ahli bid’ah ini, Syaikh Salim berkata kepada Dimasyqiyat: “Kalian
kaum Wahhabi mengkafirkan orang yang mengusap mimbar Nabi shallallahu alaihi
wasallam atau makam Nabi shallallahu alaihi wasallam. Kalian mengklaim
mengikuti golongan Hanabilah, berpegang teguh dengan madzhab al-Imam Ahmad bin
Hanbal. Padahal Ahmad bin Hanbal berkata, “Boleh mengusap mimbar Nabi
shallallahu alaihi wasallam, dan pusar yang ada di mimbar itu.” Bahkan Ibn
Taimiyah berkata dalam kitab yang dinamakannya Iqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim
(halaman 367 terbitan Mathabi’ al-Majd at-Tijariyyah), “Ahmad dan lainnya memberikan
keringanan dalam mengusap mimbar dan pusar mimbar itu yang merupakan tempat
duduk dan tangan Nabi shallallahu alaihi wasallam.” Bagaimana pendapat kalian?
Apakah kalian mengkafirkan al-Imam Ahmad, dimana kalian mengklaim mengikuti
madzhabnya? Atau kalian mengkafirkan Ibn Taimiyah yang kalian sebut Syaikhul
Islam? Bukankah ini sebuah inkonsistensi?”
Mendengar pertanyaan ini, Dimasyqiyat
yang ahli bid’ah itu tidak bisa menjawab. Ia tampak sekali kelemahannya.
Lebih-lebih setelah Syaikh Salim menambah penjelasan dengan menyebut kutipan
al-Mirdawi al-Hanbali bahwa Ibrahim bin Ishaq al-Harbi, seorang imam mujtahid
berkata: “Disunnatkan mencium hujrah (makam) Nabi shallallahu alaihi
wasallam.” Untuk mengalihkan persoalan, dan menjaga raut mukanya, yang
tampak sangat pucat sekali, Dimasyqiyat bertanya kepada Syaikh Salim tentang
firman Allah subhanahu wata’ala: “Allah Yang Maha Pengasih beristawa
terhadap ‘Arsy.”
Mendengar pertanyaan tersebut, Syaikh
Salim menjelaskan persoalan tersebut dengan sejelas-jelasnya. Beliau
memaparkan pendapat Ahlussunnah wal Jama’ah mengenai hal itu, bahwa istiwa’
Allah subhanahu wata’ala terhadap ‘Arsy bukan seperti istiwa’nya
makhluk. Istiwa’ dalam ayat tersebut, bukan diartikan duduk dan bukan
pula menetap. Akan tetapi istiwa’ tersebut adalah suatu makna yang layak
bagi Allah subhanahu wata’ala, yang tidak menyerupai makna istiwa’
ketika disandarkan kepada makhluk, sebagaimana dalam perkataan al-Imam
Ahmad bin Hanbal, “Allah beristawa sebagaimana yang diceritakan dalam
al-Qur’an, bukan seperti yang terlintas dalam benak manusia.” Meskipun
Mu’tazilah sama dengan Ahlussunnah dalam menafsrikan istiwa’ dengan
makna menguasai (al-qahr) dalam ayat ini, maka hal tersebut tidak bisa dibuat
alasan mencela Ahlussunnah wal Jama’ah. Bukankah Mu’tazilah juga mengucapkan
kalimat la ilaha illallah (tiada tuhan selain Allah). Apakah Ahlussunnah
harus meninggalkan kalimat tersebut karena Mu’tazilah mengucapkannya?
Tentu saja tidak.
Setelah perdebatan berjalan dua jam.
Sementara penjelasan Syaikh Salim sangat bagus dan jitu. Sedangkan
Dimasyqiyat, tidak mampu memberikan jawaban. Untuk menutupi rasa malu,
Abdurrahman Dimasyqiyat diam. Kemudian para pengikut dan teman-teman
Dimasyqiyat berdiri melakukan kerusuhan dan tindakan yang anarkis secara
kolektif. Sehingga sebagian hadirin meminta mereka menghentikan tindakan
brutal tersebut.
Setelah mereka tidak mengindahkan
pengumuman, akhirnya para hadirin menekan mereka dan polisi mengumumkan
selesainya acara. Akhirnya mereka mulai meninggalkan Aula Universitas
Melbourne. Pada waktu itu, sebagian kaum Wahhabi berhasil merusak kamera
yang merekam acara dialog. Akan tetapi, untung kaset rekamannya masih
utuh dan dapat dipublikasikan sampai sekarang.
Bersama Syaikh Syu’aib al-Arnauth
Dialog ini adalah pengalaman pribadi
Syaikh Walid as-Sa’id, seorang ulama Ahlussunnah di Timur Tengah, dengan Syaikh
Syu’aib al-Arnauth, seorang ulama Damaskus, yang terpengaruh ajaran Wahhabi.
Syaikh Walid as-Sa’id bercerita. “Suatu
hari saya mendatangi Syu’aib al-Arnauth di kantornya untuk berdiskusi tentang
masalah tawassul dan istighatsah. Setelah saya bertemu dengannya, saya
berbicara kepadanya tentang masalah tawassul dan saya ajukan hadits riwayat
ath-Thabarani.
Syu’aib al-Arnauth berkata: “Hadits
ini membolehkan bertawassul dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam ketika masa
hidupnya.”
Saya berkata: “Hadits ath-Thabarani
membolehkan bertawassul dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam ketika masa
hidupnya dan sesudah meninggalnya. Demikian pula hadits Bilal bin al-Harits
al-Muzani yang mendatangi makam Nabi shallallahu alaihi wasallam dan
bertawassul dengannya sesudah wafatnya Nabi shallallahu alaihi wasallam.”
Ia berkata: “Hadits ini dha’if.”
Aku berkata: “Hadits ini
diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang shahih sebagaimana dikatakan
oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari. Demikian pula Ibnu Katsir
menilainya shahih.”
Ia berkata: “Ibnu Hajar berkata,
hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang shahih kepada Malik
ad-Dar. Sedangkan Malik ad-Dar ini seorang perawi yang majhul (tidak diketahui
kualitasnya). Jadi Malik ad-Dar ini tidak dapat dijadikan hujjah dalam
periwayatan hadits.”
Aku berkata: “Malik ad-Dar ini
diangkat oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab sebagai Bendahara Baitul Mal kaum
Muslimin. Berarti menurut Anda, Khalifah Umar mengangkat seorang laki-laki yang
tidak jelas kualitasnya, apakah dia dipercaya atau tidak, sebagai Bendahara
negara?”
Mendengar sanggahan saya ini, ia
terdiam dan tidak dapat menjawab. Akhirnya dia berbicara lagi kepada
saya: “Secara pribadi saya berpendapat, dalam masalah tawassul ada perbedaan
pendapat di kalangan ulama. Jadi saya tidak menentang terhadap orang yang
melakukannya. Adapun beristighatsah dengan selain Allah, hukumnya jelas haram.
Seorang makhluk tidak boleh beristighatsah dengan sesama makhluknya.”
Aku berkata: “Kalau Anda berpendapat
bahwa istighatsah terhadap sesame makhluk dilarang, lalu bagaimana pendapat
Anda tentang hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya dari
jalur Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda: “Sesungguhnya Matahari akan mendekat pada hari Kiamat,
sehingga keringat akan sampai pada separuh telinga. Maka ketika manusia dalam
kondisi demikian, mereka beristighatsah (meminta pertolongan) dengan Nabi
Adam.” (HR. al-Bukhari no. 1475).
Syu’aib berkata: “Hadits ini
berkaitan dengan istighatsah ketika para nabi itu masih hidup, dan memang
dibolehkan beristighatsah dengan mereka. Adapun sesudah mereka meninggal, maka
tidak boleh beristighatsah dengan mereka.”
Aku berkata: “Kalau begitu, Anda
berpendapat boleh beristighatsah dengan para nabi ketika mereka masih hidup?”
Ia menjawab: “Ya.”
Aku berkata: “Tolong jelaskan dalil
‘aqli atau dalil syar’i yang melarang beristighatsah dengan para nabi sesudah
mereka meninggal dunia.”
Ia berkata: “Hadits yang
diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya yang sedang aku tahqiq dan
belum diterbitkan. Hadits tersebut adalah begini, bahwa Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya tidak boleh beristighatsah denganku.
Beristighatsah hanya kepada Allah.”
Aku berkata: “Kalau bergitu
pernyataan Anda paradoks. Anda tadi berkata ketika saya sampaikan hadits Ibnu
Umar (riwayat al-Bukhari), bahwa beristighatsah dengan para Nabi ketika mereka masih
hidup, itu boleh. Sekarang Anda menyampaikan hadits kepada saya, bahwa Nabi
shallallahu alaihi wasallam ketika masa hidupnya besabda, bahwasanya tidak
boleh beristihgatsah denganku.”
Ia berkata: “Maaf, hadits ini
dha’if. Jadi tidak dapat dijadikan hujjah.”
Ternyata hadits yang
disampaikannya, ia ralat sendiri dan ia akui sebagai hadits dha’if. Kemudian
ia berkata kepadaku: “Coba aku berikan contoh seorang imam di antara Imam
Madzhab yang empat yang mendatangi suatu makam atau seorang Wali untuk bertabarruk
atau beristighatsah dengannya.”
Saya berkata: “Al-Khathib
al-Baghdadi telah meriwayatkan dalam Tarikh Baghdad dengan sanad yang shahih,
bahwa al-Imam asy-Syafi’i berkata: “Saya senantiasa bertabarruk dengan Abu
Hanifah. Saya selalu mendatangi makamnya setiap hari dengan berziarah. Apabila
saya memiliki hajat, saya shalat dua raka’at, lalu saya datangi makamnya, saya
berdoa kepada Allah tentang hajatku di sisi makam itu, sehingga tidak lama
kemudian hajatku terkabul.”
Ia berkata dengan berteriak: “Riwayat
ini tidak shahih. Dari mana Anda dapatkan riwayat ini?”
Kebetulan kitab Tarikh Baghdad ada di
belakang punggungnya. Saya berkata kepadanya: “Tolong ambilkan kitab
itu.”
Setelah kitab tersebut diserahkan kepada
saya, saya bukakan riwayat tersebut dalam kitab itu dan saya perlihatkan kepadanya.
Setelah ia melihat riwayat tersebut, ia merasa heran dan berkata kepada
salah seorang pembantunya: “Tolong kualitas para perawi hadits ini dikaji.”
Dari sikapnya ini, tampak sekali, kalau
ia telah mendidik orang-orang di sekitarnya berani melakukan koreksi
terhadap hadits. Padahal mereka tidak punya kapasitas untuk itu. Kemudian
pembantu itu datang menghampiri. Setelah beberapa lama masuk ke dalam, pembantu
itu pun kembali dan berkata kepadanya dengan suara agak pelan: “Semua perawi
hadits ini tsiqah (dapat dipercaya).”
Lalu saya berkata kepadanya: “Bagaimana
hasil temuan Anda tentang semua perawi hadits ini?”
Ia menjawab: “Semua perawinya dapat
dipercaya kecuali seorang perawi yang belum saya temukan data biografinya.
Dengan demikian hadits ini dha’if, karena ada seorang perawi yang tidak
diketahui kualitasnya.”
Saya berkata: “Bagaimana Anda
menghukumi hadits ini dha’if, berdasarkan alasan Anda tidak menemukan data
biografi seorang perawinya. Padahal dalam kaidah disebutkan, “Tidak menemukan
data, tidak menjadi bukti bahwa data tersebut memang tidak ada.”
Dia berkata: “Apa maksud kaidah
ini?”
Saya berkata: “Apabila Anda tidak
menemukan data seorang perawi, itu bukan berarti perawi itu dinilai tidak
diketahui kualitasnya dan dha’if.”
Ia berkata: “Kalau Anda bisa
menemukan data perawi ini, saya kasih nilai sepuluh.” Lalu ia berkata: “Saya
sekarang sibuk, jadi tidak mungkin meneliti data perawi ini.”
Lalu ia bertanya siapa namaku. Saya
menjawab: “Namaku Walid as-Sa’id, murid Syaikh al-Harari.”
Demikianlah pandangan kaum Wahhabi yang
mengkafirkan orang yang bertawassul dengan nabi atau wali. Pendapat
mereka, selain rapuh, tidak memiliki dasar dari al-Qur’an dan hadits,
juga berimplikasi pada pengkafiran terhadap Rasulullah Saw., para
sahabat, para ulama salaf dan seluruh umat Islam selain golongannya.
Na’udzu billah min dzalik.
Pandangan Wahhabi akan rapuh ketika
dihadapkan dengan fakta, bahwa tawassul dengan Nabi yang sudah wafat
telah diajarkan oleh Rasulullah Saw., para sahabat, generasi salaf, ahli hadits
dan kaum Muslimin. Ihdina ash-shirath al-mustaqim.
BAB
VIII
CERDAS
BERMADZAB
Selektif
dalam Bermadzhab
Mayoritas kaum Muslimin mengikuti pola
bermadzhab dalam menjalankan kehidupan beragama sehari-hari. Di Indonesia, kaum
Muslimin mengikuti madzhab al-Imam asy-Syafi’i dalam bidang fiqih, madzhab Abu
al-Hasan al-Asy’ari dalam bidang akidah dan madzhab Hujjatul Islam al-Ghazali
dan Abu al-Hasan asy-Syadzili dalam bidang tashawuf. Demikian seperti
dijelaskan oleh Hadlratusysyaikh KH. Hasyim Asy’ari dalam Risalah Ahlussunnah
wa al-Jama’ah.
Namun demikian pola bermadzhab ini
tidak jarang disalahpahami oleh mereka yang anti madzhab. Menurut mereka,
ketika seseorang itu mengikuti madzhab suatu imam, maka ia harus mengikutinya 100
% dari A sampai Z. Tentu saja langkah seperti ini tidak tepat dan tidak ada
dalam logika beragama.
Dalam sebuah dialog terbuka di Masjid
al-Mujahidin, Denpasar, seorang Wahhabi mengatakan kepada kami: “Kalau Anda
memang mengikuti madzhab al-Imam asy-Syafi’i, seharusnya Anda tidak usah
tahlilan dan selamatan selama 7 hari kematian. Karena al-Imam asy-Syafi’i
sendiri berpendapat bahwa pahala bacaan al-Qur’an tidak akan sampai kepada
mayit.” Demikian gugatan orang Wahhabi tadi terhadap kami.
Dalam mengikuti pola bermadzhab dengan
mengikuti madzhab salah satu imam mujtahid, misalnya mayoritas umat Islam
Indonesia mengikuti madzhab asy-Syafi’i, tidak berarti kita menyembah al-Imam
asy-Syafi’i, dengan artian mengikuti seluruh pendapat beliau 100 % mulai dari A
sampai Z.
Para ulama kita, yang menuntun kita
mengikuti madzhab al-Imam asy-Syafi’I mengajarkan agar kita bermadzhab secara
selektif dan korektif. Hal ini yang kita istilahkan dengan madzhab secara
manhaji, atau bermadzhab dengan cerdas.
Al-Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin
al-Hasan, murid terbaik dan penyebar madzhab al-Imam Abu Hanifah, menyelisihi
gurunya (Abu Hanifah) dalam 2/3 madzhab. Akan tetapi keduanya tetap dianggap
sebagai pengikut dan penyebar madzhab Hanafi.
Para ulama pengikut madzhab Maliki, dalam
banyak masalah menyelisihi pendapat Imam Malik bin Anas, sang pendiri madzhab
sendiri. Namun mereka tetap dianggap sebagai pengikut madzhab Maliki.
Dalam madzhab asy-Syafi’i sendiri, para
ulama sepakat bahwa ketika terjadi perbedaan pendapat antara qaul qadim
(pendapat lama), yaitu hasil ijtihad beliau ketika masih tinggal di Iraq,
dengan qaul jadid (pendapat baru), yaitu hasil ijtihad beliau setelah tinggal
di Mesir di akhir hayatnya, harus mengikuti qaul jaded sesuai dengan pesan
al-Imam asy-Syafi’i sendiri. Akan tetapi sekitar dalam 12 masalah para ulama
kita mengharuskan mengikuti qaul qadim, karena setelah dikaji dan diteliti,
qaul qadim itu lebih kuat dalilnya dalam 12 masalah tersebut. Hal ini bukan
berarti kita keluar dari madzhab al-Imam asy-Syafi’i. Tetapi mengikuti madzhab
beliau dalam ijtihad yang kita pandang benar dan kuat dalil-dalilnya.
Kaitannya dengan pengiriman hadiah
pahala tahlilan kepada mayit, memang ada riwayat yang sangat populer dari
al-Imam asy-Syafi’i, bahwa beliau berpendapat, hadiah pahala bacaan al-Qur’an
tidak sampai kepada mayit. Namun sebagian besar pengikut madzhabnya,
berpendapat bahwa hadiah pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada mayit. Pendapat
ini sesuai dengan pendapat al-Imam Ahmad bin Hanbal dan lain-lain. Oleh karena
itu, siapapun tidak bisa menggugat pengikut madzhab asy-Syafi’i yang melakukan
tradisi pengiriman hadiah pahala bacaan al-Qur’an dan lain-lain kepada mayit,
selama mereka mengikuti pendapat lain yang dipandang lebih kuat dalilnya.
Perlu diketahui bahwa al-Imam
asy-Syafi’i hanya berpendapat bahwa hadiah pahala bacaan al-Qur’an saja yang
tidak sampai kepada mayit. Sedangkan hadiah pahala selainnya, seperti selamatan
(sedekah), shalawat, tahlil, tasbih, tahmid, shalat, haji dan lainnya, al-Imam
asy-Syafi’i berpendapat sampai. Oleh karena itu, hadiah pahala selamatan selama
tujuh hari, menurut asy-Syafi’I pahalanya bisa sampai kepada mayit.
Kitab Al-Ibanah Karya Al-Asy’ari
Gugatan serupa juga saya terima dalam
sebuah diskusi di Surabaya. Seorang tokoh Salafi dari Malang berkata: “Anda
mengikuti madzhab al-Asy’ari, tetapi mengapa Anda tidak mengikuti pendapat
al-Asy’ari yang terdapat dalam kitab al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah?”
Pada waktu itu saya jawab: “Bahwa
kitab al-Ibanah yang ada sekarang tidak memiliki sanad yang shahih kepada
al-Imam al-Asy’ari. Bahkan dari beberapa edisi kitab al-Ibanah yang ada,
misalnya al-Ibanah yang diterbitkan oleh kaum Wahhabi di Saudi Arabia, edisi
yang diterbitkan Dr. Fauqiyah Husain dan edisi al-Ibanah yang dikutip oleh al-Hafidz
Ibn ‘Asakir ad-Dimasyqi dalam kitab Tabyin Kiddzb al-Muftari, terjadi perbedaan
yang cukup serius. Sementara kitab al-Ibanah yang Anda jadikan dasar gugatan
kepada kami para pengikut madzhabnya, adalah kitab al-Ibanah edisi terbitan
kaum Wahhabi di Saudi Arabia. Jadi kitab al-Ibanah itu hampir mirip Bibel,
semua edisi yang beredar, tidak ada yang sama, pasti terjadi perbedaan. Dan
seandainya, kitab al-Ibanah yang ada tersebut memang shahih sanadnya kepada
al-Imam al-Asy’ari, kami para pengikut madzhabnya tidak berkewajiban
mengikutinya. Bukankah para ulama Asya’irah telah memilih pendapat lain yang
berbeda dengan al-Ibanah tersebut (seandainya memang shahih). Hal ini sesuai
dengan logika yang berlaku dalam ilmu hadits. Menurut al-Hafidz adz-Dzahabi dalam
Siyar A’lam an-Nubala’ (juz 16 halaman 405), jika terdapat suatu hadits,
sanadnya shahih, akan tetapi para ulama mujtahid tidak ada yang mengamalkannya,
maka kita tidak boleh mengamalkan hadits tersebut. Jadi, hadits shahih saja,
posisinya harus tidak diamalkan, ketika tidak seorang pun dari kalangan ulama
mujtahid tidak mengamalkannya dalam ijtihad mereka. Apalagi hasil ijtihad
seorang ulama seperti al-Imam al-Asy’ari. Ketika semua ulama pengikutnya tidak
memakai, kita juga tidak memakai.” Al-Imam al-Hafidz Ibn Rajab al-Hanbali
berkata dalam kitabnya, Bayan Fadhl ‘Ilm as-Salaf ‘ala ‘Ilm al-Khalaf halaman
57: “Adapun para imam dan fuqaha ahli hadits, mereka mengikuti hadits
shahih di mana pun berada, apabila hadits tersebut diamalkan oleh para sahabat
dan generasi sesudahnya, atau diamalkan oleh sekelompok mereka. Adapun hadits
shahih yang disepakati ditinggalkan oleh kaum salaf, maka tidak boleh
diamalkan. Karena mereka tidak meninggalkan hadits tersebut, melainkan setelah
mengetahui bahwa hadits tersebut memang tidak diamalkan. Umar bin Abdul Aziz
berkata: “Ikutilah pendapat yang sesuai dengan pendapat orang-orang sebelum
kalian, karena mereka lebih tahu dari pada kalian.”
Meninggalkan
Hadits Shahih
Setelah saya menyampaikan pernyataan di atas, bahwa
hadits yang shahih sekalipun, ketika tidak seorang pun dari kalangan ulama
mujtahid mengamalkannya, maka kita tidak boleh mengamalkan. Ada salah seorang Salafi bertanya: “Mengapa kita harus memilih pendapat
seluruh ulama yang tidak mengamalkan
hadits tersebut, padahal hadits tersebut shahih?”
Syaikh Ibn Taimiyah, menulis sebuah
kitab berjudul Raf’u al-Malam ‘an al-Aimmah al-A’lam. Dalam kitab tersebut Ibn
Taimiyah mengemukakan sepuluh alasan, mengapa seorang
mujtahid terkadang menolak mengamalkan suatu hadits
dan memilih berijtihad sendiri. Menarik untuk dikemukakan di sini, setelah
memaparkan sepuluh alasan tersebut, Syaikh Ibn
Taimiyah berkata begini (lihat pada kitab beliau tersebut halaman 35): “Dalam sekian banyak hadits yang ditinggalkan, boleh jadi
seorang ulama meninggalkan suatu hadits karena
ia memiliki hujjah (alasan) yang kita tidak mengetahui
hujjah itu, karena wawasan keilmuan agama itu luas sekali, dan kita tidak mengetahui semua ilmu yang ada dalam hati para ulama.
Seorang ulama terkadang menyampaikan
alasannya, dan terkadang pula tidak menyampaikannya.
Ketika ia menyampaikan alasannya, terkadang sampai kepada kita, dan terkadang tidak sampai. Dan ketika alasan
itu sampai kepada kita, terkadang kita tidak
dapat menangkap alasan yang sesungguhnya (maudhi’ ihtijajihi), dan terkadang dapat menangkapnya.”
Hadits Shahih Pasti Madzhabku
Dalam sebuah diskusi di Denpasar,
ketika membicarakan pendapat al-Imam asy-Syafi’i tentang bid’ah, dimana beliau
membagi bid’ah menjadi dua, yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, Ustadz
Husni Abadi, seorang tokoh Wahhabi menggugat kepada kami: “Kita harus
mengikuti hadits shahih. Bukan mengikuti ulama. Al-Imam asy-Syafi’i sendiri
berkata, “Idza shahha al-hadits fahuwa madzhabi (apabila suatu hadits itu
shahih, maka hadits itulah madzhabku)”.
Maksud pernyataan Ustadz Husni
tersebut, hadits shahih menyatakan bahwa bid’ah itu tidak terbagi menjadi dua.
Sementara pendapat asy-Syafi’i yang membagi bid’ah menjadi dua bertentangan
dengan hadits shahih tersebut. Oleh karena itu, sesuai dengan pesan asy-Syafi’i
sendiri yang mengatakan, “apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah
madzhabku”, Husni mengajak kami meninggalkan pembagian bid’ah menjadi dua dan
mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa bid’ah itu tidak terbagi-bagi. Tentu
saja asumsi Ustadz Husni tersebut tidak dapat dibenarkan. Tidak ada korelasi
antara pernyataan al-Imam asy-Syafi’i di atas dengan pendapat beliau yang
membagi bid’ah menjadi dua.
Para ulama menjelaskan, bahwa maksud
perkataan al-Imam asy-Syafi’i, “Idza shahha al-hadits fahuwa madzhabi
(apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah madzhabku)”, adalah
bahwa apabila ada suatu hadits bertentangan dengan hasil ijtihad al-Imam
asy-Syafi’i, sedangkan asy-Syafi’i tidak tahu terhadap hadits tersebut, maka
dapat diasumsikan, bahwa kita harus mengikuti hadits tersebut, dan meninggalkan
hasil ijtihad al-Imam asy-Syafi’i. Akan tetapi apabila hadits tersebut telah
diketahui oleh al-Imam asy-Syafi’i, sementara hasil ijtihad beliau berbeda dengan hadits tersebut, maka
sudah barang tentu hadits tersebut memang bukan madzhab beliau. Hal ini seperti
ditegaskan oleh al-Imam an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab juz
1 halaman 64.
Oleh karena demikian, para ulama
menyalahkan al-Imam al-Hafidz Ibn al-Jarud, seorang ulama ahli hadits
bermadzhab asy-Syafi’i, dimana setiap ia menemukan hadits shahih bertentangan
dengan hasil ijtihad al-Imam asy-Syafi’i, Ibn al-Jarud langsung mengklaim bahwa
hadits tersebut sebenarnya madzhab asy-Syafi’i, berdasarkan pesan asy-Syafi’i
di atas, tanpa meneliti bahwa hadits tersebut telah diketahui atau belum oleh
al-Imam asy-Syafi’i.
Al-Imam al-Hafidz Ibn Khuzaimah
an-Naisaburi, seorang ulama salaf yang menyandang gelar Imam al-Aimmah
(penghulu para imam) dan penyusun kitab Shahih Ibn Khuzaimah, ketika ditanya,
apakah ada hadits yang belum diketahui oleh asy-Syafi’i dalam ijtihad beliau?
Ibn Khuzaimah menjawab, “Tidak ada”. Hal tersebut seperti diriwayatkan oleh
al-Hafidz Ibn Katsir dalam kitabnya yang sangat populer al-Bidayah wa
an-Nihayah (juz 10 halaman 253).
Dialog Syaikh An-Nabhani dengan Rasyid Ridha
Terkadang kelompok yang anti madzhab
menggugat kita dengan pendapat sang pendiri madzhab atau para ulama dalam
madzhab yang kita ikuti, seakan-akan mereka lebih konsisten dari kita dalam
bermadzhab.
Kaum Wahhabi ketika menggugat kita agar
meninggalkan tahlilan dan selamatan tujuh hari selalu beralasan dengan pendapat
al-Imam asy-Syafi’i yang mengatakan bahwa hadiah pahala bacaan al-Qur’an tidak
akan sampai kepada mayit, atau pendapat kitab I’anah ath-Thalibin yang melarang
acara selamatan tahlilan selama tujuh hari. Padahal selain al-Imam asy-Syafi’i
menyatakan sampai.
Kita kadang menjadi bingung menyikapi
mereka. Terkadang mereka menggugat kita karena bermadzhab, yang mereka anggap
telah meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah. Dan terkadang mereka menggugat kita
dengan pendapat imam madzhab dan para ulama madzhab. Padahal mereka sering
menyuarakan anti madzhab.
Pada dasarnya kelompok anti madzhab itu
bermadzhab. Hanya saja madzhab mereka berbeda dengan madzhab mayoritas kaum
Muslimin. Ketika mereka menyuarakan anti tawassul, maka sebenarnya mereka
mengikuti pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn Abdil Wahhab an-Najdi. Sedangkan kaum
Muslimin yang bertawassul, mengikuti Rasulullah Saw., para sahabat, seluruh
ulama salaf dan ahli hadits.
Ketika mereka menyuarakan shalat
tarawih 11 raka’at, maka sebenarnya mereka mengikuti pendapat Nashiruddin
al-Albani, seorang tukang jam yang beralih profesi menjadi muhaddits tanpa
bimbingan seorang guru, dengan belajar secara otodidak di perpustakaan.
Sedangkan kaum Muslimin yang tarawih 23 raka’at, mengikuti Sayidina Umar, para
sahabat dan seluruh ulama salaf yang saleh yang tidak diragukan keilmuannya.
Ketika mereka menyuarakan anti madzhab,
maka sebenarnya mereka mengikuti Rasyid Ridha, Muhammad Abduh dan Ibn Abdil
Wahhab. Sedangkan kaum Muslimin yang bermadzhab, mengikuti ulama salaf dan
seluruh ahli hadits.
Demikian pula ketika mereka menyuarakan
anti bid’ah hasanah, maka sebenarnya mereka mengikuti madzhab Rasyid Ridha dan
Ibn Abdil Wahhab an-Najdi. Sedangkan kaum Muslimin yang berpendapat adanya
bid’ah hasanah, mengikuti Rasulullah Saw., Khulafaur Rasyidin, para sahabat,
ulama salaf dan ahli hadits.
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, termasuk
orang pertama yang sangat kencang menyuarakan anti madzhab, dengan menulis
karyanya al-Wahdat al-Islamiyyah fi al-Madzahib al-Fiqhiyyah. Akan tetapi,
secara terus terang, ia mengikuti pemikiran Syaikh Muhammad Abduh al-Gharabili.
Kedua nama ini, Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, serta Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab an-Najdi, pendiri aliran Wahhabi, sebenarnya yang menjadi imam
madzhab beberapa aliran dan kelompok keagamaan yang anti madzhab di Indonesia.
Ada dialog menarik untuk dikutip di
sini, berkaitan dengan bermadzhab. Yaitu dialog antara Syaikh Yusuf bin Ismail
an-Nabhani asy-Syafi’i, seorang ulama besar yang sangat populer, dengan Syaikh
Muhammad Rasyid Ridha, seorang ulama Salafi yang menyuarakan anti madzhab.
Dalam mukaddimah kitab al-’Uqud
al-Lu’luiyyah fi al-Madaih an-Nabawiyyah, Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani
berkata: “Ketika saya berkumpul dengan Syaikh Rasyid Ridha, saya berdialog
dengannya tentang pribadi Syaikh Muhammad Abduh, gurunya:
Saya berkata: “Kalian menjadikan
Syaikh Muhammad Abduh sebagai panutan dalam agama kalian, dan kalian mengajak
manusia untuk mengikuti kalian. Ini jelas tidak benar. Syaikh Muhammad Abduh
itu bukan orang yang konsisten memelihara kewajiban-kewajiban agama. Ia tidak
sah menjadi panutan dalam agama. Sebagaimana dimaklumi dan diakui oleh semua
orang, Abduh seringkali meninggalkan shalat fardhu tanpa ada ‘udzur. Saya
sendiri pernah menemaninya dari pagi hari sampai menjelang Maghrib, di rumah
seorang laki-laki yang mengundang kami di Jabal Lebanon. Abduh tidak shalat
Dzuhur dan Ashar, tanpa ada ‘udzur. Bahkan ia sehat sekali. Dan ia melihat saya
shalat Dzuhur dan Ashar, tetapi ia tidak melakukannya.”
Mendengar pernyataan saya, Syaikh
Rasyid Ridha mengakui bahwa Abduh memang sering meninggalkan shalat fardhu
tanpa ada ‘udzur. Akan tetapi Rasyid Ridha masih membelanya dengan memberikan
jawaban: “Barangkali madzhab beliau membolehkan jamak shalat di rumah (fi
al-hadhar).”
Saya merasa heran dengan jawaban Rasyid
ini. Karena jamak shalat itu hanya dibolehkan dalam bepergian, ketika turun
hujan dan sedang sakit menurut sebagian imam mujtahid, antara Dzuhur dan Ashar,
serta antara Maghrib dan Isya’, sebagaimana hadits shahih dari Nabi shallallahu
alaihi wasallam. Dan tidak seorang pun dari kalangan ulama berpendapat bahwa
Dzuhur dan Ashar boleh dijamak dengan Maghrib dan Isya’. Oleh karena itu, kami
sulit menerima jawaban Rasyid Ridha.
Saya berkata kepada Syaikh Rasyid
Ridha: “Lagi pula Syaikh Muhammad Abduh tidak pernah menunaikan ibadah haji
ke Baitullah di tanah suci, padahal ia mampu melakukannya. Dengan kemampuan
yang ia miliki, berupa kekuatan fisik dan finansial, ia seringkali pergi ke
Paris, London dan negara-negara Eropa lainnya. Tidak pernah terlintas dalam
benaknya untuk menunaikan ibadah haji, padahal negaranya dekat dengan Makkah.
Jadi tidak diragukan lagi, bahwa ia telah memikul dosa yang sangat besar dan
meninggalkan salah satu rukun Islam”.
Lalu saya berkata kepada Syaikh Rasyid
Ridha: “Semua orang sepakat bahwa Syaikh Muhammad Abduh dan gurunya, Syaikh
Jamaluddin al-Afghani, masuk dalam organisasi Masoni. Organisasi ini tidak ada
kaitannya sama sekali dengan agama Islam. Bahkan organisasi ini menolak semua
agama, anti semua pemerintahan, baik keagamaan maupun yang bukan. Bagaimana
mungkin Syaikh Muhammad Abduh menjadi panutan dalam agama Islam, padahal ia
seorang Masoni. Demikian pula gurunya.”
Mendengar pertanyaan saya, Syaikh
Rasyid Ridha menjawab: “Saya kan tidak ikut organisasi Masoni.”
Saya berkata: “Seandainya kalian
berkata bahwa Syaikh Muhammad Abduh itu seorang filosof Islam, seperti halnya
Ibn Sina dan al-Farabi, tentu kami dapat menerima, meskipun kenyataannya tidak
demikian. Karena hal itu tidak berdampak negatif pada kami dan agama kami.
Adapun ketika ia termasuk orang yang paling fasiq sebab meninggalkan rukun-rukun
Islam, lalu kalian berpendapat bahwa ia seorang imam (panutan) dalam agama
Islam, tentu hal ini merupakan kemungkaran yang tidak akan diterima oleh orang
yang berakal.”
Mendengar pernyataan saya, Syaikh
Rasyid Ridha berkata: “Kami tidak menganggap Syaikh Muhammad Abduh seperti
Ibn Sina. Akan tetapi kami menganggapnya seperti al-Imam al-Ghazali.”
Rasyid Ridha ini memang orang yang
sesat dan keras kepala. Ia mengakui kalau Muhammad Abduh itu meninggalkan
shalat dan haji serta menjadi anggota Masoni. Tetapi, ia masih menyamakannya
dengan al-Imam al-Ghazali. Sebenarnya, setiap orang dari kelompok Wahhabi atau
anti madzhab ini, meyakini bahwa dirinya lebih hebat daripada al-Imam
al-Ghazali. Karena kelompok mereka, baik yang besar maupun yang kecil, semuanya
mengklaim sebagai mujtahid mutlak. Sedangkan al-Ghazali sendiri tidak mengklaim
sebagai mujtahid mutlak, sebagaimana beliau jelaskan dalam Ihya’ ‘Ulum ad-Din.
Orang-orang Wahhabi atau anti madzhab
itu, masing-masing menganggap dirinya selevel imam madzhab yang empat
radhiyallahu ‘anhum. Perasaan ini begitu menancap dalam benak mereka. Nasehat
tidak akan mempan bagi mereka. Mereka selalu berusaha agar orang lain mengikuti
mereka, menjadi mujtahid mutlak.”
Demikian komentar Syaikh Yusuf bin
Ismail an-Nabhani dengan disederhanakan.
BAB IX
TRADISI YASINAN
Hadits Fadhilah Surat Yasin
Salah satu tradisi yang hampir merata
di negeri kita adalah tradisi Yasinan. Yaitu, tradisi membaca surat Yasin
bersama-sama, baik membacanya sendiri-sendiri maupun membacanya secara
berjamaah dengan dipandu oleh seorang qari' yang dianggap paling baik
bacaannya. Tidak jarang, tradisi Yasinan ini dilakukan di makam para wali dan
ulama ketika ziarah ke makam mereka.
Dalam sebuah diskusi di Jl. Sekar
Tunjung IV/27, Denpasar, ada teman bernama Suwarno, Ketua Forum Studi Islam
Bali (FOSIBA) bertanya, mengenai hadits-hadits tentang fadhilah surat Yasin.
Apakah hadits-hadits tersebut shahih atau tidak.
Mendengar pertanyaan itu, saya balik
bertanya, mengapa Anda bertanya demikian. Akhirnya ia menyodorkan sebuah buku
kecil dengan cover biru berjudul “Yasinan, Kajian Meluruskan Aqidah”, karya
Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas.
Setelah melihat nama penulis buku kecil
tersebut, saya teringat cerita teman saya setahun sebelumnya, Ustadz Ali Rahmat,
Lc., seorang kiai muda yang kini tinggal di Jakarta. Bahwa suatu ketika
beberapa pemuda Ahlussunnah wal Jama'ah menghadiri pengajian Yazid bin Abdul
Qadir Jawas dan Abdul Hakim Amir Abdat di slamic Center Jakarta Utara. Setelah
acara selesai, beberapa pemuda itu meminta kesediaan Yazid Jawas untuk berdebat
secara terbuka dengan para ulama tentang tulisan-tulisannya yang banyak melawan
arus kaum Muslimin di tanah air. Dan sebagaimana dapat ditebak, jawaban Yazid
memang menyatakan ketidaksiapan untuk berdebat secara terbuka dengan siapapun.
Tentu saja karena ia merasa dalil-dalilnya lemah semua dan mudah dipatahkan
dalam arena perdebatan ilmiah.
Setelah buku kecil bersampul biru itu
saya baca, temyata dalam buku tersebut, Yazid Jawas sangat cerdik dalam
menyembunyikan kebenaran tentang fadhilah surat Yasin. Sebagaimana dimaklumi,
di kalangan ahli hadits ada dua kelompok berbeda dalam menyikapi hadits-hadits
fadhilah surat Yasin.
Pertama, kelompok ekstrem yang menganggap hadits-hadits tentang fadhilah
surat Yasin tidak ada yang shahih, yaitu kelompok Ibn al-Jauzi dalam kitab
al-Maudhu’at.
Dan kedua, kelompok moderat yang menganggap bahwa hadits-hadits tentang
fadhilah surat Yasin ada yang shahih dan hasan, yaitu kelompoknya
al-Imam al-Hafidz Abu Hatim bin Hibban dalam Shahihnya, al-Hafidz Ibn Katsir
ad-Dimasyqi dalam Tafsinya, al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi dalam Tadrib ar-Rawi,
al-Imam Muhammad bin Ali asy-Syaukani dalam tafsir Fath al-Qadir dan al-Fawaid
al-Majmu’ah dan lain-lain.
Menurut keyakinan saya, sebenarnya
Yazid mengetahui hadits-hadits shahih tersebut, karena dalam buku kecil
itu Yazid juga merujuk terhadap kitab Tafsir al-Hafidz Ibn Katsir dan al-Fawaid
al-Majmu’ah karya asy- Syaukani. Akan tetapi, keshahihan hadits-hadits
fadhilah surat Yasin dalam kedua kitab tersebut agaknya dapat merugikan
kepentingan Yazid yang berideologi Wahhabi yang sangat kencang memerangi
tradisi Yasinan. Sehingga Yazid beralih dari kedua kitab tersebut dan sebagai
solusinya ia merujuk kepada kitab-kitab dan komentar-komentar yang memaudhu'kan
dan mendha'ifkan saja.
Berikut ini saya kutipkan hadits-hadits
(shahih) tentang fadhilah surat Yasin dari Tafsir Ibn Katsir yang menjadi
rujukan utama Yazid Jawas dalam semua bukunya.
Rasulullah Saw. bersabda:
"Barangsiapa yang membaca surat Yasin pada malam hari, maka pagi
harinya ia diampuni oleh Allah. Barangsiapa yang membaca surat
ad-Dukhan, maka ia diampuni oleh Allah." (HR Abu Ya'la). Menurut
al-Hafidz Ibn Katsir, hadits ini sanadnya jayyid (shahih). Komentar Ibn Katsir
ini juga dikutip dan diakui oleh al-Imam asy-Syaukani dalam tafsimya Fath
al-Qadir, bahwa sanad hadits tersebut jayyid, alias shahih.
Rasulullah Saw. bersabda:
"Barangsiapa yang membaca surat Yasin pada malam hari karena
mencari ridha Allah, maka Allah akan mengampuninya." (HR. Ibn Hibban
dalam Shahihnya). Hadits ini dishahihkan oleh al-Imam Ibn Hibban dan diakui
oleh al-Hafidz Ibn Katsir dalam Tafsirnya, al- Hafidz Jalahiddin as-Suyuthi
dalam Tadrib ar-Rawi, dan al-Imam asy-Syaukani dalam tafsir Fath al-Qadir dan
al-Fawaid al-Majmu’ah.
Asy-Syaukani berkata dalam al-Fawaid
al- Majmu’ah sebagai berikut: "Hadits, "Barangsiapa membaca
surat Yasin karena mencari ridha Allah, maka Allah akan mengampuninya
diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Abu Humairah secara marfu’ dan sanadnya
sesuai dengan kriteria hadits shahih. Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh
Abu Nu'aim dan al-Khathib. Sehingga tidak ada alasan merryebut hadits tersebut
dalam kitab-kitab al-Maudhu’at (tidak benar menganggapnya sebagai hadits
maudhu’)." (Asy-Syaukani, al-Fawaid al-Majmu’ah fi al-Ahadits
al-Maudhu’ah halaman 302-303).
Demikian hadits-hadits fadhilah surat
Yasin yang dishahihkan dalam Tafsir Ibn Katsir dan al-Fawaid al-Majmu’ah fi
al-Ahadits al-Maudhu’ah. Kedua kitab ini menjadi rujukan Yazid Jawas dalam
bukunya tersebut di atas.
Berikut ini akan saya kutip sebuah
pernyataan dari salah seorang ulama salaf, yaitu al-Imam Abdurrahman bin Mahdi,
yang sudah barang tentu dihafal oleh kalangan Wahhabi seperti Yazid Jawas.
Al-Imam Abdurrahman bin Mahdi berkata: "Ahlussunnah
akan menulis apa saja, baik menguntungkan maupun merugjkan mereka.
Tetapi ahli bid'ah hanya akan menulis apa yang menguntungkan saja."
Seandainya Hadits Fadhilah Surat Yasin Dha'if
Dalam sebuah diskusi di Mushalla Nurul
Hikmah Perum Dalung Permai Denpasar, ada salah seorang Wahhabi berbicara.
Menurutnya, bagaimana seandainya hadits-hadits yang diamalkan oleh kaum
Muslimin itu hadits dha'if?.
Dalam kesempatan tersebut, saya
menyampaikan, seandainya hadits-hadits tentang keutamaan surat Yasin itu
dha'if, maka hal tersebut tidak menjadi persoalan. Sebab para ulama sejak
generasi salaf yang saleh telah bersepakat mengamalkan hadits dha’if dalam
konteks fadhail al-a’mal.
Syaikhul Islam al-Imam Hafidz al-’Iraqi
berkata: "Adapun hadits dha'if yang tidak maudhu' (palsu), maka para
ulama telah memperbolehkan mempermudah dalam sanad dan periwayatannya
tanpa menjelaskan kedha'ifannya, apabila hadits tersebut tidak berkaitan
dengan hukum dan akidah, akan tetapi berkaitan dengan targhib dan tarhib
seperti nasehat, kisah-kisah, fadhail al-a'mal dan lain-lain. Adapun
berkaitan dengan hukum-hukum syar'i berupa halal, haram dan selainnya,
atau akidah seperti sifat-sifat Allah, sesuatu yang jaiz dan mustahil
bagi Allah, maka para ulama tidak melihat kemudahan dalam hal itu.
Diantara para imam yang menetapkan hal tersebut adalah Abdurrahman bin
Mahdi, Ahmad bin Hanbal, Abdullah bin al-Mubarak dan lain-lain. Ibn Adi
telah membuat satu bab dalam mukaddimah kitab al-Kamil dan al-Khathib
dalam al-Kifayah mengenal hal tersebut." (Al-Hafidz al-‘lraqi,
at-Tabshirah wa at-Tadzkirah juz 1 halaman 291).
Sebagai bukti bahwa hadits-hadits
dha'if itu ditoleransi dan diamalkan dalam konteks fadhail al-a'mal dan
sesamanya, kita dapati kitab-kitab para ulama penuh dengan hadits-hadits
dha’if, termasuk kitab-kitab Syaikh Ibn Taimiyah, Ibn Qayyim al-Jauziyah dan
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi pendiri aliran Wahhabi.
Dalam catatan sejarah, orang yang
pertama kali menolak hadits dha'if dalam konteks fadhail al-a'mal dan
sesamanya adalah Syaikh Nashir al-Albani, ulama Wahhabi dari Yordania, dan
kemudian diikuti oleh para Wahhabi di Indonesia seperti Hakim Abdat, Yazid
Jawas, Mahrus Ali dan lain-lain. Tentu saja, pandangan Syaikh al-Albani
menyalahi pandangan para ulama sebelumnya termasuk kalangan ahli hadits.
Rasulullah SAW Tidak Pernah Mengerjakan
Suatu pagi, awal Agustus 2010, saya
mendapati kiriman SMS dari seorang teman. Isinya, berkaitan dengan pernyataan
Syaikh Ali dalam acara Indahnya Sedekah di Televisi Pendidikan Indonesia,
bersama Ustadz Yusuf Manshur.
Dalam acara itu, Syaikh Ali ditanya
tentang hukum Maulid Nabi Saw. Kemudian Syaikh Ali menjawabnya dengan mengutip
pernyataan Syaikh Ibn Taimiyah dalam Iqtidha' ash-Shiratt al-Mustaqim yang
menilai positif perayaan maulid Nabi Saw. Hanya saja di bagian akhir
pernyataannya, Syaikh Ali mengeluarkan pernyataan yang kontroversial dan sarat
dengan aroma Wahhabi. Dalam hal itu ia mengatakan: "Kita harus
meninggalkan segala sesuatu yang tidak pemah dikerjakan oleh Rasulullah
Saw." Agaknya Syaikh Ali ini memang seorang Wahhabi yang berupaya
menyebarkan faham Wahhabi melalui acara televisi di TPI.
Catatan:
Apabila Syaikh Ali yang dimaksud diatas
adalah Syaikh Ali Jaber al-Madani (Ulama Madinah yang kini tinggal di Indonesia
mengikuti istrinya dan sering tampil di televisi di acara Indahnya Sedekah),
maka pendapat saya (Luqman Firmansyah) mengenai hal ini adalah Syaikh Ali
bukanlah orang Wahhabi. Hal ini didasarkan atas pengalaman pribadi saya yang
pernah menghadiri langsung acara yang berjudul Peringatan Maulid Nabi Februari
2011 kemarin di Masjid Raya Makassar. Tampak dalam baliho di depan masjid
tertulis “Peringatan Maulid Nabi bersama Syaikh Ali Jaber al-Madani”. Dalam
taushiyahnya yang saya lihat dan saya dengar sendiri beliau menyebutkan bahwa
peringatan Maulid Nabi sangat baik untuk dilakukan. Bahkan Syaikh Ali
menceritakan sedikit kisahnya bahwa suatu hari ia mendengarkan ceramah dari
seorang ustadz di Masjid namun yang dibicarakan oleh ustadz tersebut hanyalah
seputar tema bid’ah dan bid’ah saja. Selesai acara Syaikh Ali menemuinya lalu
mengatakan “muka anda juga bid’ah”. Dari cerita tersebut maka saya
menyimpulkan bahwa beliau, Syaikh Ali bukanlah seorang Wahhabi. Salah seorang
teman saya juga berhasil merekam video taushiyahnya dari awal hinggal akhir.
Dan apabila Anda ingin melihat videonya sebagai bukti bisa hubungi saya. Semoga
Syaikh Ali yang dimaksud dalam buku ini bukan Syaikh Ali yang pernah kutemui di
Makassar. Wallahu a’lam.
Dalam diskusi di Mushalla al-Fitrah,
Jl. Gunung Mangu, Monang Maning Denpasar, pada akhir Juli 2010, ada
seorang Wahhabi berinisial HA berkata: “Ustadz, Rasulullah Saw. tidak pemah
mengumpulkan para sahabat, lalu membaca Surat Yasin secara bersama-sama. Oleh
karena itu, berarti tradisi Yasinan itu bid'ah dan tidak boleh dilakukan."
Demikian kata HA dengan suara agak berapi-api.
Pernyataan HA tersebut saya jawab:
"Sesuatu yang tidak pemah dikerjakan oleh Rasulullah Saw., atau
para sahabat dan ulama salaf itu belum tentu dilarang atau tidak boleh.
Berdasarkan penelitian terhadap hadits-hadits Nabi Saw., al-Hafidz
Abdullah al-Ghumari menyimpulkan, bahwa sesuatu yang ditinggalkan oleh
Rasulullah Saw. mengandung beberapa kemungkinan:
Pertama, Nabi Saw. meninggalkannya karena tradisi di daerah beliau tinggal.
Nabi Saw. pernah disuguhi daging biawak yang dipanggang. Lalu Nabi Saw.
bermaksud menjamahnya dengan tangannya. Tiba-tiba ada orang berkata kepada
beliau: "Itu daging biawak yang dipanggang." Mendengar
perkataan itu, Nabi Saw. tidak jadi memakannya. Lalu beliau ditanya, "Apakah
daging tersebut haram?" Beliau menjawab: "Tidak haram, tetapi
daging itu tidak ada di daerah kaumku, sehingga aku tidak selera."
Hadits ini terdapat dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim.
Kedua, Nabi Saw.
meninggakannya karena lupa. Suatu ketika Nabi Saw. lupa meninggalkan
sesuatu dalam shalat. Lalu beliau ditanya, "Apakah terjadi sesuatu
dalam shalat?" Beliau menjawab: "Saya juga manusia, yang bisa
lupa seperti halnya kalian. Kalau aku lupa meninggalkan sesuatu, ingatkan
aku."
Ketiga, Nabi Saw. meninggalkannya karena khawatir diwajibkan atas umatnya.
Seperti Nabi Saw. meninggalkan shalat Tarawih setelah para sahabat berkumpul
menunggu untuk shalat bersama beliau.
Keempat, Nabi Saw. meninggalkannya karena memang tidak pemah memikirkan
dan terlintas dalam pikirannya. Pada mulanya Nabi Saw. berkhutbah dengan
bersandar pada pohon kurma dan tidak pemah berpikir untuk membuat kursi,
tempat berdiri ketika khutbah. Setelah sahabat mengusulkannya, maka beliau
menyetujuinya, karena dengan posisi demikian, suara beliau akan lebih didengar
oleh mereka. Para sahabat juga mengusulkan agar mereka membuat tempat
duduk dari tanah, agar orang asing yang datang dapat mengenali beliau, dan
temyata beliau menyetujuinya, padahal belum pernah memikirkannya.
Kelima, Nabi Saw. meninggalkannya karena hal tersebut masuk dalam keumuman
ayat-ayat al-Qur'an dan hadits-haditsnya, seperti sebagian besar amal-amal
mandub (sunnat) yang beliau tinggalkan karena sudah tercakup dalam firman
Allah: "Lakukanlah kebaikan, agar kamu menjadi orang-orang yang
beruntung." (QS. al-Hajj ayat 77).
Keenam, Nabi Saw. meninggalkannya karena menjaga perasaan para sahabat
atau sebagian mereka. Nabi Saw. bersabda kepada Aisyah: "Seandainya
kaummu belum lama meninggalkan kekufuran, tentu Ka'bah itu aku bongkar lalu aku
bangun sesuai dengan fondasi yang dibuat oleh Nabi Ibrahim karena orang-orang
Quraisy dulu tidak mampu membangunnya secara sempuma." Hadits ini
terdapat dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim. Nabi Saw. tidak merekonstruksi
Ka'bah karena menjaga perasaan sebagian sahabatnya yang baru masuk Islam dari
kalangan penduduk Makkah. Kemungkinan juga Nabi Saw. meninggalkan suatu hal
karena alas an-alasan lain yang tidak mungkin diuraikan semuanya di sini,
tetapi dapat diketahui dari meneliti kitab-kitab hadits. Belum ada suatu hadits
maupun atsar yang menjelaskan bahwa Nabi Saw. meninggalkan sesuatu
karena hal itu diharamkan.”
Demikian pernyataan al-Hafidz Abdullah
al-Ghumari dengan disederhanakan.
Berkaitan dengan membaca al-Qur'an atau
dzikir secara bersama, al-Imam asy-Syaukani telah menegaskan dalam
kitabnya, al-Fath ar-Rabbai fi Fatawa al-Imam asy-Syaukani sebagai
berikut: “Ini adalah himpunan ayat-ayat al-Qur'an ketika melihat pertanyaan
ini. Dalam ayat-ayat tersebut tidak ada pembatasan dzikir dengan cara
mengeraskan atau memelankan, meninggikan atau merendahkan suara,
bersama-sama atau sendirian. Jadi ayat-ayat tersebut memberi pengertian
anjuran dzikir dengan semua cara tersebut.” (Syaikh asy-Syaukani,
Risalah al-Ijtima’ ‘ala adz-Dzikir wa al-Jahr bihi, dalam kitab beliau al-Fath
ar-Rabbani min Fatawa al-Imam asy-Syaukani halaman no. 5945).
Pernyataan asy-Syaukani di atas, adalah
pernyataan seorang ulama yang mengerti al-Qur'an, hadits dan metode pengambilan
hukum dari al-Qur'an dan hadits. Berdasarkan pernyataan asy-Syaukani di atas,
membaca al-Qur'an bersama-sama tidak masalah, bahkan dian|urkan sesuai dengan
ayat-ayat al-Qur’an yang menganjurkan kita memperbanyak dzikir kepada Allah
dengan cara apapun.
Mengapa Membaca Usholli
Pembicaraan mengenai bid'ah hasanah di
Mushalla Baitul Mustaqim Jimbaran Bali, pada 25 Juli 2010, membawa pada
pembicaraan mengenai hukum membaca ushalli ketika setiap akan shalat.
Seorang teman berbicara: "Mengapa kita membaca ushalli? Apakah Rasulullah
Saw. pernah melakukannya ketika akan menunaikan shalat?"
Menjawab pertanyaan ini, saya
menjelaskan: "Tidak ada riwayat yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw.
mengucapkan kata ushalli ketika akan shalat. Para ulama fuqaha yang
menganjurkan membaca ushalli juga tidak beralasan bahwa Rasulullah Saw.
telah melakukannya. Dasar filosofi mengapa para fuqaha menganjurkan membaca ushalli
adalah demikian:
Pertama, Rasulullah Saw. Bersabda: “innama al-a’malu binniyat (segala
perbuatan itu tergantung pada niatnya)”. Hadits ini menjadi dalil wajibnya niat
ketika kita akan menunaikan ibadah.
Kedua, setelah
redaksi hadits tersebut, ada redaksi, "wainnama likulli imri-in ma nawa
(seseorang hanya akan memperoleh apa yang telah diniatinya)". Hal ini
menunjukkan bahwa ketika ibadah itu memiliki beberapa macam yang berbeda, maka
harus dilakukan ta'yin (penentuan) dalam niat. Misalnya shalat fardhu itu ada
lima, Dhuhur, Ashar, Maghrib, Isya' dan Shubuh. Dari sini, seorang yang akan
menunaikan shalat fardhu, harus menentukan shalat fardhu apa yang akan ia
lakukan.
Ketiga, secara kebahasaan, niat itu diistilahkan dengan bermaksud
melakukan sesuatu bersamaan dengan bagian awal pelaksanaannya. Seseorang
tentunya akan merasa kesulitan untuk melakukan niat di dalam hati bersamaan dengan
awal pelaksanaan shalat. Sedangkan mengucapkan niat sebelum melakukan
takbiratul ihram, dapat membantu konsentrasi hati dalam melakukan niat shalat
fardhu yang disertai ta'yin di atas. Dari sini kemudian para ulama
fuqaha menganjurkan mengucapkan niat sebelum mengucapkan takbiratul ihram, agar
ucapan niat tersebut; membantu konsentrasi hati ketika takbiratul ihram
dilakukan. Para ulama fuqaha mengatakan, dianjurkan mengucapkan niat dengan
lidah, agar lidah dapat membantu hati (liyusa’ida al-lisan al-qalba) dalam
melakukan niat. Di sisi lain, Rasulullah Saw. juga pernah mengucapkan niat
dengan lidah ketika akan menunaikan ibadah haji. “Dari sahabat Anas Ra.
berkata, saya mendengar Rasulullah Saw. mengucapkan, labbaika aku
sengaja mengerjakan umrah dan haji.” (HR. Muslim) Dengan demikian
mengucapkan niat dalam shalat dapat dianalogikan dengan pengucapan niat dalam
ibadah haji." Wallahu a'lam.
BAB X
PERMASALAHAN TRADISI
Tradisi Tahlilan
Tahlilan terambil dari kosa kata tahlil,
yang dalam bahasa Arab diartikan dengan mengucapkan kalimat la ilaha
illallah. Sedangkan tahlilan, merupakan sebuah bacaan yang komposisinya
terdiri dari beberapa ayat al-Qur'an, shalawat, tahlil, tasbih dan tahmid, yang
pahalanya dihadiahkan kepada orang yang masih hidup maupun sudah meninggal,
dengan prosesi bacaan yang lebih sering dilakukan secara kolektif (berjamaah),
terutama dalam hari-hari tertentu setelah kematian seorang Muslim. Dikatakan
tahlilan, karena porsi kalimat la ilaha illallah dibaca lebih banyak
dari pada bacaan- bacaan yang lain.
Terdapat sekian banyak persoalan atau
gugatan terhadap tradisi tahlilan yang datangnya dari kaum Wahhabi. Dalam
sebuah dialog di Besuk Kraksaan Probolinggo, sekitar tahun 2008, ada seseorang
bertanya: "Siapa penyusun tahlilan dan sejak kapan tradisi tahlilan
berkembang di dunia Islam?"
Pada waktu itu saya menjawab:
"Bahwa sepertinya sampai saat ini belum pernah dibicarakan dan diketahui
mengenai siapa penyusun bacaan tahlilan dengan komposisinya yang khas itu.
Mengingat, dari sekian banyak buku tahlilan yang terbit, tidak pernah
dicantumkan nama penyusunnya."
Akan tetapi berkaitan dengan tradisi
tahlilan, itu bukan tradisi Indonesia atau Jawa. Kalau kita menyimak fatwa
Syaikh Ibn Taimiyah al-Harrani, tradisi tahlilan telah berkembang sejak sebelum
abad ketujuh Hijriah, Dalam kitab Majmu' Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah
disebutkan: "Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah ditanya, tentang
seseorang yang memprotes ahli dzikir (berjamaah) dengan berkata kepada
mereka: "Dzikir kalian ini bid'ah, mengeraskan suara yang kalian
lakukan juga bid'ah". Mereka memulai dan menutup dzikirnya dengan
al-Qur'an, lalu mendo’akan kaum Muslimin yang masih hidup maupun yang
sudah meninggal. Mereka mengumpulkan antara tasbih, tahmid, tahlil,
takbir, hauqalah (laa haula wa laa quwwata illa billaah) dan shalawat
kepada Nabi Saw. Lalu Ibn Taimiyah menjawab: "Berjamaah dalam berdzikir,
mendengarkan al-Qur'an dan berdoa adalah amal shaleh, termasuk qurbah
dan ibadah yang paling utama dalam setiap waktu. Dalam Shahih al-Bukhari, Nabi
Saw. Bersabda: "Sesungguhrrya Allah memiliki banyak Malaikat yang
selalu bepergian di muka bumi. Apabila mereka bertemu dengan sekumpulan
orang yang berdzikir kepada Allah, maka mereka memanggil: "Silakan
sampaikan hajat kalian", lanjutan hadits tersebut terdapat redaksi, "Kami
menemukan mereka bertasbih dan bertahmid kepadaMu"... Adapun memelihara
rutinitas aurad (bacaan-bacaan wirid) seperti shalat, membaca al-Qur'an,
berdzikir atau berdoa, setiap pagi dan sore serta padi sebagian waktu malam dan
lain-lain, hal ini merupakan tradisi Rasulullah Saw. dan hamba-hamba Allah yang
saleh, zaman dulu dan sekarang.” (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, juz 22
halaman 520)
Dalam sebuah diskusi di Denpasar Bali,
ada seorang Wahhabi berkata: "Bahwa tradisi selamatan tujuh hari itu
mengadopsi dari orang-orang Hindu. Sudah jelas kita tidak boleh meniru-niru
orang Hindu."
Pernyataan orang Wahhabi ini tentu saja
tidak wajar. Ada perbedaan antara tradisi Hindu dengan Tahlilan. Dalam tradisi
Hindu, selama tujuh hari dari kematian, biasanya diadakan ritual selamatan
dengan hidangan makanan yang diberikan kepada para pengunjung, disertai dengan
acara sabung ayam, permainan judi, minuman keras dan kemungkaran lainnya.
Sedangkan dalam tahlilan, tradisi
kemungkaran seperti itu jelas tidak ada. Dalam tradisi Tahlilan, diisi dengan
bacaan al-Qur'an, dzikir bersama kepada Allah Swt. serta selamatan (sedekah)
yang pahalanya dihadiahkan kepada mayit. Jadi, antara kedua tradisi tersebut
jelas berbeda.
Sedangkan berkaitan dengan acara tujuh
hari yang juga menjadi tradisi Hindu, dalam Islam sendiri, tradisi selamatan
tujuh hari telah ada sejak generasi sahabat Nabi Saw. Al-Imam Sufyan, seorang
ulama salaf berkata: "Bahwa Imam Thawus berkata: "Sesungguhnya
orang yang meninggal akan diuji di dalam kubur selama tujuh hari, oleh
karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan bersedekah makanan untuk
keluarga yang meninggal selama tujuh hari tersebut." (HR. Imam
Ahmad dalam az-Zuhd al-Hafidz Abu Nu'aim dalam Hilyah al-Auliya’ juz 4 halaman
11 dan al-Hafidz Ibn Hajar dalam al-Mathalib al-'Aliyah juz 5 halaman 330).
Riwayat di atas menjelaskan bahwa
tradisi selamatan selama tujuh hari telah berjalan sejak generasi sahabat Nabi.
Sudah barang tentu, para sahabat dan generasi salaf tidak mengadopsinya dari
orang Hindu. Karena orang-orang Hindu tidak ada di daerah Arab. Dan seandainya
tradisi selamatan tujuh hari tersebut diadopsi dari tradisi Hindu, maka
hukumnya jelas tidak haram, bahkan bagus untuk dilaksanakan, mengingat acara
dalam kedua tradisi tersebut sangat berbeda. Dalam selamatan tujuh hari, kaum
Muslimin berdzikir kepada Allah. Sedangkan orang Hindu melakukan kemungkaran.
Dalam hadits shahih Rasulullah Saw. bersabda: "Orang yang berdzikir
kepada Allah di antara kaum yang lalai kepada Allah, sederajat dengan
orang yang sabar di antara kaum yang melarikan diri dari medan
peperangan." (HR. Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir dan al-Mu’jam
al-Ausath. Alhafidz as-Suyuthi menilai hadits tersebut shahih dalam al-Jami’
ash-Shaghir).
Dalam acara tahlilan selama tujuh hari
kematian, kaum Muslimin berdzikir kepada Allah, ketika pada hari tersebut orang
Hindu melakukan sekian banyak kemungkaran. Betapa indah dan mulianya tradisi
tahlilan itu. Dan seandainya tasyabuh dengan orang Hindu dalam selamatan
tujuh hari tersebut dipersoalkan, Rasulullah Saw. telah mengajarkan kita cara
menghilangkan tasyabuh (menyerupai orang-orang ahlul kitab) yang
dimakruhkan dalam agama. Dalam sebuah hadits shahih riwayat dari Ibn Abbas yang
berkata: "Setelah Rasulullah Saw. berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan
kaum Muslimin juga berpuasa, mereka berkata: “Wahai Rasulullah, hari
Asyura itu diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani." Rasulullah
Saw. menjawab: "Kalau begitu, tahun depan, kita berpuasa pula tanggal
sembilan." Ibn Abbas berkata: “Tahun depan belum sampai ternyata Rasulullah
Saw. telah wafat." (HR. Muslim dan Abu Dawud)
Dalam hadits di atas, para sahabat
menyangsikan perintah puasa pada hari Asyura, dimana hari tersebut juga
diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani. Sementara Rasulullah Saw. telah
menganjurkan umatnya agar selalu menyelisihi (mukhalafah) orang-orang
Yahudi dan Nasrani. Temyata Rasulullah memberikan petunjuk, cara menyelisihi
mereka, yaitu dengan berpuasa sejak sehari sebelum Asyura, yang disebut dengan
Tasu'a', sehingga tasyabbuh tersebut menjadi hilang.
Dalam sebuah acara di Denpasar Bali,
ada juga orang Wahhabi yang mempersoalkan: "Bagaimana dengan pendapat
madzhab asy-Syafi'i yang mengatakan bahwa pemberian hidangan makanan terhadap
orang yang berta'ziyah dihukumi bid'ah madzmumah. Hal tersebut berarti juga
meninggalkan sunnah, dimana yang dianjurkan justru orang yang berta'ziyah itu
member hadiah makanan kepada keluarga mayit. Apakah tidak sebaiknya tradisi
tersebut kita hilangkan?"
Dalam hal tersebut saya menjawab, bahwa
sebenarnya dalam tradisi tahlilan selama tujuh hari, kaum Muslimin tidak
meninggalkan sunnah. Mereka telah melakukan sunnah, dimana para tetangga dan
sanak famili yang berta'ziyah, itu membawa makanan, ada yang berupa beras, ada
yang berupa lauk pauk, uang dan lain sebagainya. Jadi kaum Muslimin di
Indonesia tidak meninggalkan sunnah.
Sedangkan tradisi suguhan makanan dari
keluarga mayit kepada para penta'ziyah, dalam hal ini madzhab asy-Syafi'i
berpendapat bid'ah madzmumah. Tetapi kita harus ingat, bahwa dalam ini
ada pendapat lain di kalangan ulama, yaitu madzab generasi salaf seperti telah
diceritakan sebelumnya dari Imam Thawus. Disamping itu, ada riwayat dari
Sayyidina Umar bin al-Khaththab Ra., bahwa ketika beliau akan wafat berwasiat
agar orang-orang yang berta’ziyah disuguhi makanan.
Al-Hafidz Ibn Hajar berkata dalam
kitabnya al-Mathalib al’-Aliyah: "Al-Ahnaf bin Qais berkata, “Aku
pernah mendengar Umar Ra. berkata: “Apabila seseorang dari suku Quraisy
memasuki satu pintu, pasti orang lain akan mengikutinya.” Aku tidak
mengerti maksud perkataan ini, sampai akhirnya Umar Ra. ditikam, lalu
beliau berwasiat agar Shuhaib yang menjadi Imam Shalat selama tiga hari
dan agar menyuguhkan makanan pada orang-orang yang ta’ziyah. Setelah
orang-orang pulang dari mengantarkan jenazah Umar Ra., ternyata hidangan
makanan telah disiapkan, tetapi mereka tidak jadi makan, karena duka
cita yang tengah menyelimuti mereka.” (HR. Ahmad bin Mani’ dalam al-Musnad
dan al-Hafidz Ibn Hajar dalam al-Mathalib al-‘Aliyah, juz 5 halaman 328)
Dengan demikian, masalah suguhan
makanan dari keluarga mayit kepada para penta'ziyah masih ada pendapat lain
yang membolehkan, dan tidak menganggapnya bid'ah madzmumah. Kita tidak mungkin
memaksakan orang lain konsisten dcngan satu madzhab secara penuh. Al-Imam Ahmad
bin Hanbal berkata: "Seorang faqih tidak sebaiknya, memaksa orang lain
mengikuti madzhabnya." (Ibn Muflih al-Hanbali dalam al-Adab
asy-Syar'iyyah juz 1 halaman 187 dan Syaikh al-Albani dalam ar-Radd al-Mufhim
halaman 9 dan 147).
Dalam sebuah diskusi di Jember, ada
juga seorang teman yang agak terpengaruh Wahhabi menggugat: "Dengan
adanya tradisi tahlilan, menyebabkan mereka yang melakukan tahlilan
meninggalkan sunnah, seperti tidak shalat berjamaah karena tahlilan. Bahkan ada
juga, untuk acara tahlilan, keluarga duka cita sampai mencari hutangan segala.
Apakah sebaiknya hal ini tidak menjadi problem?" Demikian teman
tersebut menggugat.
Gugatan teman ini sebenarnya tidak
substansial Karena banyak juga orang yang tahlilan, tetapi temp rajin
berjamaah. Jadi tahlilan, tidak menghalangi jamaah. Bahkan di sebagian daerah
di Jember, acara tahlilan selama tujuh hari dilaksanakan setelah shalat Dzuhur.
Di Pasuruan, dilaksanakan setelah shalat Isya', tergantung daerah
masing-masing. Karena dalam tradisi tahlilan memang tidak ada ikatan waktu.
Sedangkan terkait dengan sebagian orang yang memaksakan diri dengan mencari
hutangan uang untuk acara tahlilan, ini sebenarnya bukan problem tahlilannya.
Banyak juga orang yang sampai mencari hutangan untuk kesenangan keluarganya,
dan bukan untuk tahlilan.
Ada juga orang Wahhabi yang menggugat
tahlilan dengan berkata: "Dalam bacaan tahlilan terdapat bid'ah, yaitu
susunan bacaannya yang belum pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw."
Menanggapi hal tersebut, kita menjawab
bahwa berkaitan dengan susunan bacaan dan dalam tahlilan yang terdiri dari
beberapa macam dzikir, mulai dari al-Qur’an, shalawat, tahlil, tasbih, tahmid
dan lain-lain, hal tersebut tidak ada larangan dari Rasulullah Saw. Bahkan
dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw. juga mencampur antara bacaan al-Qur'an
dengan do’a seperti diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam kitab ad-Du’a’.
Dari kalangan ulama salaf seperti
al-Imam Ahmad bin Hanbal, menyusun dzikiran campuran antara ayat al-Qur’an dan
lain-lain seperti yang diriwayatkan oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah dalam Zad
al-Ma’ad. Wallahu a’lam.
Tradisi Talqin Mayit
Di kalangan masyarakat kita, ketika ada
orang meninggal dunia, dan dimakamkan, maka dibacakan talqin, yaitu sebuah
tuntunan kepada si mayit agar mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan Malaikat
Munkar dan Nakir. Tradisi ini berlaku hampir di seluruh negara Islam yang
menganut paham Ahlussunnah wal Jama'ah. Ada dialog menarik seputar talqin ini,
yang diceritakan oleh teman saya, Ustadz Syafi'i Umar Lubis dari Medan. Ia
bercerita begini:
“Sekitar bulan Maret 2010 ada seorang
mahasiswa IAIN Sumatera Utara yang kos di salah satu sudut kota Medan. Tiap
malam rabu ia belajar mengaji bersama kami didaerah Sunggal. Waktu itu kitab
yang dibaca adalah kitab at-Tahdzib fi Adillat al-Ghayah wa at-Taqrib, karya
Musthafa Dibul Bugha. Mahasiswa ini sangat resah dengan keberadaan keponakannya
yang belajar di Pondok As-Sunnah, sebuah pesantren yang diasuh oleh orang-orang
Wahhabi. Sepertinya anak itu telah termakan racun ajaran Salafi. Mahasiswa itu
berjanji membawa keponakannya ke Majelis Ta'lim kami di Sunggal.
Pada malam yang ditentukan datanglah
mereka, bersama keponakannya itu, sebut saja dengan inisial X. Setelah mereka
berkumpul, saya bertanya: “Kira-kira apa yang akan kita diskusikan?”
X menjawab: "Banyak Ustadz,
antara lain soal Talqin dan bid'ah."
Saya bertanya: "Apa yang kita
masalahkan dengan bid'ah itu?"
"Ini Ustadz, bid'ah itu kan dosa
dan pelakunya diancam siksa dalam banyak hadits." Demikian X itu menjawab.
Saya Tanya: "Benar, kita
sepakat bid'ah itu sebuah ancaman dan membahayakan sekali. Tapi perlu diingat,
bid'ah itu tidak sampai mengeluarkan pelakunya dari nama Islam alias murtad.
Bid'ah itu ada kalanya berkaitan dengan aqidah, kadang dengan ibadah. Kamu tahu
enggak apa itu bid'ah?"
X menjawab: "Sebagaimana yang
kami pelajari, bid'ah itu ialah segala sesuatu yang menyangkut ibadah yang
tidak ada di zaman Nabi dan dilakukan oleh Nabi dan Salafus Sholeh, seperti
Talqin, Madzhab, Ushalli dan lain sebagainya."
Saya berkata: "Definisi
bid'ah seperti itu siapa yang membuatnya? Nabi, atau sahabat, dan atau
tabi’in?"
X menjawab: "Itu rangkuman
pemikiran saya saja."
Saya berkata, "Kalau begitu
definisi bid'ah menurut Anda itu kan tidak ada penjelasannya dari Nabi. Nah
definisi Anda itu juga bid'ah, kan definisi Anda itu bukan keluar dari ucapan
Nabi. Ok..? Ini sesuai yang Anda katakan."
Mendengar umpan saya, X terdiam.
Kemudian ia berkata: "Lalu bagaimana dengan hadits "Man ahdatsa fi
amrina hadza ma laisa minhu fahuwa roddun."
Saya balik bertanya: "Kenapa
dengan hadits itu?"
X berkata: "Hadits ini secara
tegas menyingkap apa itu bid'ah."
Saya berkata: "Benar, tapi
perlu dicermati maksud kalimat, man ahdatsa fi amrina hadza ma laisa minhu.
Menurut pemahaman Anda bagaimana dengan kalimat itu?"
Ia menjawab: "Menurut saya
pokoknya menciptakan ibadah baru itu bid'ah."
Saya berkata: "Kalau begitu
Anda memahami hadits itu pakai kacamata kuda dong. Saya bertanya, apa arti ma
laisa mihu dalam hadits tersebut? Tolong Anda jelaskan tiga kata ini."
Ternyata X hanya terdiam tidak bisa
menjawab. Saya berkata: "Saudara, kata ahdatsa dalam hadits
tersebut bermakna menciptakan sesuatu yang baru yang belum pernah ada
sebelumnya. Sedangkan kata fi amrina, bermakna sesuatu yang merupakan urusan
agama kami, maksudnya suatu hal yang baru yang berkaitan dengan agama.
Sedangkan kata ma laisa mihu, bermakna sesuatu yang tidak ada dalilnya secara
langsung atau tidak langsung dari agama. Nah demikian itu baru dihukumi bid'ah.
Makanya al-Imam an-Nawawi dalam Kitab al-Majmu' Syarh al- Muhadzdzab menyatakan
bahwa bid'ah adalah sesuatu urusan yang baru dalam agama yang tidak ada
dalilnya. Dalil-dalil itu adalah al-Qur'an, Sunnah, Ijma' dan Qiyas. Selama
masih ada dalilnya dari salah satu yang empat tersebut, maka itu bukan bid'ah.
Anda kalau zakat fitrah pakai apa? Seharusnya mesti pakai korma dong. Rasul
Saw. mengatakan tidak pernah pakai beras. Rasul tidak mempraktekkan zakat
fitrah pakai beras. Pakai beras itu Qiyas dari korma dan gandum. Jadi kalau
tidak menggunakan Qiyas, tentu saja Islam ini sempit sekali. Demikian pula
masalah Takhtim, Tahlil yang selalu diamalkan masyarakat kita, isinya adalah
pembacaan al-Qur'an, Tahlil dengan kalimat Laa llaha lllallah, Sholawat, lalu
doa. Saya tanya Anda, Apakah ada larangan membaca itu semua, baik menurut
al-Qur'an dan hadits?"
Mendengar pertanyaan saya, X menjawab: "Tidak
ada."
Saya berkata: "Apakah ada
perintah membaca itu semua menurut al-Qur'an dan hadits secara umum?"
X menjawab: "Ada."
Saya bertanya: "Adakah larangan
Allah dan Rasul untuk berdzikir, baca al-Qur'an dan lain sebagainya itu?"
X menjawab: "Tidak ada."
Saya berkata: "Nah! Kan tidak
ada larangan. Sementara pengamalan tersebut ada sanjungan dari Allah dan Rasul,
maka itu bukanlah bid'ah yang terlarang atau sesat. Anda paham?"
X menjawab: "Emangnya apa
sanjungan Allah dan RasulNya?"
Saya menjawab: "Lho...!
Tidakkah pernah saudara dengar sebuah hadits shahih yang artinya: “Tidaklah
sekelompok orang yang duduk sambil berdzikir kepada Allah kecuali para malaikat
akan mengelilinginya, rahmat kasih sayang Allah akan meliputinya, ketenangan
akan diturunkan kepadanya dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di hadapan
makhluk yang ada di sisiNya". (HR Ahmad, Muslim, at-Tirmidzi, Ibn Majah,
Ibnu Abi Syaibah dan al-Baihaqi dari Abi Hurairah dan Abi Sa'id al- Khudri).
Dalam hadits ini atau hadits lain tidak pernah ada larangan, kecuali di
tempat-tempat kotor seperti di WC dan semacamnya."
Mendengar penjelasan saya, X terdiam.
Kemudian ia angkat bicara: "Bagaimana masalah Talqin? Bukankah itu
Bid'ah?"
Saya menjawab: "Begini saja
supaya jelas. Lalu saya berdiri dan mengambil spidol dan menuliskan di
Whiteboard, "TALQIN MAYIT BUKAN BID'AH TAPI KHILAFIAH" dan saya
tanda tangani. Lalu saya suruh ia untuk menuliskan kalimat tandingan
dari pernyataan saya. Lalu iapun menuliskan "TALQIN MAYIT ADALAH
BID’AH" dan ditandatanganinya.
Lalu saya bertanya: "Kalau
Talqin mayit adalah bid'ah berarti pelakunya diancam siksa?"
X menjawab: "Ya."
Saya bertanya: “Yang mengatakan
bahwa talqin mayit itu bid'ah, siapa?"
Dengan semangat, X yang masih
anak muda itu mengatakan: "Syaikhul Islam Ibn Taimiyah."
Mendengar jawaban itu, saya pun
mengambil kitab Majmu' Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah. Lalu saya
berkata: "Ini kitab Majmu' Fatawa Ibn Taimiyah." Sambil
menunjukkan kepada hadirin semua pada jilid 1 halaman 242 yang isinya adalah:
"Talqin yang tersebut ini (talqin setelah mayit dikuburkan) telah
diriwayatkan dari segolongan sahabat bahwa mereka memerintahkannya seperti Abi
Umamah al-Bahili serta beberapa sahabat lainnya, oleh karena ini al-lmam Ahmad
bin Hanbal dan para ulama yang lain mengatakan bahwa sesungguhnya talqin mayit
ini tidak apa-apa untuk diamalkan..." Nah, Ibn Taimiyah tidak mengatakan
bahwa talqin itu bid'ah, malah menyatakan ada dalilnya bahwa talqin itu
dilakukan oleh sebagian Sahabat. Yang jelas ini masalah khilafiah bukan masalah
bid'ah" Mendengar penjelasan saya, X pun terdiam. Tidak lama
kemudian, ia pamitan pulang."
Demikian kisah dialog public antara
Ustadz Syafi'i Umar Lubis dari Medan Sumatera Utara dengan pemuda Wahabi.
Doa Bersama
Ada seorang teman yang sekarang tinggal
di Bandung sebagai kiai muda, curhat kepada saya melalui SMS, bahwa ada
sekelompok aliran di daerahnya, ketika selesai shalat, mereka tidak mau berdoa
bersama dengan dipandu seorang imam. Alasan mereka, hal itu tidak ada haditsnya
dan termasuk bid'ah. Hal yang sama juga terjadi pada saya. Dalam sebuah diskusi
tentang bid'ah dan tradisi, di Mushalla Nurul Hikmah, Perum Dalung Permai
Denpasar, pada 22 Juli 2010 yang lalu, ada seorang Salafi yang berpendapat
bahwa doa bersama itu bid'ah. Ketika salah seorang teman kami berdoa sebagai
penutup acara, jamaah yang hadir semuanya mengucapkan amin sambil mengangkat kedua
tangan mereka. Sementara laki-laki Salafi yang menolak doa bersama tersebut,
tidak ikut amin dan tidak mengangkat kedua tangannya.
Pada dasarnya, kalau kita mengkaji
ajaran Islam secara mendalam, akan kita dapati bahwa tradisi doa bersama,
dimana salah seorang dari jamaah mengucapkan doa, sedangkan anggota jamaah
lainnya membaca amin, merupakan tradisi Islami sejak generasi salaf yang saleh
dan sesuai dengan ajaran Rasulullah Saw. Dalam sebuah hadits hasan Rasulullah
Saw. bersabda: “Tidaklah berkumpul suatu kaum muslimin, lalu sebagian
mereka berdoa, dan sebagian lainnya mengucapkan amin, kecuali Allah
pasti mengabulkan doa mereka." (HR. ath-Thabarani dalam al-Mu'jam
al-Kabir, dan al-Hakim dalam al-Mustadrak. Al-Hakim berkata, hadits ini shahih
sesuai persyaratan Muslim. Al-Hafidz al-Haitsami berkata dalam Majma'
az-Zawaid, para perawi hadits ini adalah para perawi hadits shahih, kecuali Ibn
Lahi'ah, seorang yang haditsnya bernilai hasan."
Dalam hadits lain diterangkan: ”Dari
Ibn Abbas radhiyallahu 'anhuma, berkata: "Rasulullah Saw. bersabda: "Orang
yang berdoa dan orang yang membaca amin sama-sama memperoleh pahala."
(HR. ad-Dailami dalam Musnad al-Firdaus dengan sanad yang lemah).
Menurut al-Hafidz Ahmad bin ash-Shiddiq
al- Ghumari dalam kitabnya al-Mudawi li ’llal al-Jami' ash-Shaghir wa Syarhai
al-Munawi juz 4 halaman 43: “Kelemahan hadits ad-Dailami di atas dapat
diperkuat dengan ayat al-Qur'an. Allah berfirman tentang kisah Nabi Musa As.: "Sesungguhnya
telah diperkenankan doa kamu berdua, oleh karena itu tetaplah kamu
berdua pada jalan yang lurus." (QS. Yunus ayat 89).
Dalam ayat di atas, al-Qur’an
menegaskan tentang dikabulkannya doa Nabi Musa As. dan Nabi Harun As. Padahal
yang berdoa sebenarnya Nabi Musa As. sedangkan Nabi Harun As. hanya mengucapkan
amin, sebagaimana diterangkan oleh para ulama ahli tafsir. Nabi Musa As. yang
berdo’a dan Nabi Harun As. yang menngucapkan amin, dalam ayat tersebut
sama-sama dikatakan do’a. Hal ini pada dasarnya menguatkan hadits di atas,
bahwa orang yang berdo’a dan yang mengucapkan amin sama-sama mendapatkan pahala
do’a. Mengenai doa Nabi Musa AS tersebut, telah dijelaskan dalam ayat berikut
ini: "Musa berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah
memberi kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta
kekayaan dalam kehidupan dunia. Ya Tuhan kami, akibatnya mereka
menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Ya Tuhan kami, binasanklah
harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak
beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih." (QS. Yunus
ayat 88)
Dalam hadits lain diterangkan: ”Ya’la
bin Syaddad berkata: "Ayahku bercerita kepadaku, sedangkan Ubadah bin ash-Shamit
hadir membenarkannya: "Suatu ketika kami bersama Nabi Saw., Beliau
Saw. berkata: "Apakah di antara kamu ada orang asing? (Maksudnya ahlul
kitab)." Kami menjawab: "Tidak ada ya Rasululah." Lalu Rasul
Saw. memerintahkan agar mengunci pintu. Kemudian bersabda: "Angkatlah
tangan kalian dan ucapkan la ilaha illallah." Maka kami mengangkat tangan
kami beberapa saat. Kemudian Rasul Saw. berkata; ”Ya Allah, Engkau telah
mengutus aku membawa kalimat ini, dan Engkau janjikan surga padaku dengan
kalimat tersebut, sedangkan Engkau tidak akan menyalahi janji.” Kemudian Rasul
bersabda: "Bergembiralah, karena Allah telah mengampuni kalian." (HR.
Al-lmam Ahmad dengan sanad yang dinilai hasan oleh al-Hafidz al-Mundziri,
ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir dan lain-lain)
Dalam hadits di atas Rasulullah Saw.
memerintahkan para sahabat membaca kalimat tauhid (la ilaha illallah)
bersama-sama. LaIu para sahabat pun mengucapkannya bersama-sama sambil
mengangkat tangan mereka. Kemudian Rasulullah Saw. membacakan doa. Dengan
demikian, dzikir bersama sebenarnya memiliki tuntunan dari hadits shahih ini.
Berdasarkan paparan di atas, dapat
disimpulkan bahwa tradisi doa bersama, dimana salah seorang di antara jamaah
memimpin doa, sedangkan jamaah yang lain mengucapkan amin, baik hal tersebut
didahului dengan dzikir bersama maupun tidak, pada dasamya memiliki dasar
hadits yang kuat, dan bahkan merupakan tuntunan al-Qur'an al-Karim sebagaimana
yang terdapat dalam kisah Nabi Musa As. dan Nabi Harun As. Wallahu a'lam.
Langganan:
Postingan (Atom)