Kamis, 20 September 2012

Kegiatan Rutinitas DTA Nur Shobah Jatibarang Baru

Kegiatan Rutinitas DTA Nur Shobah Jatibarang Baru


Setiap hari berangkat siang hari dimulai dari jam 14:00 sampai dengan jam 16:30 sore hari kecuali hari jum'at (libur) dan hari Ahad/Minggu (berangkat pagi). Khusus hari Ahad siswa-siswi berangkat mulai jam 07:30 sampai dengan jam 09:00 pagi.

Pelajaran disesuaikan dengan tingkatannya. Mulai dari tingkat TPA A (Taman Pendidikan al-Quran Awal), TPA B (Taman Pendidikan al-Quran Akhir), MDA (Madrasah Diniyah Awaliyah) mulai kelas 1, 2, 3, dan 4 dan yang terakhir tingkat Wustho (Tingkat Menengah).

Setiap selesai pelajaran pada jam awal, siswa-siswi istirahat pada pukul 14:45 disambung dengan shalat Ashar berjamaah. Dan masuk pada jam kedua pukul 15:30 (seusai shalat Ashar).

Pada hari Ahadnya siswa-siswi masuk didahului dengan shalat sunnah Dhuha berjama'ah. Kemudian seusai shalat sunnah berjama'ah siswa-siswi masuk ke kelas masing-masing untuk belajar.

Minggu, 02 September 2012

BUKU PINTAR BERDEBAT DENGAN WAHHABI


Editor           : Sya’roni As-Samfuriy
Penerbit        : PUSTAKA MUHIBBIN


BUKU PINTAR BERDEBAT DENGAN WAHHABI
Oleh: KH. Muhammad Idrus Ramli


DAFTAR ISI

1.    Ngalap Barokah……………………. 
2.    Allah Maha Suci…………………….   
3.    Bid’ah Hasanah……………………. 
4.    Otoritas Ulama……………………... 
5.    Bukan Ahlussunnah……………….   
6.    Menurut Asy-Syathibi………………  
7.    Istighatsah dan Tawassul………….  
8.    Cerdas Bermadzhab………………… 
9.    Tradisi Yasinan……………………..  
10. Permasalahan Tradisi……………… 

4
BAB I
NGALAP BAROKAH

Dialog Publik di Masjidil Haram
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin (ulama Wahhabi kontemporer di Saudi Arabia yang sangat populer dan kharismatik), mempunyai seorang guru yang sangat alim dan kharismatik di kalangan kaum Wahhabi, yaitu Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di. Ia dikenal dengan julukan Syaikh Ibnu Sa’di. Ia memiliki banyak karangan, diantaranya yang paling populer adalah karyanya yang berjudul, Taisir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, kitab tafsir setebal 5 jilid, yang mengikuti paradigma pemikiran Wahhabi. Tafsir ini di kalangan Wahhabi menyamai kedudukan Tafsir al-Jalalain di kalangan kaum Sunni. Syaikh Ibnu Sa’di dikenal sebagai ulama Wahhabi yang ekstrem. Namun demikian, terkadang ia mudah insyaf dan mau mengikuti kebenaran, dari manapun kebenaran itu datangnya.
Suatu ketika, al-Imam as-Sayyid ‘Alwi bin Abbas al-Maliki al-Hasani (ayahanda as-Sayyid Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki) sedang duduk-duduk di serambi Masjidil Haram bersama murid-muridnya dalam halaqah pengajiannya. Di bagian lain serambi Masjidil Haram tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di juga duduk-duduk bersama anak buahnya. Sementara orang-orang di Masjidil Haram sedang larut dalam ibadah. Ada yang shalat dan ada pula yang thawaf. Pada saat itu, langit di atas Masjidil Haram diselimuti mendung tebal yang menggelantung. Sepertinya sebentar lagi hujan lebat akan segera mengguyur tanah suci umat Islam itu.
Tiba-tiba air hujan itu pun turun dengan lebatnya. Akibatnya, saluran air di atas Ka’bah mengalirkan air hujan itu dengan derasnya. Melihat air begitu deras dari saluran air di atas kiblat kaum Muslimin yang berbentuk kubus itu, orang-orang Hijaz seperti kebiasaan mereka, segera berhamburan menuju saluran itu dan mengambil air tersebut. Air itu mereka tuangkan ke baju dan tubuh mereka, dengan harapan mendapatkan berkah dari air itu.
Melihat kejadian tersebut, para polisi pamong praja Kerajaan Saudi Arabia, yang sebagian besar berasal dari orang Baduwi daerah Najd itu, menjadi terkejut dan mengira bahwa orang-orang Hijaz tersebut telah terjerumus dalam lumpur kesyirikan dan menyembah selain Allah subhanahu wa ta’ala dengan ngalap barokah dari air itu. Akhirnya para polisi pamong praja itu menghampiri kerumunan orang-orang Hijaz dan berkata kepada mereka yang sedang mengambil berkah air hujan yang mengalir dari saluran air Ka’bah itu, “Hai orang-orang musyrik, jangan lakukan itu. Itu perbuatan syirik. Itu perbuatan syirik. Hentikan!” Demikian teguran keras para polisi pamong praja kerajaan Wahhabi itu.
Mendengar teguran para polisi pamong praja itu, orang-orang Hijaz itu pun segera membubarkan diri dan pergi menuju Sayyid ‘Alwi yang sedang mengajar murid-muridnya di halaqah tempat beliau mengajar secara rutin.
Kepada beliau, mereka menanyakan perihal hukum mengambil berkah dari air hujan yang mengalir dari saluran air di Ka’bah itu. Ternyata Sayyid ‘Alwi membolehkan dan bahkan mendorong mereka untuk terus melakukannya. Menerima fatwa Sayyid ‘Alwi yang melegitimasi perbuatan mereka, akhirnya untuk yang kedua kalinya, orang-orang Hijaz itu pun berhamburan lagi menuju saluran air di Ka’bah itu, dengan tujuan mengambil berkah air hujan yang jatuh darinya, tanpa mengindahkan teguran para polisi Baduwi tersebut.
Bahkan ketika para polisi Baduwi itu menegur mereka untuk yang kedua kalinya, orang-orang Hijaz itu menjawab, “Kami tidak peduli teguran Anda, setelah Sayyid ‘Alwi berfatwa kepada kami tentang kebolehan mengambil berkah dari air ini.”
Akhirnya, melihat orang-orang Hijaz itu tidak mengindahkan teguran, para polisi Baduwi itu pun segera mendatangi halaqah Syaikh Ibnu Sa’di, guru mereka. Mereka mengadukan perihal fatwa Sayyid ‘Alwi yang menganggap bahwa air hujan itu ada berkahnya. Akhirnya, setelah mendengar laporan para polisi Baduwi, yang merupakan anak buahnya itu,
Syaikh Ibnu Sa’di segera mengambil selendangnya dan bangkit berjalan menghampiri halaqah Sayyid ‘Alwi. Kemudian dengan perlahan Syaikh Ibn Sa’di itu duduk di sebelah Sayyid ‘Alwi. Sementara orang-orang dari berbagai golongan, berkumpul mengelilingi kedua ulama besar itu. Mereka menunggu-nunggu, apa yang akan dibicarakan oleh dua ulama besar itu.
Dengan penuh sopan santun dan etika layaknya seorang ulama besar, Syaikh Ibnu Sa’di bertanya kepada Sayyid ‘Alwi: “Wahai Sayyid, benarkah Anda berkata kepada orang-orang itu bahwa air hujan yang turun dari saluran air di Ka’bah itu ada berkahnya?”
Mendengar pertanyaan Syaikh Ibn Sa’di, Sayyid ‘Alwi menjawab: “Benar. Bahkan air tersebut memiliki dua berkah.”
Mendengar jawaban tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di terkejut dan berkata:
“Bagaimana hal itu bisa terjadi?”
Sayyid ‘Alwi menjawab: “Karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam KitabNya tentang air hujan: “Dan Kami turunkan dari langit air yang mengandung berkah.” (QS. 50 ayat 9). Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman mengenai Ka’bah: “Sesungguhnya rumah yang pertama kali diletakkan bagi umat manusia adalah rumah yang ada di Bakkah (Makkah), yang diberkahi (oleh Allah).” (QS. 3 ayat 96). Dengan demikian air hujan yang turun dari saluran air di atas Ka’bah itu memiliki dua berkah, yaitu berkah yang turun dari langit dan berkah yang terdapat pada Baitullah ini.”
Mendengar jawaban tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di merasa heran dan kagum kepada Sayyid ‘Alwi. Kemudian dengan penuh kesadaran, mulut Syaikh Ibnu Sa’di itu melontarkan perkataan yang sangat mulia, sebagai pengakuannya akan kebenaran ucapan Sayyid ‘Alwi: “Subhanallah (Maha Suci Allah), bagaimana kami bisa lalai dari kedua ayat ini.”
Kemudian Syaikh Ibnu Sa’di mengucapkan terima kasih kepada Sayyid ‘Alwi dan meminta izin untuk meninggalkan halaqah tersebut. Namun Sayyid ‘Alwi berkata kepada Syaikh Ibnu Sa’di: “Tenang dulu wahai Syaikh Ibnu Sa’di. Aku melihat para polisi Baduwi itu mengira bahwa apa yang dilakukan oleh kaum Muslimin dengan mengambil berkah air hujan yang mengalir dari saluran air di Ka’bah itu sebagai perbuatan syirik. Mereka tidak akan berhenti mengkafirkan dan mensyirikkan orang dalam masalah ini sebelum mereka melihat orang seperti Anda melarang mereka. Oleh karena itu, sekarang bangkitlah Anda menuju saluran air di Ka’bah itu. Lalu ambillah air di situ di depan para polisi Baduwi itu, sehingga mereka akan berhenti mensyirikkan orang lain.”
Akhirnya mendengar saran Sayyid ‘Alwi, Syaikh Ibnu Sa’di segera bangkit menuju saluran air di Ka’bah. Ia basahi pakaiannya dengan air itu, dan ia pun mengambil air itu untuk diminumnya dengan tujuan mengambil berkahnya. Melihat tindakan Syaikh Ibnu Sa’di ini, para polisi Baduwi itu pun akhirnya pergi meninggalkan Masjidil Haram dengan perasaan malu.
Kisah ini disebutkan oleh Syaikh Abdul Fattah Rawwah, dalam kitab Tsabat (kumpulan sanad-sanad keilmuannya). Beliau murid Sayyid ‘Alwi al-Maliki dan termasuk salah seorang saksi mata kejadian itu.
Syaikh Ibn Sa’di sebenarnya seorang yang sangat alim. Ia pakar dalam bidang tafsir. Apabila berbicara tafsir, ia mampu menguraikan makna dan maksud ayat al-Qur’an dari berbagai aspeknya di luar kepala dengan bahasa yang sangat bagus dan mudah dimengerti. Akan tetapi sayang, ideologi Wahhabi yang diikutinya berpengaruh terhadap paradigma pemikiran beliau. Aroma Wahhabi sangat kental dengan tafsir yang ditulisnya.

Ngalap Berkah
Berkah (barokah) diartikan dengan tambahnya kebaikan (ziyadah al-khair). Sedangkan tabarruk bermakna mencari tambahnya kebaikan atau ngalap barokah (thalab ziyadah al-khair). Demikian para ulama menjelaskan.
Masyarakat kita seringkali mendatangi orang-orang saleh dan para ulama sepuh dengan tujuan tabarruk. Para ulama dan orang saleh memang ada barokahnya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Berkah Allah bersama orang-orang besar di antara kamu.” (HR. Ibn Hibban no. 1912, Abu Nu’aim dalam al-Hilyah juz 8 halaman 172, al-Hakim dalam al-Mustadrak juz 1 halaman 62 dan adh-Dhiya’ dalam al-Mukhtarah halaman 64, 35, 2. Al-Hakim berkata, hadits ini shahih sesuai kriteria al-Bukhari, dan adz-Dzahabi menyetujuinya).
Al-Imam al-Munawi menjelaskan dalam Faidh al-Qadir, bahwa hadits tersebut mendorong kita mencari berkah Allah subhanahu wa ta’ala dari orang-orang besar dengan memuliakan dan mengagungkan mereka. Orang besar di sini bias dalam artian besar ilmunya seperti para ulama, atau kesalehannya seperti orang-orang saleh. Bisa pula, besar dalam segi usia, seperti orang-orang yang lebih tua.
Dalam sebuah diskusi di Masjid At-Taqwa, Denpasar Bali, ada peserta yang bertanya, “Bagaimana Islam menanggapi orang-orang yang melakukan ziarah ke makam para wali dengan tujuan mencari berkah?”
Di antara amal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah subhanahu wa ta’ala adalah ziarah makam para nabi atau para wali. Baik ziarah tersebut dilakukan dengan tujuan mengucapkan salam kepada mereka atau karena tujuan tabarruk (ngalap barokah) dengan berziarah ke makam mereka. Maksud tabarruk di sini adalah mencari barokah dari Allah subhanahu wa ta’ala dengan cara berziarah ke makam para wali.
Orang yang berziarah ke makam para wali dengan tujuan tabarruk, maka ziarah tersebut dapat mendekatkannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak menjauhkannya dari Allah subhanahu wa ta’ala. Orang yang berpendapat bahwa ziarah wali dengan tujuan tabarruk itu syirik, jelas keliru. Ia tidak punya dalil, baik dari al-Qur’an maupun dari hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Al-Hafidz Waliyyuddin al-’Iraqi berkata ketika menguraikan maksud hadits: “Sesungguhnya Nabi Musa As. berkata, “Ya Allah, dekatkanlah aku kepada tanah suci sejauh satu lemparan dengan batu.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Demi Allah, seandainya aku ada di sampingnya, tentu aku beritahu kalian letak makam Musa, yaitu di tepi jalan di sebelah bukit pasir merah.” Ketika menjelaskan maksud hadits tersebut, al-Hafidz al-’Iraqi berkata: “Hadits tersebut menjelaskan anjuran mengetahui makam orang-orang saleh untuk dizarahi dan dipenuhi haknya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah menyebutkan tanda-tanda makam Nabi Musa As. yaitu pada makam yang sekarang dikenal masyarakat sebagai makam beliau. Yang jelas, tempat tersebut adalah makam yang ditunjukkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam.” (Tharh at-Tatsrib, juz 3 halaman 303).
Pada dasarnya ziarah kubur itu sunnat dan ada pahalanya. Rasulullah Saw. bersabda: “Dulu aku melarang kamu ziarah kubur. Sekarang ziarahlah.” (HR. Muslim). Dalam satu riwayat, “Barangsiapa yang henda ziarah kubur maka ziarahlah, karena hal tersebut dapat mengingatkan kita pada akhirat.” (Riyadh ash-Shalihin bab 66).
Di sini mungkin ada yang bertanya, adakah dalil yang menunjukkan bolehnya ziarah kubur dengan tujuan tabarruk dan tawassul?
Sebagaimana dimaklumi, tabarruk itu punya makna keinginan mendapat berkah dari Allah subhanahu wa ta’ala dengan berziarah ke makam nabi atau wali. Kemudian para nabi itu meskipun telah pindah ke alam baka, namun pada hakekatnya mereka masih hidup. Dengan demikian, tidak mustahil apabila mereka merasakan datangnya orang yang ziarah, maka mereka akan mendoakan peziarah itu kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Rasulullah Saw. bersabda: “Para nabi itu hidup di alam kubur mereka seraya menunaikan shalat.” (HR. al-Baihaqi dalam Hayat al-Anbiya’).
Sebagai penegasan bahwa Nabi Saw. yang telah wafat, dapat mendoakan orang yang masih hidup, adalah hadits berikut ini: “Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Hidupku lebih baik bagi kalian. Kalian berbuat sesuatu, aku dapat menjelaskan hukumnya. Wafatku juga lebih baik bagi kalian. Apabila aku wafat, maka amal perbuatan kalian ditampakkan kepadaku. Apabila aku melihat amal baik kalian, aku akan memuji kepada Allah. Dan apabila aku melihat sebaliknya, maka aku memintakan ampun kalian kepada Allah.” (HR. al-Bazzar no. 1925).
Karena keyakinan bahwa para nabi itu masih hidup di alam kubur mereka, kaum salaf sejak generasi sahabat melakukan tabarruk dengan Nabi shallallahu alaihi wa sallam setelah beliau wafat. Hakekat bahwa para nabi dan orang saleh itu masih hidup di alam kubur, sehingga para peziarah dapat bertabarruk dan bertawassul dengan mereka, telah disebutkan oleh Syaikh Ibn Taimiyah berikut ini: “Tidak masuk dalam bagian ini (kemungkaran menurut ulama salaf) adalah apa yang diriwayatkan bahwa sebagian kaum mendengar jawaban salam dari makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam atau makam orang-orang saleh, juga Sa’id bin al-Musayyab mendengar adzan dari makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada malam-malam peristiwa al-Harrah dan sesamanya. Ini semuanya benar, dan bukan yang kami persoalkan. Persoalannya lebih besar dan lebih serius dari hal tersebut. Demikian pula bukan termasuk kemungkaran, adalah apa yang diriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang ke makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu mengadukan musim kemarau kepada beliau pada tahun ramadah (paceklik). Lalu orang tersebut bermimpi Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan menyuruhnya untuk mendatangi Umar bin al-Khaththab agar keluar melakukan istisqa’ dengan masyarakat. Ini bukan termasuk kemungkaran. Hal semacam ini banyak sekali terjadi dengan orang-orang yang kedudukannya di bawah Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dan aku sendiri banyak mengetahui peristiwa-peristiwa seperti ini.” (Syaikh Ibn Taimiyah, Iqtidha’ as-Shirath al-Mustaqim juz 1 halaman 373).
Kisah laki-laki yang datang ke makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam di atas, telah dijelaskan secara lengkap oleh al-Hafidz Ibn Katsir ad-Dimasyqi, murid terkemuka Syaikh Ibn Taimiyah, dalam kitabnya al-Bidayah wa an-Nihayah. Beliau berkata: “Al-Hafidz Abu Bakar al-Baihaqi berkata, Abu Nashr bin Qatadah dan Abu Bakar al-Farisi mengabarkan kepada kami, Abu Umar bin Mathar mengabarkan kepada kami, Ibrahim bin Ali adz-Dzuhli mengabarkan kepada kami, Yahya bin Yahya mengabarkan kepada kami, Abu Muawiyah mengabarkan kepada kami, dari al-A’masy, dari Abu Shalih, dari Malik ad-Dar, bendahara pangan Khalifah Umar bin al-Khaththab, bahwa musim paceklik melanda kaum Muslimin pada masa Khalifah Umar. Maka seorang sahabat (yaitu Bilal bin al-Harits al-Muzani) mendatangi makam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan mengatakan: “Hai Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Allah untuk umatmu karena sungguh mereka benar-benar telah binasa”. Kemudian orang ini bermimpi bertemu dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan beliau berkata kepadanya: “Sampaikan salamku kepada Umar dan beritahukan bahwa hujan akan turun untuk mereka, dan katakan kepadanya “bersungguh-sungguhlah melayani umat”. Kemudian sahabat tersebut datang kepada Umar dan memberitahukan apa yang dilakukannya dan mimpi yang dialaminya. Lalu Umar menangis dan mengatakan: “Ya Allah, saya akan kerahkan semua upayaku kecuali yang aku tidak mampu”. Sanad hadits ini shahih. (Al-Hafidz Ibn Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah juz 7 halaman 92, Jami’ al-Masanid juz 1 halaman 233, Ibn Katsir berkata: Sanadnya jayyid (baik). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibn Abi Khaitsamah, lihat al-Ishabah juz 3 halaman 484, al-Khalili dalam al-Irsyad juz 1 halaman 313, Ibn Abd al-Barr dalam al-Isti’ab juz 2 halaman 464 serta dishahihkan oleh al-Hafidz Ibn Hajar dalam Fath al-Bari juz 2 halaman 495).
Apabila hadits di atas kita cermati dengan seksama, maka akan kita pahami bahwa sahabat Bilal bin al-Harits al-Muzani radhiyallahu ‘anhu tersebut dating ke makam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan tujuan tabarruk, bukan tujuan mengucapkan salam. Kemudian ketika laki-laki itu melaporkan kepada Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhu, ternyata Umar radhiyallahu ‘anhu tidak menyalahkannya. Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhu juga tidak berkata kepada laki-laki itu, “Perbuatanmu ini syirik”, atau berkata, “Mengapa kamu pergi ke makam Rasul shallallahu alaihi wa sallam untuk tujuan tabarruk, sedangkan beliau telah wafat dan tidak bisa bermanfaat bagimu”.
Hal ini menjadi bukti bahwa bertabarruk dengan para nabi dan wali dengan berziarah ke makam mereka, itu telah dilakukan oleh kaum salaf sejak generasi sahabat, tabi’in dan penerusnya.



BAB II
ALLAH MAHA SUCI

Allah Ada tanpa Tempat
Keyakinan yang paling mendasar setiap muslim adalah meyakini bahwa Allah subhanahu wata‘ala Maha Sempurna dan Maha Suci dari segala kekurangan. Allah subhanahu wata‘ala Maha Suci dari menyerupai makhlukNya. Allah subhanahu wata‘ala juga Maha Suci dari tempat dan arah. Allah subhanahu wata‘ala ada tanpa tempat. Demikian keyakinan yang paling mendasar setiap muslim Ahlussunnah wal Jama’ah.
Dalam ilmu akidah atau teologi, keyakinan semacam ini dibahasakan, bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala memiliki sifat Mukhalafatuhu lil-Hawaditsi, yaitu Allah subhanahu wata‘ala wajib tidak menyerupai makhlukNya.
Ada sebuah dialog yang unik antara seorang muslim Sunni yang meyakini Allah subhanahu wata‘ala ada tanpa tempat, dengan seorang Wahhabi yang berkeyakinan bahwa Allah subhanahu wata‘ala bertempat.
Wahhabi berkata: “Kamu ada pada suatu tempat. Aku ada pada suatu tempat. Berarti setiap sesuatu yang ada, pasti ada tempatnya. Kalau kamu berkata, Allah ada tanpa tempat, berarti kamu berpendapat Allah tidak ada.”
Sunni menjawab: “Sekarang saya akan bertanya kepada Anda: “Bukankah Allah telah ada tanpa tempat sebelum diciptakannya tempat?”
Wahhabi menjawab: “Betul, Allah ada tanpa tempat sebelum terciptanya tempat.”
Sunni berkata: “Kalau memang wujudnya Allah tanpa tempat sebelum terciptanya tempat itu rasional, berarti rasional pula dikatakan, Allah ada tanpa tempat setelah terciptanya tempat. Mengatakan Allah ada tanpa tempat, tidak berarti menafikan wujudnya Allah.”
Wahhabi berkata: “Bagaimana seandainya saya berkata, Allah telah bertempat sebelum terciptanya tempat?”
Sunni menjawab: “Pernyataan Anda mengandung dua kemungkinan. Pertama, Anda mengatakan bahwa tempat itu bersifat azali (tidak ada permulaannya), keberadaannya bersama wujudnya Allah dan bukan termasuk makhluk Allah. Demikian ini berarti Anda mendustakan firman Allah subhanahu wata‘ala: “Allah-lah pencipta segala sesuatu.” (QS. az-Zumar ayat 62). Kemungkinan kedua, Anda berpendapat, bahwa Allah itu baru, yakni wujudnya Allah terjadi setelah adanya tempat, dengan demikian berarti Anda mendustakan firman Allah subhanahu wata‘ala: “Dialah (Allah) Yang Maha Awal (wujudnya tanpa permulaan) dan Yang Maha Akhir (Wujudnya tanpa akhir).” (QS. al-Hadid ayat 3).
Demikianlah dialog seorang muslim Sunni dengan orang Wahhabi. Pada dasarnya, pendapat Wahhabi yang meyakini bahwa wujudnya Allah subhanahu wata‘ala ada dengan tempat dapat menjerumuskan seseorang keluar dari keyakinan yang paling mendasar setiap muslim, yaitu Allah subhanahu wata‘ala Maha Suci dari segala kekurangan.
Tidak jarang, kaum Wahhabi menggunakan ayat-ayat al-Qur’an untuk membenarkan keyakinan mereka, bahwa Allah subhanahu wata‘ala bertempat di langit. Akan tetapi, dalil-dalil mereka dapat dengan mudah dipatahkan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang sama.


Ulama Maroko dan Wahhabi Tuna Netra
Al-Hafidz Ahmad bin Muhammad bin ash-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani adalah ulama ahli hadits yang terakhir menyandang gelar al-Hafidz (gelar kesarjanaan tertinggi dalam bidang ilmu hadits). Ia memiliki kisah perdebatan yang sangat menarik dengan kaum Wahhabi. Dalam kitabnya, Ju’nat al-’Aththar, sebuah autobiografi yang melaporkan perjalanan hidupnya, beliau mencatat kisah berikut ini:
“Pada tahun 1356 H ketika saya menunaikan ibadah haji, saya berkumpul dengan tiga orang ulama Wahhabi di rumah Syaikh Abdullah ash-Shani’ di Mekkah yang juga ulama Wahhabi dari Najd. Dalam pembicaraan itu, mereka menampilkan seolah-olah mereka ahli hadits, amaliahnya sesuai dengan hadits dan anti taklid. Tanpa terasa, pembicaraan pun masuk pada soal penetapan ketinggian tempat Allah subhanahu wata‘ala dan bahwa Allah subhanahu wata‘ala itu ada di atas ‘Arasy sesuai dengan ideologi Wahhabi. Mereka menyebutkan beberapa ayat al-Qur’an yang secara literal (dzahir) mengarah pada pengertian bahwa Allah subhanahu wata‘ala itu ada di atas ‘Arasy sesuai keyakinan mereka.
Akhirnya saya (al-Ghumari) berkata kepada mereka: “Apakah ayat-ayat yang Anda sebutkan tadi termasuk bagian dari al-Qur’an?”
Wahhabi menjawab: “Ya.”
Saya berkata: “Apakah meyakini apa yang menjadi maksud ayat-ayat tersebut dihukumi wajib?”
Wahhabi menjawab: “Ya.”
Saya berkata: “Bagaimana dengan firman Allah subhanahu wa ta‘ala: …………………….. Apakah ini termasuk al-Qur’an?”
Wahhabi tersebut menjawab: “Ya, termasuk al-Qur’an.”
Saya berkata: “Bagaimana dengan firman Allah subhanahu wata‘ala: “Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya….” (QS. al-Mujadilah ayat 7). Apakah ayat ini termasuk al-Qur’an juga?”
Wahhabi itu menjawab: “Ya, termasuk al-Qur’an.”
Saya berkata: “(Kedua ayat ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wata‘ala tidak ada di langit). Mengapa Anda menganggap ayat-ayat yang Anda sebutkan tadi yang menurut asumsi Anda menunjukkan bahwa Allah subhanahu wata‘ala ada di langit lebih utama untuk diyakini dari pada kedua ayat yang saya sebutkan yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wata‘ala tidak ada di langit? Padahal kesemuanya juga dari Allah subhanahu wata‘ala?”
Wahhabi itu menjawab: “Imam Ahmad mengatakan demikian.”
Saya berkata kepada mereka: “Mengapa kalian taklid kepada Ahmad dan tidak mengikuti dalil?”
Tiga ulama Wahhabi itu pun terbungkam. Tak satu kalimat pun keluar dari mulut mereka.
Sebenarnya saya menunggu jawaban mereka, bahwa ayat-ayat yang saya sebutkan tadi harus dita’wil, sementara ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wata‘ala ada di langit tidak boleh dita’wil.
Seandainya mereka menjawab demikian, tentu saja saya akan bertanya kepada mereka, siapa yang mewajibkan menta’wil ayat-ayat yang saya sebutkan dan melarang menta’wil ayat-ayat yang kalian sebutkan tadi?
Seandainya mereka mengklaim adanya ijma’ ulama yang mengharuskan menta’wil ayat-ayat yang saya sebutkan tadi, tentu saja saya akan menceritakan kepada mereka informasi beberapa ulama seperti al-Hafidz Ibn Hajar tentang ijma’ ulama salaf untuk tidak menta’wil semua ayat-ayat sifat dalam al-Qur’an, bahkan yang wajib harus mengikuti pendekatan tafwidh (menyerahkan pengertiannya kepada Allah subhanahu wata‘ala).”
Demikian kisah al-Imam al-Hafidz Ahmad bin ash-Shiddiq al-Ghumari dengan tiga ulama terhebat kaum Wahhabi.


Dialog Terbuka di Surabaya dan Blitar
Pada tahun 2009, saya pernah terlibat perdebatan sengit dengan seorang Ustadz Salafi berinisial AH di Surabaya. Beberapa bulan berikutnya saya berdebat lagi dengan Ustadz Salafi di Blitar. Ustadz tersebut berinisial AH pula, tetapi lain orang.
Dalam perdebatan tersebut saya bertanya kepada AH: “Mengapa Anda meyakini bahwa Allah subhanahu wata‘ala ada di langit?”
Menanggapi pertanyaan saya, AH menyebutkan ayat-ayat al-Qur’an yang menurut asumsinya menunjukkan bahwa Allah subhanahu wata‘ala ada di langit.
Lalu saya berkata: “Ayat-ayat yang Anda sebutkan tidak secara tegas menunjukkan bahwa Allah ada di langit. Karena kosa kata istawa, menurut para ulama memiliki 15 makna. Disamping itu, apabila Anda berargumentasi dengan ayat-ayat tersebut, maka argumen Anda dapat dipatahkan dengan ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wata‘ala tidak ada di langit. Misalnya Allah subhanahu wa ta‘ala berfirman: “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS. al-Hadid ayat 4). Ayat ini menegaskan bahwa Allah subhanahu wata‘ala bersama kita di bumi, bukan ada di langit. Dalam ayat lain Allah subhanahu wa ta‘ala berfirman: “Dan Ibrahim berkata, “Sesungguhnya aku pergi menuju Tuhanku (Palestina), yang akan memberiku petunjuk.” (QS. ash-Shaffat ayat 99). Dalam ayat ini, Nabi Ibrahim alaihissalam berkata akan pergi menuju Tuhannya, padahal Nabi Ibrahim alaihissalam pergi ke Palestina. Dengan demikian, secara literal ayat ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala bukan ada di langit, tetapi ada di Palestina.”
Setelah saya berkata demikian, AH tidak mampu menjawab akan tetapi mengajukan dalil lain dan berkata: “Keyakinan bahwa Allah subhanahu wata‘ala ada di langit telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada seorang budak perempuan yang berkulit hitam: “Allah ada di mana?” Lalu budak itu menjawab: “Allah ada di langit.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya; “Saya siapa?” Ia menjawab: “Engkau Rasul Allah.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada majikan budak itu, “Merdekakanlah budak ini. Karena ia seorang budak yang mukmin.” (HR. Muslim).”
Setelah AH berkata demikian, saya menjawab begini: “Ada tiga tinjauan berkaitan dengan hadits yang Anda sebutkan.”
Pertama, dari aspek kritisisme ilmu hadits (naqd al-hadits). Hadits yang Anda sebutkan menurut para ulama tergolong hadits mudhtharib (hadits yang simpang-siur periwayatannya), sehingga kedudukannya menjadi lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah. Kesimpangsiuran periwayatan hadits tersebut, dapat dilihat dari perbedaan setiap perawi dalam meriwayatkan hadits tersebut. Ada yang meriwayatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak bertanya di mana Allah subhanahu wa ta‘ala. Akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, apakah kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah.
Kedua, dari segi makna, para ulama melakukan ta’wil terhadap hadits tersebut dengan mengatakan, bahwa yang ditanyakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebenarnya adalah bukan tempat, tetapi kedudukan atau derajat Allah subhanahu wata‘ala.”
Lalu orang tersebut menjawab kedudukan Allah subhanahu wata‘ala ada di langit, maksudnya Allah subhanahu wa ta‘ala itu Maha Luhur dan Maha Tinggi.
Ketiga, apabila Anda berargumen dengan hadits tersebut tentang keyakinan Allah subhanahu wata‘ala ada di langit, maka argumen Anda dapat dipatahkan dengan hadits lain yang lebih kuat dan menegaskan bahwa Allah subhanahu wata‘ala tidak ada di langit, bahkan ada di bumi. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya: “Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat dahak di arah kiblat, lalu beliau menggosoknya dengan tangannya, dan beliau kelihatannya tidak menyukai hal itu. Lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya apabila salah seorang kalian berdiri dalam shalat, maka ia sesungguhnya berbincang-bincang dengan Tuhannya, atau Tuhannya ada di antara dirinya dan kiblatnya. Oleh karena itu, janganlah ia meludah ke arah kiblatnya, akan tetapi meludahlah ke arah kiri atau di bawah telapak kakinya.” (HR. al-Bukhari no. 405).
Hadits ini menegaskan bahwa Allah subhanahu wata‘ala ada di depan orang yang sedang shalat, bukan ada di langit. Hadits ini jelas lebih kuat dari hadits riwayat Muslim, karena hadits ini riwayat al-Bukhari. Setelah saya menjawab demikian, AH juga tidak mampu menanggapi jawaban saya. Sepertinya dia merasa kewalahan dan tidak mampu menjawab. Ia justru mengajukan dalil lain dengan berkata: “Keyakinan bahwa Allah ada di langit itu ijma’ ulama salaf.”
Lalu saya jawab: “Tadi Anda mengatakan bahwa dalil keyakinan Allah ada di langit, adalah ayat al-Qur’an. Kemudian setelah argumen Anda kami patahkan, Anda beragumen dengan hadits. Lalu setelah argumen Anda kami patahkan lagi, Anda sekarang berdalil dengan ijma’. Padahal ijma’ ulama salaf sejak generasi sahabat justru meyakini Allah subhanahu wa ta‘ala tidak bertempat. Al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi berkata dalam al-Farqu Bayna al-Firaq: “Kaum Muslimin sejak generasi salaf (para sahabat dan tabi’in) telah bersepakat bahwa Allah tidak bertempat dan tidak dilalui oleh waktu.” (al-Farq bayna al-Firaq halaman 256). Al-Imam Abu Ja’far ath-Thahawi juga berkata dalam al-’Aqidah ath-Thahawiyyah, risalah kecil yang menjadi kajian kaum Sunni dan Wahhabi: “Allah subhanahu wa ta‘ala tidak dibatasi oleh arah yang enam.”
Setelah saya menjawab demikian kepada AH, saya bertanya kepada AH: “Menurut Anda, tempat itu makhluk apa bukan?”
AH menjawab: “Makhluk.”
Saya bertanya: “Kalau tempat itu makhluk, lalu sebelum terciptanya tempat, Allah ada di mana?”
AH menjawab: “Pertanyaan ini tidak boleh, dan termasuk pertanyaan yang bid’ah.”
Demikian jawaban AH, yang menimbulkan tawa para hadirin dari semua kalangan pada waktu itu. Kebetulan pada acara tersebut, mayoritas hadirin terdiri dari kalangan Salafi, anggota jamaah AH.
Demikianlah, cara dialog orang-orang Wahhabi. Ketika mereka tidak dapat menjawab pertanyaan, mereka tidak akan menjawab “Aku tidak tahu” sebagaimana tradisi ulama salaf dulu. Akan tetapi mereka akan menjawab “Pertanyaanmu bid’ah dan tidak boleh.” AH sepertinya tidak mengetahui bahwa pertanyaan Allah subhanahu wa ta‘ala ada di mana sebelum terciptanyan alam, telah ditanyakan oleh para sahabat kepada Nabi Saw., dan Nabi Saw. tidak berkata kepada mereka, bahwa pertanyaan tersebut bid’ah atau tidak boleh.
Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya: “Imran bin Hushain Ra. berkata: “Aku berada bersama Nabi Saw., tiba-tiba datang sekelompok dari penduduk Yaman dan berkata: “Kami datang untuk belajar agama dan menanyakan tentang permulaan yang ada ini, bagaimana sesungguhnya?” Rasulullah Saw. menjawab: “Allah telah ada dan tidak ada sesuatu apapun selain Allah.” (HR. al-Bukhari no. 3191).
Hadits ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wata‘ala tidak bertempat. Allah subhanahu wata‘ala ada sebelum adanya makhluk, termasuk tempat. Al-Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang hasan dalam as-Sunan berikut ini: “Abi Razin Ra. berkata: “Aku berkata, wahai Rasulullah, di manakah Tuhan kita sebelum menciptakan makhlukNya?” Rasulullah Saw. menjawab: “Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertainya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada sesuatu. Lalu Allah menciptakan ‘Arsy di atas air.” Ahmad bin Mani’ berkata, bahwa Yazid bin Harun berkata, maksud hadits tersebut, Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertai (termasuk tempat). At-Tirmidzi berkata: “hadits ini bernilai hasan”. (Sunan at-Tirmidzi no. 3109).
Dalam setiap dialog yang terjadi antara Muslim Sunni dengan kaum Wahhabi, pasti kaum Sunni mudah sekali mematahkan argumen Wahhabi. Ketika Wahhabi mengajukan argumen dari ayat al-Qur’an, maka dengan mudahnya dipatahkan dengan ayat al-Qur’an yang lain. Ketika Wahhabi mengajukan argumen dengan hadits Nabi Saw., pasti kaum Sunni dengan mudahnya mematahkan argumen tersebut dengan hadits yang lebih kuat. Dan ketika Sunni berargumen dengan dalil rasional, pasti Wahhabi tidak dapat membantah dan menjawabnya. Keyakinan bahwa Allah subhanahu wata‘ala ada tanpa tempat adalah keyakinan kaum Muslimin sejak generasi salaf, kalangan sahabat dan tabi’in. Sayyidina Ali bin Abi Thalib Ra. berkata: “Allah subhanahu wata‘ala ada sebelum adanya tempat. Dan keberadaan Allah sekarang, sama seperti sebelum adanya tempat (maksudnya Allah tidak bertempat).” (al-Farq baina al-Firaq halaman 256).

Syaikh asy-Syanqithi dan Wahhabi Tuna Netra
Ketika orang-orang Wahhabi memasuki Hijaz dan membantai kaum Muslimin dengan alasan bahwa mereka telah syirik, sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Nabi Saw. dalam sabdanya, “Orang-orang Khawarij akan membunuh orang-orang yang beriman dan membiarkan para penyembah berhala.”
Mereka juga membunuh seorang ulama terkemuka. Mereka menyembelih Syaikh Abdullah az-Zawawi, guru para ulama madzhab asy-Syafi’i, sebagaimana layaknya menyembelih kambing. Padahal usia beliau sudah di atas 90 tahun. Mertua Syaikh az-Zawawi yang juga sudah memasuki usia senja juga mereka sembelih. Kemudian mereka memanggil sisa-sisa ulama yang belum dibunuh untuk diajak berdebat tentang tauhid, Asma Allah subhanahu wata‘ala dan sifat-sifatNya. Ulama yang setuju dengan pendapat mereka akan dibebaskan. Sedangkan ulama yang membantah pendapat mereka akan dibunuh atau dideportasi dari Hijaz.
Diantara ulama yang diajak berdebat oleh mereka adalah Syaikh Abdullah asy-Syanqithi, salah seorang ulama kharismatik yang dikenal hafal Sirah Nabi Saw. Sedangkan dari pihak Wahhabi yang mendebatnya, diantaranya seorang ulama mereka yang buta mata dan buta hati. Kebetulan perdebatan berkisar tentang teks-teks al-Qur’an dan hadits yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah subhanahu wata‘ala. Mereka bersikeras bahwa teks-teks tersebut harus diartikan secara literal dan tekstual, dan tidak boleh diartikan secara kontekstual dan majazi.
Si tuna netra itu juga mengingkari adanya majaz dalam al-Qur’an. Bahkan lebih jauh lagi, ia menafikan majaz dalam bahasa Arab, karena taklid buta kepada pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim.
Lalu Syaikh Abdullah asy-Syanqithi berkata kepada si tuna netra itu: “Apabila Anda berpendapat bahwa majaz itu tidak ada dalam al-Qur’an, maka sesungguhnya Allah subhanahu wata‘ala telah berfirman dalam al-Qur’an: “Dan barangsiapa yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS. al-Isra’ ayat 72). Berdasarkan ayat di atas, apakah Anda berpendapat bahwa setiap orang yang tuna netra di dunia, maka di akhirat nanti akan menjadi lebih buta dan lebih tersesat, sesuai dengan pendapat Anda bahwa dalam al-Qur’an tidak ada majaz?”
Mendengar sanggahan Syaikh asy-Syanqithi, ulama Wahhabi yang tuna netra itu pun tidak mampu menjawab. Ia hanya berteriak dan memerintahkan anak buahnya agar Syaikh asy-Syanqithi dikeluarkan dari majlis perdebatan. Kemudian si tuna netra itu meminta kepada Ibn Saud agar mendeportasi asy-Syanqithi dari Hijaz. Akhirnya ia pun dideportasi ke Mesir. Kisah ini dituturkan oleh al-Hafidz Ahmad al-Ghumari dalam kitabnya, Ju’nat al-’Aththar.

Al-Imam al-Bukhari dan Ta’wil
Kalau kita mengamati dengan seksama, perdebatan orang-orang Wahhabi dengan para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah, akan mudah kita simpulkan, bahwa kaum Wahhabi seringkali mengeluarkan vonis hukum tanpa memiliki dasar ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Bahkan tidak jarang, pernyataan mereka dapat menjadi senjata untuk memukul balik pandangan mereka sendiri.
Ustadz Syafi’i Umar Lubis dari Medan bercerita kepada saya: “Ada sebuah pesantren di kota Siantar, Siamlungun, Sumatera Utara. Pesantren itu bernama Pondok Pesantren Darus Salam. Setiap tahun, Pondok tersebut mengadakan Maulid Nabi Saw. dengan mengundang sejumlah ulama dari berbagai daerah termasuk Medan dan Aceh. Acara puncak biasanya ditaruh pada siang hari. Malam harinya diisi dengan diskusi. Pada Maulid Nabi Saw. tahun 2010 ini saya dan beberapa orang ustadz diminta sebagai pembicara dalam acara diskusi. Kebetulan diskusi kali ini membahas tentang Salafi apa dan mengapa, dengan judul Ada Apa Dengan Salafi? Setelah presentasi tentang aliran Salafi selesai, lalu tibalah sesi tanya jawab. Ternyata dalam sesi tanya jawab ini ada orang yang berpakaian gamis mengajukan keberatan dengan pernyataan saya dalam memberikan keterangan tentang Salafi, antara lain berkaitan dengan ta’wil.
Orang Salafi tersebut mengatakan: “Al-Qur’an itu diturunkan dengan bahasa Arab. Sudah barang tentu harus kita fahami sesuai dengan bahasa Arab pula”.
Pernyataan orang Salafi itu, saya dengarkan dengan cermat. Kemudian dia melanjutkan keberatannya dengan berkata: “Ayat-ayat al-Qur’an itu tidak perlu dita’wil dan ini pendapat Ahlussunnah”.
Setelah diselidiki, ternyata pemuda Salafi itu bernama Sofyan. Ia berprofesi sebagai guru di lembaga As-Sunnah, sebuah lembaga pendidikan orang-orang Wahhabi atau Salafi. Mendengar pernyataan Sofyan yang terakhir, saya bertanya: “Apakah Anda yakin bahwa al-Imam al-Bukhari itu ahli hadits?”
Sofyan menjawab: “Ya, tidak diragukan lagi, beliau seorang ahli hadits.”
Saya bertanya: “Apakah al-Bukhari penganut faham Ahlussunnah wal Jama’ah?”
Sofyan menjawab: “Ya.”
Saya berkata: “Apakah al-Albani seorang ahli hadits?”
Sofyan menjawab: “Ya, dengan karya-karya yang sangat banyak dalam bidang hadits, membuktikan bahwa beliau juga ahli hadits.”
Saya berkata: “Kalau benar al-Bukhari menganut Ahlussunnah, berarti al-Bukhari tidak melakukan ta’wil. Bukankah begitu keyakinan Anda?”
Sofyan menjawab: “Benar begitu.”
Saya berkata: “Saya akan membuktikan kepada Anda, bahwa al-Bukhari juga melakukan ta’wil.”
Sofyan berkata: “Mana buktinya?”
Mendengar pertanyaan Sofyan, saya langsung membuka Shahih al-Bukhari tentang ta’wil yang beliau lakukan dan memberikan photo copynya kepada anak muda itu. Saya berkata: “Anda lihat pada halaman ini, al-Imam al-Bukhari mengatakan: “Bab tentang ayat: Segala sesuatu akan hancur kecuali WajahNya, artinya KekuasaanNya.” Nah, kata WajahNya, oleh al-Imam al-Bukhari diartikan dengan mulkahu, artinya kekuasaanNya. Kalau begitu al-Imam al-Bukhari melakukan ta’wil terhadap ayat ini. Berarti, menurut logika Anda, al-Bukhari seorang yang sesat, bukan Ahlussunnah. Anda setuju bahwa al-Bukhari bukan Ahlussunnah dan pengikut aliran sesat?”.
Mendengar pertanyaan saya, Sofyan hanya terdiam. Sepatah katapun tidak terlontar dari lidahnya. Kemudian saya berkata: “Kalau begitu, sejak hari ini, sebaiknya Anda jangan memakai hadits al-Bukhari sebagai rujukan. Bahkan Syaikh al-Albani, orang yang saudara puji itu, dan orang-orang Salafi memujinya dan menganggapnya lebih hebat dari al-Imam al-Bukhari sendiri. Al-Albani telah mengkritik al-Imam al-Bukhari dengan kata-kata yang tidak pantas. Al-Albani berkata: “Pendapat al-Bukhari yang melakukan ta’wil terhadap ayat di atas ini tidak sepatutnya diucapkan oleh seorang Muslim yang beriman”. Inilah komentar Syaikh Anda, al-Albani tentang ta’wil al-Imam al-Bukhari ketika menta’wil ayat “Segala sesuatu akan hancur kecuali WajahNya”. Secara tidak langsung, seolah-olah al-Albani mengatakan bahwa ta’wilan al-Imam al-Bukhari tersebut pendapat orang kafir. Kemudian saya mengambil photo copy buku fatwa al-Albani dan saya serahkan kepada anak muda Salafi ini. Ia pun diam seribu bahasa.”
Demikian kisah yang dituturkan oleh Syafi’i Umar Lubis dari Medan, seorang ulama muda yang kharismatik dan bersemangat dalam membela Ahlussunnah wal Jama’ah.

Ta’wil Imam Ahmad bin Hanbal
Ta’wil tehadap teks-teks mutasyabihat telah dilakukan oleh para ulama salaf, diantaranya Imam Malik bin Anas, Imam Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain. Akan tetapi kaum Wahhabi seringkali mengingkari fakta-fakta tersebut dengan berbagai macam alasan yang tidak ilmiah dan selalu dibuat-buat.
Seorang teman saya, berinisial AD menceritakan pengalamannya ketika berdialog dengan AM, tokoh Wahhabi kelahiran Sumatera yang sekarang tinggal di Jember. AD bercerita begini:
“Sekitar bulan Maret tahun 2010 lalu, saya mengikuti suatu acara di Jakarta Selatan. Acara tersebut diadakan oleh salah satu ormas Islam di Indonesia. Dalam acara itu, ada seorang pemateri Wahhabi yang berasal dari Sumatera dan saat ini tinggal di Jember. Diantara materi yang disampaikannya adalah persoalan ta’wil. Dalam pandangannya, ta’wil atas ayat-ayat mutasyabihat tidak boleh dilakukan. Sehingga dengan asumsi demikian, ia meyakini bahwa Allah subhanahu wata‘ala itu bertempat atau berada di atas ‘Arsy. Dia menggunakan ayat “ar-Rahman ‘ala al-‘Arsy istawa” (QS. Thaha ayat 5). Lalu saya mengajukan beberapa ayat lain yang justru menunjukkan kalau Allah subhanahu wata‘ala tidak ada di atas ‘Arasy.
Akibatnya, terjadiah dialog sengit antara saya dengan Ustadz lulusan Madinah tersebut. Lalu setelah itu, saya membeberkan fakta dan data-data akurat bahwa tradisi ta’wil sudah biasa dilakukan oleh ulama salaf. Salah satunya adalah ta’wil yang dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal atas ayat “wa jaa-a rabbuka wal malaku shaffan-shaffan” (QS. al-Fajr ayat 22). Imam Ahmad mentakwil ayat tersebut dengan jaa-a tsawaabuhu waqhadha-uhu (datangnya pahala dan ketetapan Allah subhanahu wata‘ala).
Setelah itu, Ustadz Ali Musri mencari ta’wil Imam Ahmad tersebut di software Maktabah Syamilah. Setelah dia menemukannya, dia membacakan komentar Imam al-Baihaqi yang berbunyi hadza al-isnad la ghubara ‘alaih (sanad ini tidak ada nodanya alias bersih) yang menunjukkan bahwa sanadnya memang shahih.
Ternyata, aneh sekali, Ustadz tersebut tertawa dan menganggap bahwa komentar atau penilaian al-Baihaqi yang berupa redaksi hadza al-isnad la ghubara ’alaih tersebut sebagai shighat (redaksi) yang menunjukkan atas kelemahan suatu sanad. Saya juga heran, mengapa Ustadz lulusan Madinah tersebut tidak begitu memahami istilah-istilah yang biasa dipakai oleh para ahli hadits. Ia tidak mengerti bahwa pernyataan al-Baihaqi yang berbunyi hadza al-isnad la ghubara ’alaih bermakna bahwa sanad riwayat ini tidak ada nodanya sama sekali, alias shahih. Sayangnya, berhubung waktu yang disediakan oleh panitia dan moderator telah habis, saya tidak bisa membantah dan mengomentari kembali pernyataan pemateri itu.” Demikian kisah AD, kepada saya secara pribadi.


BAB III
BID’AH HASANAH

Bid’ah Hasanah dan Dalilnya
Bid’ah hasanah adalah persoalan yang tidak pernah selesai dibicarakan. Hal ini disamping karena banyak inovasi amaliah kaum Muslimin yang tercover dalam bingkai bid’ah hasanah, juga karena adanya kelompok minoritas umat Islam yang sangat kencang menyuarakan tidak adanya bid’ah hasanah dalam Islam.
Akhirnya kontroversi bid’ah hasanah ini selalu menjadi aktual untuk dikaji dan dibicarakan. Toh walaupun sebenarnya khilafiyah tentang pembagian bid’ah menjadi dua, antara bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, tidak perlu terjadi. Karena disamping dalil-dalil Sunnah Rasulullah Saw. Yang menunjukkan adanya bid’ah hasanah cukup banyak dan sangat kuat, juga karena konsep bid’ah hasanah telah diakui sejak generasi sahabat pada masa Khulafaur Rasyidin. Namun apa boleh dikata, kelompok yang anti bid’ah hasanah tidak pernah bosan dan lelah untuk membicarakannya.
Dalam sebuah diskusi dengan tema Membedah Kontroversi Bid’ah, yang diadakan oleh MPW Fahmi Tamami Provinsi Bali, di Denpasar, pada bulan Juli 2010, saya terlibat dialog cukup tajam dengan beberapa tokoh Salafi yang hadir dalam acara tersebut. Dalam acara itu, saya menjelaskan, bahwa pembagian bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, merupakan keharusan dan keniscayaan dari pengamalan sekian banyak hadits Rasulullah Saw. yang shahih dan terdapat dalam kitab-kitab hadits yang otoritatif (mu’tabar). Karena meskipun Rasulullah Saw. bersabda: “Sebaik-baik ucapan adalah kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Sejelek-jelek perkara, adalah perkara yang baru. Dan setiap bid’ah itu kesesatan.” (HR. Muslim no. 867).
Ternyata Rasulullah Saw. juga bersabda: “Barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan memperoleh pahalanya serta pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barangsiapa yang memulai perbuatan jelek dalam Islam, maka ia akan memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.” (HR. Muslim no. 1017).
Dalam hadits pertama, Rasulullah Saw. menegaskan, bahwa setiap bid’ah adalah sesat. Tetapi dalam hadits kedua, Rasulullah Saw. menegaskan pula, bahwa barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya. Dengan demikian, hadits kedua jelas membatasi jangkauan makna hadits pertama “kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat)” sebagaimana dikatakan oleh al-Imam an-Nawawi dan lain-lain. Karena dalam hadits kedua, Nabi Saw. menjelaskan dengan redaksi,  maksudnya baik perbuatan yang dimulai tersebut pernah dicontohkan dan pernah ada pada masa Nabi Saw., atau belum pernah dicontohkan dan belum pernah ada pada masa Nabi Saw.
Di sisi lain, Rasulullah Saw. Seringkali melegitimasi beragam bentuk inovasi amaliah para sahabat yang belum pernah diajarkan oleh beliau. Misalnya berkaitan dengan tatacara ma’mum masbuq dalam shalat berjamaah dalam hadits shahih berikut ini: “Abdurrahman bin Abi Laila berkata: “Pada masa Rasulullah Saw., bila seseorang datang terlambat beberapa rakaat mengikuti shalat berjamaah, maka orang-orang yang lebih dulu datang akan memberi isyarat kepadanya tentang rakaat yang telah dijalani, sehingga orang itu akan mengerjakan rakaat yang tertinggal itu terlebih dahulu, kemudian masuk ke dalam shalat berjamaah bersama mereka. Pada suatu hari Mu’adz bin Jabal datang terlambat, lalu orang-orang mengisyaratkan kepadanya tentang jumlah rakaat shalat yang telah dilaksanakan, akan tetapi Mu’adz langsung masuk dalam shalat berjamaah dan tidak menghiraukan isyarat mereka, namun setelah Rasulullah Saw. selesai shalat, maka Mu’adz segera mengganti rakaat yang tertinggal itu. Ternyata setelah Rasulullah Saw. selesai shalat, mereka melaporkan perbuatan Mu’adz bin Jabal yang berbeda dengan kebiasaan mereka. Lalu beliau Saw. menjawab: “Mu’adz telah memulai cara yang baik buat shalat kalian.” Dalam riwayat Mu’adz bin Jabal, beliau Saw. bersabda; “Mu’adz telah memulai cara yang baik buat shalat kalian. Begitulah cara shalat yang harus kalian kerjakan”. (HR. al-Imam Ahmad juz 5 halaman 233), Abu Dawud, Ibn Abi Syaibah dan lain-lain. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Hafidz Ibn Daqiq al-’Id dan al-Hafidz Ibn Hazm al-Andalusi).
Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat perkara baru dalam ibadah, seperti shalat atau lainnya, apabila sesuai dengan tuntunan syara’. Dalam hadits ini, Nabi Saw. tidak menegur Mu’adz dan tidak pula berkata, “Mengapa kamu membuat cara baru dalam shalat sebelum bertanya kepadaku?”, bahkan beliau membenarkannya, karena perbuatan Mu’adz sesuai dengan aturan shalat berjamaah, yaitu makmum harus mengikuti imam.
Dalam hadits lain diriwayatkan: “Rifa’ah bin Rafi’ Ra. berkata: “Suatu ketika kami shalat bersama Nabi Saw. Ketika beliau bangun dari ruku’, beliau berkata: “sami’allahu liman hamidah”. Lalu seorang laki-laki di belakangnya berkata: “rabbana walakalhamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fih”. Setelah selesai shalat, beliau bertanya: “Siapa yang membaca kalimat tadi?” Laki-laki itu menjawab: “Saya”. Beliau bersabda: “Aku telah melihat lebih 30 malaikat berebutan menulis pahalanya”. (HR. al-Bukhari no. 799).
Kedua sahabat di atas mengerjakan perkara baru yang belum pernah diterimanya dari Nabi Saw., yaitu menambah bacaan dzikir dalam i’tidal. Ternyata Nabi Saw. membenarkan perbuatan mereka, bahkan member kabar gembira tentang pahala yang mereka lakukan, karena perbuatan mereka sesuai dengan syara’, dimana dalam i’tidal itu tempat memuji kepada Allah. Oleh karena itu al-Imam al-Hafidz Ibn Hajar al-’Asqalani menyatakan dalam Fath al-Bari juz 2 halaman 267, bahwa hadits ini menjadi dalil bolehnya membuat dzikir baru dalam shalat, selama dzikir tersebut tidak menyalahi dzikir yang ma’tsur (datang dari Nabi Saw.), dan bolehnya mengeraskan suara dalam bacaan dzikir selama tidak mengganggu orang lain.
Seandainya hadits “kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat)”, bersifat umum tanpa pembatasan, tentu saja Rasulullah Saw. Akan melarang setiap bentuk inovasi dalam agama ketika beliau masih hidup.
Selanjutnya pembagian bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, juga dilakukan oleh para sahabat Nabi Saw., termasuk Khulafaur Rasyidin. Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya: “Abdurrahman bin Abd al-Qari berkata: “Suatu malam di bulan Ramadhan aku pergi ke masjid bersama Umar bin al-Khaththab. Ternyata orang-orang di masjid berpencar-pencar dalam sekian kelompok. Ada yang shalat sendirian. Ada juga yang shalat menjadi imam beberapa orang. Lalu Umar Ra. berkata: “Aku berpendapat, andaikan mereka aku kumpulkan dalam satu imam, tentu akan lebih baik”. Lalu beliau mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab. Malam berikutnya, aku ke masjid lagi bersama Umar bin al-Khaththab, dan mereka melaksanakan shalat bermakmum pada seorang imam. Menyaksikan hal itu, Umar berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Tetapi menunaikan shalat di akhir malam, lebih baik daripada di awal malam”. Pada waktu itu, orang-orang menunaikan tarawih di awal malam.” (HR. al-Bukhari no. 2010).
Rasulullah Saw. tidak pernah menganjurkan shalat Tarawih secara berjamaah. Beliau hanya melakukannya beberapa malam, kemudian meninggalkannya. Beliau tidak pernah pula melakukannya secara rutin setiap malam. Tidak pula mengumpulkan mereka untuk melakukannya. Demikian pula pada masa Khalifah Abu Bakar Ra. Kemudian Umar Ra. Mengumpulkan mereka untuk melakukan shalat Tarawih pada seorang imam dan menganjurkan mereka untuk melakukannya. Apa yang beliau lakukan ini tergolong bid’ah. Tetapi bid’ah hasanah, karena itu beliau mengatakan: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”.
Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya: “As-Sa’ib bin Yazid Ra. berkata: “Pada masa Rasulullah Saw., Abu Bakar dan Umar adzan Jum’at pertama dilakukan setelah imam duduk di atas mimbar. Kemudian pada masa Utsman Ra., dan masyarakat semakin banyak, maka beliau menambah adzan ketiga di atas Zaura’, yaitu nama tempat di Pasar Madinah.” (HR. al-Bukhari no. 916).
Pada masa Rasulullah Saw., Abu Bakar dan Umar adzan Jum’at dikumandangkan apabila imam telah duduk di atas mimbar. Pada masa Utsman, kota Madinah semakin luas, populasi penduduk semakin meningkat, sehingga mereka perlu mengetahui dekatnya waktu Jum’at sebelum imam hadir ke mimbar. Lalu Utsman menambah adzan pertama, yang dilakukan di Zaura’, tempat di Pasar Madinah, agar mereka segera berkumpul untuk menunaikan shalat Jum’at, sebelum imam hadir ke atas mimbar. Semua sahabat yang ada pada waktu itu menyetujuinya. Apa yang beliau lakukan ini termasuk bid’ah, tetapi bid’ah hasanah dan dilakukan hingga sekarang oleh kaum Muslimin. Benar pula menamainya dengan sunnah, karena Utsman termasuk Khulafaur Rasyidin yang sunnahnya harus diikuti berdasarkan hadits sebelumnya.
Selanjutnya, beragam inovasi dalam amaliah keagamaan juga dipraktekkan oleh para sahabat secara individu. Dalam kitab-kitab hadits diriwayatkan, beberapa sahabat seperti Umar bin al-Khaththab, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, al-Hasan bin Ali dan lain-lain menyusun doa talbiyahnya ketika menunaikan ibadah haji berbeda dengan redaksi talbiyah yang datang dari Nabi Saw. Para ulama ahli hadits seperti al-Hafidz al-Haitsami meriwayatkan dalam Majma’ az-Zawaid, bahwa Anas bin Malik dan al-Hasan al-Bashri melakukan shalat Qabliyah dan Ba’diyah shalat Idul Fitri dan Idul Adhha.
Berangkat dari sekian banyak hadits-hadits shahih di atas, serta perilaku para sahabat, para ulama akhirnya berkesimpulan bahwa bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Al-Imam asy-Syafi’i, seorang mujtahid pendiri madzhab asy-Syafi’i berkata: “Bid’ah (muhdatsat) ada dua macam; pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi al-Qur’an atau Sunnah atau Ijma’, dan itu disebut bid’ah dhalalah (tersesat). Kedua,sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela”. (Al-Baihaqi, Manaqib as-Syafi’i juz 1 halaman 469).
Pernyataan al-Imam asy-Syafi’i ini juga disetujui oleh Syaikh Ibn Taimiyah al-Harrani dalam kitabnya, Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah juz 20 halaman 163.
Setelah saya memaparkan penjelasan di atas, Ustadz Husni Abadi, pembicara yang mewakili kaum Salafi pada waktu itu, tidak mampu membantah dalil-dalil yang saya ajukan. Anehnya ia justru mengajukan dalil-dalil lain yang menurut asumsinya menunjukkan tidak adanya bid’ah hasanah.
Seharusnya dalam sebuah perdebatan, pihak penentang (mu’taridh) melakukan bantahan terhadap dalil-dalil yang diajukan oleh pihak lawan, sebagaimana diterangkan dalam ilmu Ushul Fiqih. Apabila pihak penentang tidak mampu mematahkan dalil-dalil pihak lawan, maka argumentasi pihak tersebut harus diakui benar dan shahih.
Ustadz Husni Abadi berkata: “Ustadz, dalam soal ibadah kita tidak boleh membuat-buat sendiri. Kita terikat dengan kaidah al-ashlu fi al-‘ibadah al-buthlan hatta yadulla ad-dalil ‘ala al-’amal, (hukum asal dalam sebuah ibadah adalah batal, sebelum ada dalil yang menunjukkan kebenaran mengamalkannya)”.
Mendengar pernyataan Ustadz Husni, saya menjawab: “Kaidah yang Anda sebutkan tidak dikenal dalam ilmu fiqih. Dan seandainya kaidah yang Anda sebutkan ada dalam ilmu fiqih, maka kaidah tersebut tidak menolak adanya bid’ah hasanah. Karena Anda tadi mengatakan, bahwa dalam soal ibadah tidak boleh membuat-buat sendiri. Maksud Anda tidak boleh membuat bid’ah hasanah. Lalu Anda berargumen dengan kaidah, hukum asal dalam sebuah ibadah adalah batal, sebelum ada dalil yang menunjukkan kebenaran mengamalkannya. Tadi sudah kami buktikan, bahwa bid’ah hasanah banyak sekali dalilnya. Berarti, kaidah Anda membenarkan mengamalkan bid’ah hasanah, karena dalilnya jelas.”
HA berkata: “Ustadz, dalam surat al-Maidah ayat 3 disebutkan: “Pada hari ini aku sempurnakan bagimu agamamu dan aku sempurnakan bagimu nikmatKu.” Ayat di atas menegaskan bahwa Islam telah sempurna. Dengan demikian, orang yang melakukan bid’ah hasanah berarti berasumsi bahwa Islam belum sempurna, sehingga masih perlu disempurnakan dengan bid’ah hasanah.”
Saya menjawab: “Ayat 3 dalam surat al-Maidah yang Anda sebutkan tidak berkaitan dengan bid’ah hasanah. Karena yang dimaksud dengan penyempurnaan agama dalam ayat tersebut, seperti dikatakan oleh para ulama tafsir, adalah bahwa Allah subhanahu wata’ala telah menyempurnakan kaidah-kaidah agama. Seandainya yang dimaksud dengan ayat tersebut, tidak boleh melakukan bid’ah hasanah, tentu saja para sahabat sepeninggal Rasulullah Saw. tidak akan melakukan bid’ah hasanah. Sayidina Abu Bakar menghimpun al-Qur’an, Sayyidina Umar menginstruksikan shalat Tarawih secara berjamaah, dan Sayyidina Utsman menambah adzan Jum’at menjadi dua kali, serta beragam bid’ah hasanah lainnya yang diterangkan dalam kitab-kitab hadits. Dalam hal ini tak seorang pun dari kalangan sahabat yang menolak hal-hal baru tersebut dengan alasan ayat 3 surat al-Maidah tadi. Jadi, ayat yang Anda sebutkan tidak ada kaitannya dengan bid’ah hasanah. Justru bid’ah hasanah masuk dalam kesempurnaan agama, karena dalil-dalilnya terdapat dalam sekian banyak hadits Rasul Saw. dan perilaku para sahabat.”
HA berkata: “Ustadz, hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali, tidak tepat dijadikan dalil bid’ah hasanah. Karena hadits tersebut jelas membicarakan sunnah Rasul Saw. Bukankah redaksinya berbunyi, man sanna fi al-Islaam sunnatan hasanatan. Disamping itu, hadits tersebut mempunyai latar belakang, yaitu anjuran sedekah. Dan sudah maklum bahwa sedekah memang ada tuntunannya dalam al-Qur’an dan Sunnah. Jadi hadits yang Ustadz jadikan dalil bid’ah hasanah tidak proporsional.”
Saya menjawab: “Untuk memahami hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut kita harus berpikir jernih dan teliti. Pertama, kita harus tahu bahwa yang dimaksud dengan sunnah dalam teks hadits tersebut adalah sunnah secara lughawi (bahasa). Secara bahasa, sunnah diartikan dengan ath-thariqah mardhiyyatan kanat au ghaira mardhiyyah (perilaku dan perbuatan, baik perbuatan yang diridhai ataupun tidak). Sunnah dalam teks hadits tersebut tidak bisa dimaksudkan dengan Sunnah dalam istilah ilmu hadits, yaitu maa jaa-a ‘aninnabiy shallallahu alaihi wa sallam min qaulin au fi’lin au taqrir (segala sesuatu yang datang dari Nabi Saw., baik berupa ucapan, perbuatan maupun pengakuan). Sunnah dengan definisi terminologis ahli hadits seperti ini, berkembang setelah abad kedua Hijriah. Seandainya, Sunnah dalam teks hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut dimaksudkan dengan Sunnah Rasul Saw. dalam terminologi ahli hadits, maka pengertian hadits tersebut akan menjadi kabur dan rancu. Coba kita amati, dalam teks hadits tersebut ada dua kalimat yang belawanan, pertama kalimat man sanna sunnatan hasanatan. Dan kedua, kalimat berikutnya yang berbunyi man sanna sunnatan sayyi’atan. Nah, kalau kosa kata Sunnah dalam teks hadits tersebut kita maksudkan pada Sunnah Rasul Saw. Dalam terminologi ahli hadits tadi, maka akan melahirkan sebuah pengertian bahwa Sunnah Rasul Saw. itu ada yang hasanah (baik) dan ada yang sayyi’ah (jelek). Tentu saja ini pengertian sangat keliru. Oleh karena itu, para ulama seperti al-Imam an-Nawawi menegaskan, bahwa hadits man sanna fi al-islam sunnatan hasanatan, membatasi jangkauan makna hadits kullu bid’atin dhalalah, karena makna haditsnya sangat jelas, tidak perlu disangsikan. Selanjutnya, alasan Anda bahwa konteks yang menjadi latar belakang (asbab al-wurud) hadits tersebut berkaitan dengan anjuran sedekah, maka alasan ini sangat lemah sekali. Bukankah dalam ilmu Ushul Fiqih telah kita kenal kaidah al-’ibrah bi ’umum al-lafdzi la bi khusush as-sabab, (peninjauan dalam makna suatu teks itu tergantung pada keumuman kalimat, bukan melihat pada konteksnya yang khusus).”
HA berkata: “Ustadz, menurut al-Imam Ibn Rajab, bid’ah hasanah itu tidak ada. Yang namanya bid’ah itu pasti sesat.”
Saya menjawab: “Maaf, Anda salah dalam mengutip pendapat al-Imam Ibn Rajab al-Hanbali. Justru al-Imam Ibn Rajab itu mengakui bid’ah hasanah. Hanya saja beliau tidak mau menamakan bid’ah hasanah dengan bid’ah, tetapi beliau namakan Sunnah. Jadi hanya perbedaan istilah saja. Sebagai bukti, bahwa Ibn Rajab menerima bid’ah hasanah, dalam kitabnya, Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam fi Syarth Khamsin Haditsan min Jamawi’ al-Kalim, beliau mengutip pernyataan al-Imam asy-Syafi’i yang membagi bid’ah menjadi dua. Dan seandainya al-Imam Ibn Rajab memang berpendapat seperti yang Anda katakan, kita tidak akan mengikuti beliau, tetapi kami akan mengikuti Rasulullah Saw. dan para sahabat yang mengakui adanya bid’ah hasanah.”
HA berkata: “Ustadz, dalil-dalil yang Anda ajukan dari Khulafaur Rasyidin, seperti dari Khalifah Umar, Utsman dan Ali, itu tidak bisa dijadikan dalil bid’ah hasanah. Karena mereka termasuk Khulafaur Rasyidin. Dan Rasulullah Saw. telah memerintahkan kita mengikuti Khulafaur Rasyidin, dalam hadits ‘alaikum bisunnati wa sunnatil khulafair rasyidin al-mahdiyyin (ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang memperoleh petunjuk). Dengan demikian, apa yang mereka lakukan sebenarnya termasuk Sunnah berdasarkan hadits ini.”
Saya menjawab: “Ustadz Husni yang saya hormati, menurut hemat kami sebenarnya yang tidak mengikuti Khulafaur Rasyidin itu orang yang menolak bid’ah hasanah seperti Anda. Karena Khulafaur Rasyidin sendiri melakukan bid’ah hasanah. Rasulullah Saw. memerintahkan kita mengikuti Khufaur Rasyidin. Sementara Khulafaur Rasyidin melakukan bid’ah hasanah. Berarti Rasulullah Saw. memerintahkan kita melakukan bid’ah hasanah. Dengan demikian kami yang berpendapat dengan adanya bid’ah hasanah itu sebenarnya mengikuti Rasulullah Saw. dan Khulafaur Rasyidin. Oleh karena itu, mari kita ikuti Rasulullah Saw. dan Khulafaur Rasyidin dengan melakukan bid’ah hasanah sebanyak-banyaknya.”
HA berkata: “Ustadz Idrus, kalau Anda mengatakan bahwa hadits kullu bid’atin dhalalah maknanya terbatas dengan artian bahwa sebagian bid’ah itu sesat, bukan semua bid’ah, lalu apakah Anda akan mengartikan teks berikutnya, yang berbunyi wa kullu dhalalatin finnar, dengan pengertian yang sama, bahwa sebagian kesesatan itu masuk neraka, bukan semuanya. Apakah Ustadz berani mengartikan demikian?”
Saya menjawab: “Ustadz Husni yang saya hormati, dalam mengartikan atau membatasi jangkauan makna suatu ayat atau hadits, kita tidak boleh mengikuti hawa nafsu. Akan tetapi kita harus mengikuti al-Qur’an dan Sunnah pula. Para ulama mengartikan teks hadits kullu bid’atin dhalalah dengan arti sebagian besar bid’ah itu sesat, karena ada sekian banyak hadits yang menuntut demikian. Sedangkan berkaitan teks berikutnya, wa kullu dhalalatin finnar (setiap kesesatan itu di neraka), di sini kami tegaskan, bahwa selama kami tidak menemukan dalil-dalil yang membatasi jangkauan maknanya, maka kami akan tetap berpegang pada keumumannya. Jadi makna seluruh atau sebagian dalam sebuah teks itu tergantung dalil. Yang namanya dalil, ya al-Qur’an dan Sunnah. Jadi membatasi jangkauan makna dalil, dengan dalil pula, bukan dengan hawa nafsu.”
Demikianlah dialog saya dengan Ustadz Husni Abadi, di Denpasar pada akhir Juli 2010 yang lalu.

Di Islamic Center Jakarta Utara
Ada kisah menarik berkaitan dengan bid’ah hasanah yang perlu diceritakan di sini. Kisah ini pengalaman pribadi Ali Rahmat, laki-laki gemuk yang sekarang tinggal di Jakarta Pusat. Beliau pernah kuliah di Syria setelah tamat dari Pondok Pesantren Assunniyah Kencong, Jember. Ali Rahmat bercerita:
“Pada pertengahan 2009, kaum Wahhabi mengadakan pengajian di Islamic Center Jakarta Utara. Tampil sebagai pembicara, Yazid Jawas dan Abdul Hakim Abdat, dua tokoh Wahhabi di Indonesia. Pada waktu itu, saya sengaja hadir bersama beberapa teman alumni Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan, antara lain Ustadz Abdussalam, Ustadz Abdul Hamid Umar dan Ustadz Mishbahul Munir. Ternyata, sejak awal acara, dua tokoh Wahhabi itu sangat agresif menyampaikan ajarannya tentang bid’ah. Setelah saya amati, Ustadz Yazid Jawas banyak berbicara tentang bid’ah. Menurut Yazid Jawas, bid’ah hasanah itu tidak ada. Semua bid’ah pasti sesat dan masuk neraka. Menurut Yazid Jawas, apapun yang tidak pernah ada pada masa Rasulullah Saw., harus ditinggalkan, karena termasuk bid’ah dan akan masuk neraka.
Di tengah-tengah presentasi tersebut saya bertanya kepada Yazid Jawas: “Anda sangat ekstrem dalam membicarakan bid’ah. Menurut Anda, apa saja yang belum pernah ada pada masa Rasulullah Saw. itu pasti bid’ah dan akan masuk neraka. Sekarang saya bertanya, Sayidina Umar bin al-Khaththab memulai tradisi shalat Tarawih 20 raka’at dengan berjamaah, Sayidina Utsman menambah adzan Jum’at menjadi dua kali, sahabat-sahabat yang lain juga banyak yang membuat susunan-susunan dzikir yang tidak diajarkan oleh Rasulullah Saw. Sekarang saya bertanya, beranikah Anda mengatakan bahwa Sayidina Umar, Sayidina Utsman dan sahabat lainnya termasuk ahli bid’ah dan akan masuk neraka?” Mendengar pertanyaan saya, Yazid Jawas hanya terdiam seribu bahasa, tidak bisa memberikan jawaban.
Setelah acara dialog selesai, saya menghampiri Yazid Jawas, dan saya katakana kepadanya: “Bagaimana kalau Anda kami ajak dialog dan debat secara terbuka dengan ulama kami. Apakah Anda siap?”
“Saya tidak siap.” Demikian jawab Yazid Jawas seperti diceritakan oleh Ali Rahmat kepada saya.
Kisah serupa terjadi juga di Jember pada akhir Desember 2009. Dalam daurah tentang Syi’ah yang diadakan oleh Perhimpunan Al-Irsyad di Jember, ada beberapa mahasiswa STAIN Jember yang mengikutinya. Ternyata dalam daurah tersebut, tidak hanya membicarakan Syi’ah. Tetapi juga membicarakan tentang bid’ah dan ujung-ujungnya membid’ah-bid’ahkan amaliah kaum Muslimin di Tanah Air yang telah mengakar sejak beberapa abad yang silam.
Diantara pematerinya ada yang bernama Abu Hamzah Agus Hasan Bashori, tokoh Salafi dari Malang. Dalam kesempatan tersebut, Agus menyampaikan bahwa bid’ah itu sesat semua. Yang namanya bid’ah hasanah itu tidak ada. Apa saja yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah Saw., harus kita tinggalkan, karena itu termasuk bid’ah dan akan masuk neraka. Demikian konsep yang dipaparkan oleh Agus.
Dalam sesi tanya jawab, salah seorang mahasiswa dari Jember tadi ada yang bertanya: “Kalau konsep bid’ah seperti yang Anda paparkan barusan, bahwa semua bid’ah itu sesat, tidak ada bid’ah hasanah, dan bahwa apa saja yang tidak ada pada masa Rasulullah Saw. harus kami tinggalkan, karena termasuk bid’ah. Sekarang bagaimana Anda menanggapi doa-doa yang disusun oleh para sahabat yang belum pernah diajarkan oleh Rasulullah Saw.? Bagaimana dengan doa al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam sujud ketika shalat selama 40 tahun yang berbunyi: “Ya Allah ampunilah aku, kedua orang tuaku dan Muhammad bin Idris asy-Syafi’i.” (Al-Hafidz al-Baihaqi, Manaqib al-Imam asy-Syafi’i juz 2 halaman 254). Doa seperti itu sudah pasti tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw., para sahabat dan tabi’in. Tetapi al-Imam Ahmad bin Hanbal melakukannya selama empat puluh tahun. Demikian pula Syaikh Ibn Taimiyah, setiap habis shalat shubuh, melakukan dzikir bersama, lalu membaca surat al-Fatihah berulang-ulang hingga Matahari naik ke atas, sambil mengangkat kepalanya menghadap langit. Nah, sekarang saya bertanya, menurut Anda, apakah para sahabat, al-Imam Ahmad bin Hanbal dan Syaikh Ibn Taimiyah termasuk ahli bid’ah, berdasarkan konsep bid’ah yang Anda paparkan tadi? Karena jelas sekali, mereka melakukan sesuatu yang belum pernah ada pada masa Rasulullah Saw.”
Mendengar pertanyaan tersebut Agus ternyata tidak mampu menjawab dan malah bercerita tentang bid’ah hasanah Ibn Taimiyyah secara pribadi. Kisah ini diceritakan oleh beberapa teman saya, antara lain Is dan AD yang mengikuti acara daurah tersebut.
Demikianlah, konsep anti bid’ah hasanah ala Wahhabi sangat lemah dan rapuh. Tidak mampu dipertahankan di arena diskusi ilmiah. Konsep anti bid’ah hasanah ala Wahhabi akan menemukan jalan buntu ketika dihadapkan dengan fakta bahwa Rasulullah Saw. melegitimasi amaliah-amaliah baru yang dilakukan oleh para sahabat. Konsep tersebut akan runtuh pula ketika dibenturkan dengan fakta bahwa para sahabat sepeninggal Rasulullah Saw. banyak melakukan inovasi kebaikan dalam agama sebagaimana diriwayatkan dalam kitab-kitab hadits yang otoritatif (mu’tabar).


BAB IV
OTORITAS ULAMA

Sumber Liberalisme
Pada tahun 2009, saya terlibat perdebatan sengit di Surabaya dengan seorang tokoh Salafi dari Malang, berinisial AH. Di bagian awal buku yang dipromosikannya pada waktu itu, ia menulis, bahwa madzhab al-Asy’ari merupakan sumber pemikiran liberal. Saya merasa heran dengan asumsi murahan AH yang mengatakan bahwa pemikiran liberal sumbernya dari madzhab al-Asy’ari. Logika dan paradigma apa yang dijadikan barometer untuk menilai madzhab al-Asy’ari sebagai sumber ajaran liberal. Seandainya ada seseorang berpendapat bahwa ajaran Islam itu sumber kejahatan pencurian dan perzinahan, karena ia melihat dalam kitab-kitab tafsir ada beberapa ayat yang turun berkaitan dengan sahabat Nabi Saw. yang mencuri dan berzina, apakah AH akan menerima logika berpikir seperti ini? Tentu saja dia tidak akan menerima.
Seandainya AH berkomunikasi terlebih dahulu dengan ulama-ulama Wahhabi yang menjadi gurunya di Saudi Arabia, mungkin ia tidak akan menulis tuduhan keji seperti itu. Karena para ulama Wahhabi sendiri mengakui, bahwa mayoritas ulama dari berbagai bidang, seperti ahli tafsir, ahli hadits, ahli fiqih, ahli sejarah, gramatika dan lain-lain mengikuti madzhab al-Asy’ari. AH sepertinya tidak pernah membaca sejarah bahwa para ulama yang berhasil membabat habis kelompok Mu’tazilah sampai punah pada akhir abad keenam Hijriah adalah para ulama pengikut madzhab al-Asy’ari.
Dalam sejarah pemikiran Islam, Mu’tazilah merupakan aliran yang dikenal paling tangguh dan hebat dalam arena dialog dan perdebatan. Mu’tazilah juga dikenal sebagai aliran yang mendahulukan akal daripada nash (teks) al-Qur’an dan Sunnah. Di tangan Mu’tazilah, teks-teks al-Qur’an dan hadits menjadi berkurang nilai sakralitasnya karena harus dikoreksi terlebih dahulu dengan perisai rasio dan nalar.
AH juga sepertinya tidak tahu sejarah, bahwa ilmu filsafat yang dianggap sebagai sumber pemikiran liberal dalam Islam, menjadi terkapar untuk selama-lamanya dari ranah intelektual kaum Muslimin setelah dibabat habis oleh Hujjatul Islam al-Ghazali dengan kitabnya Tahafut al-Falasifah. Dari sini layakkah AH menuduh madzhab al-Asy’ari sebagai sumber ajaran liberal? Bukankah lebih layak kalau dikatakan bahwa liberalisme sumbernya dari Wahhabi.
Sebagaimana dimaklumi, diantara ciri khas liberalisme, adalah upaya desakralisasi otoritas ulama. Ketika pendapat dan hasil ijtihad ulama diajukan kepada kaum liberal, maka dengan serta merta mereka akan menolaknya dengan alasan para ulama juga manusia biasa seperti halnya mereka. Kaum Wahhabi juga demikian, ketika pendapat dan hasil ijtihad ulama diajukan kepada mereka, maka sudah barang tentu mereka akan menolaknya, dengan bahasa yang terkadang lebih halus, “kita kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah”. Bahasa yang mengesankan bahwa hasil ijtihad ulama tidak mengikuti al-Qur’an dan Sunnah.
Memang tidak aneh kalau orang Wahhabi seperti AH menuduh madzhab al-Asy’ari sebagai sumber ajaran liberal. Bukankah pendiri aliran Wahhabi sendiri, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi telah mengatakan bahwa kitab-kitab fiqih merupakan sumber ajaran syirik.
Dalam kitab ad-Durar as-Saniyyah fi al-Ajwibah an-Najdiyyah (kumpulan fatwa-fatwa ulama Wahhabi sejak Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, sang pendiri aliran Wahhabi), yang dihimpun oleh Syaikh Abdurrahman bin Muhammad an-Najdi al-Wahhabi, juz 3 halaman 59, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengeluarkan statemen yang cukup ekstrem bahwa ilmu fiqih merupakan sumber kesyirikan. Sedangkan para ulama fuqaha yang menulis kitab-kitab fiqih, ia samakan dengan syetan-syetan manusia dan jin. Astaghfirullah.

Tidak Perlu Mengikuti Ulama
Kejadian itu agak mirip dengan kejadian berikutnya. Suatu ketika, saya mengisi pengajian di daerah Kesiman Denpasar Timur Bali. Setelah saya memaparkan tentang dalil-dalil bid’ah hasanah dari al-Qur’an dan hadits, lalu saya mengutip pendapat para ulama sejak Khulafaur Rasyidin yang mengakui dan mengamalkan bid’ah hasanah, tiba-tiba seorang Wahhabi angkat bicara dengan nada emosi. Ia berkata begini: “Kita tidak perlu mengikuti imam ini maupun imam itu. Kita kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah saja, titik. Setelah Rasulullah Saw. tidak ada orang yang perlu kita ikuti.” Demikian perkataan orang Wahhabi tersebut dengan suara berapi-api dan nada suara tinggi.
Orang Wahhabi ini sepertinya tidak tahu, bahwa yang memberikan otoritas kepada ulama agar diikuti oleh umat Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah. Ketika kita mengikuti ulama, itu bukan berarti kita meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah. Akan tetapi kita justru mengikuti al-Qur’an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman para ulama yang lebih mengerti dari pada kita. Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam al-Qur’an al-Karim: “Bertanyalah kamu kepada para ulama apabila kamu tidak tahu.” (QS. an-Nahl ayat 43 dan al-Anbiya’ ayat 7).
Dalam ayat di atas, al-Qur’an memerintahkan kita agar bertanya kepada para ulama ketika kita tidak tahu. Al-Qur’an tidak memerintahkan kita membuka-buka lembaran-lembaran al-Qur’an dan kitab-kitab hadits ketika kita tidak tahu.
Dalam ayat lain, Allah subhanahu wata’ala juga berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya) dan Ulil Amri di antara kamu.” (QS. an-Nisa’ ayat 59).
Dalam ayat di atas, al-Qur’an menuntun kita agar mengikuti Ulil Amri. Yang dimaksud dengan Ulil Amri dalam ayat tersebut adalah para ulama yang mendalam ilmunya.
Dalam hadits shahih, Rasulullah Saw. bersabda: “Semoga Allah membuat elok pada orang yang mendengar sabdaku, lalu ia mengingatnya, kemudian menyampaikannya seperti yang pernah didengarnya. Karena tidak sedikit orang yang menyampaikan suatu hadits dariku tidak dapat memahaminya.” Dalam riwayat lain dikatakan: “Tidak sedikit orang yang memperoleh suatu hadits dari seseorang lebih memahami daripada orang yang mendengar hadits itu secara langsung dariku.” (HR. at-Tirmidzi no. 2580, 2581 dan 2583, Abu Dawud no. 3175, Ibn Majah no. 226 dan lain-lain).
Hadits tersebut menunjukkan bahwa di antara para sahabat Rasul Saw. yang mendengar hadits dari beliau secara langsung, ada yang kurang memahami terhadap makna-makna yang dikandung oleh hadits tersebut. Namun kemudian ia menyampaikan hadits itu kepada murid-muridnya yang terkadang lebih memahami terhadap kandungan maknanya. Pemahaman lebih, terhadap kandungan hadits tersebut menyangkut penggalian hukum-hukum dan masalahmasalah yang nantinya disebut dengan proses istinbath atau ijtihad.
Dari sini dapat dipahami, bahwa di antara para sahabat Nabi Saw. Ada yang kurang mengerti terhadap maksud suatu hadits daripada murid-murid mereka. Dan murid-murid mereka yang memiliki pemahaman lebih terhadap hadits tadi disebut dengan mujtahid. Mujtahid inilah yang menjadi focus pembicaraan dalam hadits shahih berikut ini: “Apabila seorang hakim melakukan ijtihad, lalu ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala. Dan apabila melakukan ijtihad, lalu ijtihadnya keliru, maka ia memperoleh satu pahala.” (HR. al-Bukhari no. 6805).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak semua sahabat Nabi
Saw. yang memiliki penguasaan mendalam terhadap susunan bahasa Arab mampu mengeluarkan fatwa. Dan kesimpulan ini akan semakin kelihatan dengan jelas, apabila kita perhatikan kitab-kitab mushthalah al-hadits yang disusun oleh para hafidz (gelar kesarjanaan tertinggi dalam bidang studi ilmu hadits), di sana akan kita dapati bahwa para mufti dari kalangan sahabat Nabi Saw. tidak sampai sepuluh orang. Ada yang mengatakan hanya enam orang. Tetapi sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa sekitar dua ratus orang sahabat Nabi Saw. telah mencapai derajat mujtahid.

Dialog Syaikh Al-Buthi dan Syaikh Al-Albani
Ada sebuah perdebatan yang menarik tentang ijtihad dan taqlid, antara Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, seorang ulama Ahlussunnah wal Jama’ah di Syria, bersama Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, seorang tokoh Wahhabi dari Yordania.
Syaikh al-Buthi bertanya: “Bagaimana cara Anda memahami hukum-hukum Allah, apakah Anda mengambilnya secara langsung dari al-Qur’an dan Sunnah, atau melalui hasil ijtihad para imam-imam mujtahid?”
Al-Albani menjawab: “Aku membandingkan antara pendapat semua imam mujtahid serta dalil-dalil mereka lalu aku ambil yang paling dekat terhadap al-Qur’an dan Sunnah.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Seandainya Anda punya uang 5000 Lira. Uang itu Anda simpan selama enam bulan. Kemudian uang itu Anda belikan barang untuk diperdagangkan, maka sejak kapan barang itu Anda keluarkan zakatnya. Apakah setelah enam bulan berikutnya, atau menunggu setahun lagi?”
Al-Albani menjawab: “Maksud pertanyaannya, kamu menetapkan bahwa harta dagang itu ada zakatnya?”
Syaikh al-Buthi berkata: “Saya hanya bertanya. Yang saya inginkan, Anda menjawab dengan cara Anda sendiri. Di sini kami sediakan kitab-kitab tafsir, hadits dan fiqih, silahkan Anda telaah.”
Al-Albani menjawab: “Hai saudaraku, ini masalah agama. Bukan persoalan mudah yang bisa dijawab dengan seenaknya. Kami masih perlu mengkaji dan meneliti. Kami datang ke sini untuk membahas masalah lain”.
Mendengar jawaban tersebut, Syaikh al-Buthi beralih pada pertanyaan lain: “Baik kalau memang begitu. Sekarang saya bertanya, apakah setiap Muslim harus atau wajib membandingkan dan meneliti dalil-dalil para imam mujtahid, kemudian mengambil pendapat yang paling sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah?”
Al-Albani menjawab: “Ya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Maksud jawaban Anda, semua orang memiliki kemampuan berijtihad seperti yang dimiliki oleh para imam madzhab? Bahkan kemampuan semua orang lebih sempurna dan melebihi kemampuan ijtihad para imam madzhab. Karena secara logika, seseorang yang mampu menghakimi pendapat-pendapat para imam madzhab dengan barometer al-Qur’an dan Sunnah, jelas ia lebih alim dari mereka.”
Al-Albani menjawab: “Sebenarnya manusia itu terbagi menjadi tiga, yaitu muqallid (orang yang taklid), muttabi’ (orang yang mengikuti) dan mujtahid. Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab yang ada dan memilih yang lebih dekat pada al-Qur’an adalah muttabi’. Jadi muttabi’ itu derajat tengah, antara taklid dan ijtihad.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa kewajiban muqallid?”
Al-Albani menjawab: “Ia wajib mengikuti para mujtahid yang bisa diikutinya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Apakah ia berdosa kalau seumpama mengikuti seorang mujtahid saja dan tidak pernah berpindah ke mujtahid lain?”
Al-Albani menjawab: “Ya, ia berdosa dan haram hukumnya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa dalil yang mengharamkannya?”
Al-Albani menjawab: “Dalilnya, ia mewajibkan pada dirinya, sesuatu yang tidak diwajibkan Allah padanya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Dalam membaca al-Qur’an, Anda mengikuti qira’ahnya siapa di antara qira’ah yang tujuh?”
Al-Albani menjawab: “Qira’ah Hafsh.”
Al-Buthi bertanya: “Apakah Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja? Atau setiap hari, Anda mengikuti qira’ah yang berbeda-beda?”
Al-Albani menjawab: “Tidak. Saya hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Mengapa Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja, padahal Allah subhanahu wata’ala tidak mewajibkan Anda mengikuti qira’ah Hafsh. Kewajiban Anda justru membaca al-Qur’an sesuai riwayat yang dating dari Nabi Saw. secara mutawatir.”
Al-Albani menjawab: “Saya tidak sempat mempelajari qira’ah-qira’ah yang lain. Saya kesulitan membaca al-Qur’an dengan selain qira’ah Hafsh.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Orang yang mempelajari fiqih madzhab asy-Syafi’i, juga tidak sempat mempelajari madzhab-madzhab yang lain. Ia juga tidak mudah memahami hukum-hukum agamanya kecuali mempelajari fiqihnya Imam asy-Syafi’i. Apabila Anda mengharuskannya mengetahui semua ijtihad para imam, maka Anda sendiri harus pula mempelajari semua qira’ah, sehingga Anda membaca al-Qur’an dengan semua qira’ah itu. Kalau Anda beralasan tidak mampu melakukannya, maka Anda harus menerima alasan ketidakmampuan muqallid dalam masalah ini. Bagaimanapun, kami sekarang bertanya kepada Anda, dari mana Anda berpendapat bahwa seorang muqallid harus berpindah-pindah dari satu madzhab ke madzhab lain, padahal Allah tidak mewajibkannya. Maksudnya sebagaimana ia tidak wajib menetap pada satu madzhab saja, ia juga tidak wajib berpindah-pindah terus dari satu madzhab ke madzhab lain?”
Al-Albani menjawab: “Sebenarnya yang diharamkan bagi muqallid itu menetapi satu madzhab dengan keyakinan bahwa Allah memerintahkan demikian.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Jawaban Anda ini persoalan lain. Dan memang benar demikian. Akan tetapi, pertanyaan saya, apakah seorang muqallid itu berdosa jika menetapi satu mujtahid saja, padahal ia tahu bahwa Allah tidak mewajibkan demikian?”
Al-Albani menjawab: “Tidak berdosa.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Tetapi isi buku yang Anda ajarkan, berbeda dengan yang Anda katakan. Dalam buku tersebut disebutkan, menetapi satu madzhab saja itu hukumnya haram. Bahkan dalam bagian lain buku tersebut, orang yang menetapi satu madzhab saja itu dihukumi kafir.”
Menjawab pertanyaan tersebut, al-Albani kebingungan menjawabnya.
Demikianlah dialog panjang antara Syaikh al-Buthi dengan al-Albani, yang didokumentasikan dalam kitab beliau al-Lamadzhabiyyah Akhthar Bid’ah Tuhaddid asy-Syari’at al-Islamiyyah. Dialog tersebut menggambarkan, bahwa kaum Wahhabi melarang umat Islam mengikuti madzhab tertentu dalam bidang fiqih. Tetapi ajakan tersebut, sebenarnya upaya licik mereka agar umat Islam mengikuti madzhab yang mereka buat sendiri. Tentu saja mengikuti madzhab para ulama salaf, lebih menenteramkan bagi kaum Muslimin. Keilmuan, ketulusan dan keshalehan ulama salaf jelas diyakini melebihi orang-orang sesudah mereka.

Hadits Ikhtilaf Ummati Rahmatun
Dalam tradisi bermadzhab, perbedaan pendapat merupakan sebuah keniscayaan dan termasuk khazanah kekayaan fiqih kaum Muslimin.
Dewasa ini, seiring dengan merebaknya aliran Wahhabi, yang cenderung memaksakan pendapatnya kepada orang lain agar diikuti, disebarluaskan wacana bahwa mengikuti madzhab fiqih yang ada merupakan salah satu bentuk kesyirikan dan dilarang dalam agama. Demikian asumsi mereka.
Dalam sebuah diskusi di Mushalla al-Fitrah, Monang Maning Denpasar, ada seorang Wahhabi melakukan protes dengan berkata: “Ustadz, kita tidak perlu mengikuti ulama atau para imam madzhab. Bukankah para imam madzhab itu pendapatnya berbeda-beda. Ustadz harus mengetahui bahwa hadits ikhtilafu ummati rahmatun (perbedaan umat Islam itu merupakan rahmat Allah) itu hadits mursal yang kualitasnya lemah atau dha’if”.
Demikian pernyataan orang Wahhabi tadi yang belakangan diketahui berinisial HA. Pada waktu itu saya menjawab: “Memang hadits ikhtilafu ummati rahmatun, termasuk hadits dha’if. Akan tetapi substansinya terdapat dalam hadits-hadits yang shahih. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya dari Ibn Umar Ra. yang berkata: “Sepulangnya dari peperangan Ahzab, Rasulullah Saw. bersabda: “Jangan ada yang shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidzah.” (HR. al-Bukhari no. 894). Sebagian sahabat ada yang memahami teks hadits tersebut secara tekstual, sehingga tidak shalat Ashar (walaupun waktunya telah berlalu) kecuali di tempat itu. Sebagian lainnya memahaminya secara kontekstual, sehingga mereka melaksanakan shalat Ashar, sebelum tiba di perkampungan yang dituju. Ketika Nabi Saw. menerima laporan tentang kasus ini, beliau tidak mempersalahkan kedua kelompok sahabat yang berbeda pendapat dalam memahami teks hadits beliau.” (HR. al-Bukhari no. 894). Berkaitan dengan hal tersebut Sayidina Ali bin Abi Thalib Ra. berkata: “Nabi mendera orang yang minum khamr sebanyak empat puluh kali. Abu Bakar mendera empat puluh kali pula. Sedangkan Umar menderanya delapan puluh kali. Dan kesemuanya adalah sunnah. Akan tetapi, empat puluh kali lebih aku sukai.” (HR. Muslim no. 3220 dan Abi Dawud no.3384). Dalam hadits ini, Ali bin Abi Thalib menetapkan bahwa dera empat puluh kali yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. dan Abu Bakar, sedang dera delapan puluh kali yang dilakukan oleh Umar kepada orang yang minum khamr, keduanya sama-sama benar. Hadits ini menjadi bukti bahwa perbedaan pendapat di antara sesama mujtahid dalam bidang fiqih, tidak tercela, bahkan eksistensinya diakui berdasarkan hadits tersebut. Seorang ulama salaf dari generasi tabi’in, al-Imam al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiq berkata: “Perbedaan pendapat di kalangan sahabat Nabi Muhammad Saw. merupakan rahmat bagi manusia.” (Jazil al-Mawahib halaman 21). Khalifah yang shaleh, Umar bin Abdul Aziz Ra.  juga berkata: “Aku tidak gembira seandainya para sahabat Nabi Muhammad Saw. tidak berbeda pendapat. Karena seandainya mereka tidak berbeda pendapat, tentu tidak ada kemurahan dalam agama.” (Jazil al-Mawahib halaman 22). Paparan di atas menyimpulkan bahwa perbedaan pendapat di kalangan sahabat telah terjadi sejak masa Rasulullah Saw. Dan ternyata perbedaan tersebut dilegitimasi oleh Rasulullah Saw. Dan menjadi rahmat bagi umat Islam sebagaimana diakui oleh ulama salaf yang saleh. Wallahu a’lam.”


BAB V
BUKAN AHLUSSUNNAH

Mereka Golongan Khawarij
Mayoritas umat Islam meyakini bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah itu pengikut madzhab al-Asy’ari dan al-Maturidzi. Tetapi tidak sedikit pula yang berasumsi bahwa aliran Wahhabi juga masuk dalam golongan Ahlussunnah wal Jama’ah. Padahal menurut para ulama yang otoritatif di kalangan Sunni, aliran Wahhabi itu tergolong Khawarij, bukan Ahlussunnah wal Jama’ah.
Dalam sebuah diskusi tentang ASWAJA di Kantor PWNU Jawa Timur di Surabaya, ada pembicaraan mengenai Wahhabi, apakah termasuk Ahlussunnah wal Jama’ah atau bukan. Dalam kesempatan itu saya menjelaskan bahwa aliran Wahhabi atau Salafi itu bukan Ahlussunnah wal Jama’ah. Bahkan aliran Wahhabi itu termasuk golongan Khawarij. Mendengar penjelasan ini, sebagian peserta ada yang bertanya, “Mengapa aliran Wahhabi Anda masukkan dalam golongan Khawarij? Bukankah mereka juga berpedoman dengan kitab-kitab hadits yang menjadi pedoman kita seperti Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim dan lain-lain?”
Aliran Wahhabi itu dikatakan Khawarij karena ada ajaran penting di kalangan Khawarij menjadi ajaran Wahhabi, yaitu takfir al-mukhalif dan istihlal dima’ almukhalifin (mengkafirkan dan menghalalkan darah kaum Muslimin yang berbeda dengan mereka). Suatu kelompok dikatakan keluar dari Ahlussunnah wal Jama’ah, tidak harus berbeda 100 % dengan Ahlussunnah wal Jama’ah. Kaum Khawarij pada masa sahabat dulu dikatakan Khawarij bukan semata-mata karena perlawanan mereka terhadap kaum Muslimin, akan tetapi karena perlawanan mereka terhadap Sayyidina Ali dilatarbelakangi oleh motif ideology yaitu takfir dan istihlal dima’ al-mukhalifin (pengkafiran dan pengahalalan darah kaum Muslimin yang berbeda dengan mereka).
Sayyidah ‘Aisyah, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin al-’Awwam dan banyak sahabat yang lain juga memerangi Sayidina Ali. Sayidina Mu’awiyah bin Abi Sufyan juga memerangi Sayidina Ali. Akan tetapi karena latar belakang peperangan mereka bukan motif ideologi, tetapi karena semata-mata karena persoalan politik, maka mereka tidak dikatakan Khawarij.
Persoalan bahwa kaum Wahhabi juga merujuk terhadap kitab-kitab tafsir dan hadits yang menjadi rujukan Ahlussunnah wal Jama’ah, hal ini bukan alas an menganggap mereka sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah. Kalau kita mempelajari ilmu rijal hadits, dalam Shahih al-Bukhari, Muslim dan lain-lain, tidak sedikit para perawi hadits yang mengikuti aliran Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, Qadariyah dan lain-lain. Para ulama kita, termasuk dari kalangan ahli hadits, sangat toleran dengan siapapun, sehingga tidak menghalangi menerima hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para perawi ahli bid’ah untuk dimasukkan dalam kitab-kitab mereka dan kemudian menjadi rujukan utama kaum Muslimin Ahlussunnah wal Jama’ah.
Kalau setiap orang yang merujuk terhadap Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim dan kitab-kitab hadits lainnya harus dimasukkan dalam golongan Ahlussunnah wal Jama’ah, maka kita tentunya harus pula memasukkan semua perawi hadits al-Bukhari dan lain-lain dalam Ahlussunnah wal Jama’ah. Padahal faktanya tidak demikian.

Bersama Ulama Wahhabi
Alasan utama mengapa aliran Wahhabi dikatakan Khawarij dan bukan Ahlussunnah wal Jama’ah, adalah paradigma pemikirannya yang mengusung konsep takfir dan istihlal dima’ wa amwal al-mukhalifin (pengkafiran dan penghalalan darah dan harta benda kaum Muslimin di luar alirannya).
Dalam sebuah diskusi di PCNU Sumenep, pada 22 Mei 2010, tentang aliran Syi’ah dan Wahhabi, seorang ulama Wahhabi kelahiran Sumatera dan sekarang tinggal di Jember, berinisial AMSP menggugat pernyataan saya, bahwa Wahhabi mengkafirkan dan menghalalkan darah kaum Muslimin di luar mereka. Ia mengatakan: “Wahhabi itu Ahlussunnah wal Jama’ah, bukan Khawarij. Karena Wahhabi tidak mengkafirkan dan menghalalkan darah kaum Muslimin yang berbeda dengan dirinya.”
Mendengar pernyataan tersebut saya katakan: “Bahwa Wahhabi itu mengkafirkan dan menghalalkan darah kaum Muslimin, itu bukan kata saya. Tetapi itu pernyataan Syaikh Muhammad, pendiri aliran Wahhabi. Misalnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata: “Aku pada waktu itu tidak mengerti makna la ilaha illallah dan tidak mengerti agama Islam, sebelum kebaikan yang dianugerahkan oleh Allah. Demikian pula guru-guruku, tidak seorang pun di antara mereka yang mengetahui hal tersebut. Barangsiapa yang berasumsi di antara ulama Aridh (Riyadh) bahwa ia mengetahui makna la ilaha illallah atau mengetahui makna Islam sebelum waktu ini, atau berasumsi bahwa di antara guru-gurunya ada yang mengetahui hal tersebut, berarti ia telah berdusta, mereka-reka (kebohongan), menipu manusia dan memuji dirinya dengan sesuatu yang tidak dimilikinya.” (Ibn Ghannam, Tarikh Najd halaman 310).
Dalam pernyataan di atas, jelas sekali Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menyatakan bahwa sebelum ia menyebarkan faham Wahhabi, ia sendiri tidak mengerti makna kalimat la ilaha illallah dan tidak mengerti agama Islam. Bahkan tidak seorang pun dari guru-gurunya dan ulama manapun yang mengerti makna kalimat la ilaaha illallah dan makna agama Islam. Pernyataan ini menunjukkan bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengkafirkan guru-gurunya, semua ulama dan mengkafirkan dirinya sebelum menyebarkan faham Wahhabi. Pernyataan tersebut ditulis oleh muridnya sendiri, Syaikh Ibn Ghannam dalam Tarikh Najd halaman 310.
Dalam kitab Kasyf asy-Syubuhat hal. 29-30, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata: “Ketahuilah bahwa kesyirikan orang-orang dulu lebih ringan daripada kesyirikan orang-orang masa kita sekarang ini.” Maksudnya kaum Muslimin di luar golongannya itu telah syirik semua. Kesyirikan mereka melebihi kesyirikan orang-orang Jahiliyah. Sebagaimana ia tulis dalam kitab Kasyf asy-Syubuhat, kitab pendiri Wahhabi yang paling ekstrem dan paling keras dalam mengkafirkan seluruh kaum Muslimin selain golongannya.
Dalam kitab ad-Durar as-Saniyyah fi al-Ajwibat an-Najdiyyah (kumpulan fatwa-fatwa ulama Wahhabi sejak masa pendirinya) yang ditahqiq oleh Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim, ulama Wahhabi kontemporer, ada pernyataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, bahwa ilmu fiqih dan kitab-kitab fiqih madzhab empat yang diajarkan oleh para ulama adalah ilmu syirik, sedangkan para ulama yang menyusunnya adalah syetan-syetan manusia dan jin. (Ad-Durar ad-Saniyyah juz 3 halaman 56).
Pernyataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab ini berarti pembatalan dan pengkafiran terhadap kaum Muslimin yang mengikuti madzhab fiqih yang empat.
Dalam berbagai kitab dan risalahnya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab selalu menyebutkan kalimat-kalimat yang ditujukan kepada orang-orang musyrik. Namun ia tidak pernah menyebut seorang pun nama orang musyrik yang menjadi lawan polemiknya dalam kitab-kitab dan tulisannya. Justru yang ia sebutkan adalah nama-nama para ulama terkemuka pada waktu itu seperti Syaikh Ibn Fairuz, Marbad at-Tamimi, Ibn Suhaim, Syaikh Sulaiman dan ulama-ulama lainnya. Maksudnya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengkafirkan seluruh ulama pada waktu itu yang tidak mengikuti ajarannya. Bahkan secara terang-terangan, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menyebutkan dalam kitab Kasyf asy-Syubuhat, bahwa kaum Muslimin pada waktu itu telah memilih mengikuti agamanya Amr bin Luhay al-Khuza’i, orang yang pertama kali mengajak orang-orang Arab memuja berhala.
Pengkafiran terhadap kaum Muslimin terus dilakukan oleh ulama Wahhabi dewasa ini. Dalam kitab Kaifa Nafhamu at-Tauhid, karangan Muhammad bin Ahmad Basyamil, disebutkan: “Aneh dan ganjil, ternyata Abu Jahal dan Abu Lahab lebih banyak tauhidnya kepada Allah dan lebih murni imannya kepadaNya dari pada kaum Muslimin yang bertawassul dengan para wali dan orang-orang saleh dan memohon pertolongan dengan perantara mereka kepada Allah. Ternyata Abu Jahal dan Abu Lahab lebih banyak tauhidnya dan lebih tulus imannya dari mereka kaum Muslimin yang mengucapkan tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasul Allah.” (Muhammad bin Ahmad Basyamil, Kaifa Nafhamu at-Tauhid halaman 16).
Dalam pernyataan tersebut, Basyamil menganggap bahwa kaum Muslimin selain Wahhabi, lebih syirik dari pada Abu Jahal dan Abu Lahab. Kitab karya Basyamil ini dibagi-bagikan secara gratis oleh tokoh-tokoh Wahhabi kepada siapapun yang berminat.
Demikian dialog saya dengan AMSP yang tidak berjalan lama. Karena ia minta agar dialog segera diakhiri.

Mereka Ahli Bid’ah Abad Modern
Dalam sebuah diskusi di Surabaya tentang status Wahhabi sebagai golongan Khawarij, ada seorang teman bertanya: “Mengapa Anda memasukkan Wahhabi ke dalam golongan Khawarij? Apa bukti-buktinya?”.
Teman kita ini sepertinya keberatan sekali kalau Wahhabi dimasukkan ke dalam golongan Khawarij. Akhirnya pada waktu itu saya berusaha meyakinkan semua peserta diskusi yang hadir, dengan memberikan penjelasan bahwa kita mengganggap Wahhabi sebagai Khawarij, karena semua ulama Ahlussunnah wal Jama’ah yang otoritatif (mu’tabar) di kalangan pesantren mengatakan demikian.
Dari kalangan ulama madzhab al-Maliki, al-Imam Ahmad bin Muhammad ash-Shawi al-Maliki, ulama terkemuka abad 12 Hijriah dan semasa dengan pendiri Wahhabi, berkata dalam Hasyiyah ‘ala Tafsir al-Jalalain sebagai berikut: “Ayat ini turun mengenai orang-orang Khawarij, yaitu mereka yang mendistorsi penafsiran al-Qur’an dan Sunnah, dan oleh sebab itu mereka menghalalkan darah dan harta benda kaum Muslimin sebagaimana yang terjadi dewasa ini pada golongan mereka, yaitu kelompok di negeri Hijaz yang disebut dengan aliran Wahhabiyah, mereka menyangka bahwa mereka akan memperoleh sesuatu (manfaat), padahal merekalah orang-orang pendusta.” (Hasyiyah ash-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalain juz 3 halaman 307).
Dari kalangan ulama madzhab Hanafi, al-Imam Muhammad Amin Afandi yang populer dengan sebutan Ibn Abidin, juga berkata dalam kitabnya, Hasyiyah Radd al-Mukhtar sebagai berikut: “Keterangan tentang pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab, kaum Khawarij pada masa kita. Sebagaimana terjadi pada masa kita, pada pengikut Ibn Abdil Wahhab yang keluar dari Najd dan berupaya keras menguasai dua tanah suci. Mereka mengikuti madzhab Hanabilah. Akan tetapi mereka meyakini bahwa mereka saja kaum Muslimin, sedangkan orang yang berbeda dengan keyakinan mereka adalah orang-orang musyrik. Dan oleh sebab itu mereka menghalalkan membunuh Ahlussunnah dan para ulamanya sampai akhirnya Allah memecah kekuatan mereka, merusak negeri mereka dan dikuasai oleh tentara kaum Muslimin pada tahun 1233 H.” (Ibn Abidin, Hasyiyah Radd al Mukhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar juz 4 halaman 262).
Dari kalangan ulama madzhab Hanbali, al-Imam Muhammad bin Abdullah bin Humaid an-Najdi berkata dalam kitabnya ash-Suhub al-Wabilah ‘ala Dharaih al-Hanabilah ketika menulis biografi Syaikh Abdul Wahhab, ayah pendiri Wahhabi, sebagai berikut: “Abdul Wahhab bin Sulaiman at-Tamimi an-Najdi, adalah ayah pembawa dakwah Wahhabiyah, yang percikan apinya telah tersebar di berbagai penjuru. Akan tetapi antara keduanya terdapat perbedaan. Padahal Muhammad (pendiri Wahhabi) tidak terang-terangan berdakwah kecuali setelah meninggalnya sang ayah. Sebagian ulama yang aku jumpai menginformasikan kepadaku, dari orang yang semasa dengan Syaikh Abdul Wahhab ini, bahwa beliau sangat murka kepada anaknya, karena ia tidak suka belajar ilmu fiqih seperti para pendahulu dan orang-orang di daerahnya. Sang ayah selalu berfirasat tidak baik tentang anaknya pada masa yang akan datang. Beliau selalu berkata kepada masyarakat, “Hati-hati, kalian akan menemukan keburukan dari Muhammad.” Sampai akhirnya takdir Allah benar-benar terjadi. Demikian pula putra beliau, Syaikh Sulaiman (kakak Muhammad bin Abdul Wahhab), juga menentang terhadap dakwahnya dan membantahnya dengan bantahan yang baik berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi Saw. Syaikh Sulaiman menamakan bantahannya dengan judul Fashl al-Khithab fi ar-Radd ‘ala Muhammad bin Abdul Wahhab. Allah telah menyelamatkan Syaikh Sulaiman dari keburukan dan tipu daya adiknya meskipun ia sering melakukan serangan besar yang mengerikan terhadap orang-orang yang jauh darinya. Karena setiap ada orang yang menentangnya, dan membantahnya, lalu ia tidak mampu membunuhnya secara terang-terangan, maka ia akan mengirim orang yang akan menculik dari tempat tidurnya atau di pasar pada malam hari karena pendapatnya yang mengkafirkan dan menghalalkan membunuh orang yang menyelisihinya.” (Ibn Humaid an-Najdi, ash-Suhub al-Wabilah ‘ala Dharaih al-Hanabilah halaman 275).
Dari kalangan ulama madzhab Syafi’i, al-Imam as-Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan al-Makki, guru pengarang I’anah ath-Thalibin, kitab yang sangat otoritatif (mu’tabar) di kalangan ulama di Indonesia, berkata: “Sayyid Abdurrahman al-Ahdal, mufti Zabid berkata: “Tidak perlu menulis bantahan terhadap Ibn Abdil Wahhab. Karena sabda Nabi Saw. cukup sebagai bantahan terhadapnya, yaitu “Tanda-tanda mereka (Khawarij) adalah mencukur rambut (maksudnya orang yang masuk dalam ajaran Wahhabi, harus mencukur rambutnya)”. Karena hal itu belum pernah dilakukan oleh seorang pun dari kalangan ahli bid’ah.” (Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Fitnah al-Wahhabiyah halaman 54).
Demikian pernyataan ulama terkemuka dari empat madzhab, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali, yang menegaskan bahwa golongan Wahhabi termasuk Khawarij bukan Ahlussunnah wal Jama’ah. Tentu saja masih terdapat ratusan ulama lain dari madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah yang menyatakan bahwa Wahhabi itu Khawarij dan tidak mungkin kami kutip semuanya dalam diskusi kali ini.

Dialog Sunni vs Wahhabi
Ada dialog menarik antara orang Sunni dengan orang Wahhabi yang akan kami kutip di sini. Namun sebelum mengutip dialog tersebut, ada baiknya dikutip terlebih dahulu tulisan seorang teman di dunia maya yang menguraikan kesamaan Wahhabi dengan Khawarij.
Menurut teman tersebut, ada beberapa kesamaan antara Wahhabi dengan Khawarij. Pertama, Khawarij telah mengucilkan diri dari seluruh kaum Muslimin dengan berpendapat bahwa pelaku dosa besar itu kafir. Dan ternyata Wahhabi juga mengucilkan diri dari kaum Muslimin dengan mengkafirkan kaum Muslimin karena perbuatan dosa menurut asumsi Wahhabi. Kedua, Khawarij menetapkan negara Islam yang penduduknya melakukan dosa besar sebagai negara harbi, yang dihalalkan melakukan tindakan seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. terhadap negara harbi (darah dan harta bendanya dihalalkan). Demikian pula kaum Wahhabi, akan menghukumi negara Islam sebagai negara harbi meskipun penduduknya orang yang paling taat beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala dan paling saleh, apabila mereka meyakini bolehnya bepergian berziarah ke makam Nabi dan makam orang-orang saleh dan meminta syafa’at kepada mereka.
Dari kedua poin ini bisa disimpulkan bahwa Wahhabi itu lebih buruk daripada Khawarij. Kaum Khawarij melihat perbuatan yang disepakati sebagai dosa besar oleh kaum Muslimin lalu mengkafirkan pelakunya. Sementara Wahhabi melihat amaliah-amaliah yang sama sekali bukan perbuatan dosa, bahkan termasuk amaliah sunnah yang dilakukan oleh generasi salaf yang saleh dari kalangan sahabat, tabi’in dan generasi berikutnya tanpa ada perselisihan di kalangan ulama. Lalu kaum Wahhabi mengkafirkan pelaku amaliah sunat tersebut.
Ketiga, Wahhabi dan Khawarij sama-sama ekstrem (ghuluw) dalam beragama serta jumud dalam memahaminya. Kaum Khawarij ketika membaca firman Allah subhanahu wata’ala “inna al-hukmu illa lillah (hukum itu hanyalah milik Allah)”, maka mereka mengatakan bahwa orang yang membolehkan arbitrase telah syirik kepada Allah subhanahu wata’ala. Mereka membuat semboyan, “la hukma illa lillah (tidak ada hukum selain dari Allah)”, kata-kata benar yang disalahgunakan (kalimatu haqqin urida biha bathilun). Pernyataan Khawarij tersebut jelas kejumudan dan kedangkalan berpikir. Karena arbitrase dalam persengketaan telah ditetapkan dalam al-Qur’an, Sunnah, sirah Rasul Saw. dan tidak bertentangan dengan logika nalar. Demikian pula Wahhabi, ketika mereka membaca firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya kepadaMu kami memohon pertolongan”, (QS al-Fatihah ayat 5), dan firman Allah subhanahu wata’ala, “Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisiNya tanpa izinNya”, (QS. al-Baqarah ayat 255), dan firman Allah subhanahu wata’ala, “Dan mereka tiada memberi syafa’at melainkan kepada orang yang diridhai Allah”, (QS. al-Anbiya’ ayat 28), maka mereka (Wahhabi) berkata: “Barangsiapa berpendapat boleh meminta syafa’at kepada Nabi dan orang-orang saleh, maka ia telah syirik kepada Allah subhanahu wata’ala, dan barangsiapa yang bermaksud ziarah ke makam Nabi dan meminta syafa’at kepadanya, maka ia telah menyembahnya dan menjadikannya sebagai tuhan selain Allah subhanahu w ta’ala.”
Dari sini, kaum Wahhabi selalu membawa slogan “Tidak ada yang disembah selain Allah”, dan “Syafa’at hanya milik Allah”, sebuah kalimat benar yang disalahgunakan. Hal ini termasuk kejumudan dan kedangkalan dalam berpikir. Karena kebolehan hal tersebut telah dimaklumi dari sejarah kehidupan para sahabat, tabi’in dan generasi sesudahnya.
Keempat, Ibn Taimiyah berkata: “Aliran Khawarij adalah bid’ah pertama yang muncul dalam Islam, lalu pengikut Khawarij mengkafirkan dan menghalalkan darah kaum Muslimin”. Demikian pula Wahhabi, bid’ah terakhir dalam Islam, pengikutnya mengkafirkan dan menghalalkan darah kaum Muslimin.
Kelima, hadits-hadits shahih yang menerangkan tentang Khawarij dan keluarnya mereka dari agama, sebagiannya sesuai dengan aliran Wahhabi. Dalam Shahih al-Bukhari, Rasulullah Saw. bersabda: “Akan ada sekelompok manusia keluar dari arah timur. Mereka membaca al-Qur’an, namun apa yang mereka baca tidak melewati tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana anak panah keluar dari sasarannya. Tanda-tanda mereka mencukur rambut.”
Al-Imam al-Qasthalani berkata dalam mengomentari hadits ini, bahwa yang dimaksud dari arah timur adalah arah timur kota Madinah seperti Najd dan sesudahnya. Demikian pula Wahhabi, lahir di Najd dan kemudian menyebar ke mana-mana. Disamping mencukur rambut juga menjadi ciri khas mereka. Kaum Wahhabi memerintahkan orang-orang yang mengikuti mereka agar mencukur rambut, meskipun kaum wanita.
Oleh karena itu, sebagian ulama yang semasa dengan lahirnya ajaran Wahhabi berkata: “Tidak perlu menulis bantahan terhadap Ibn Abdil Wahhab. Karena sabda Nabi Saw. cukup sebagai bantahan terhadapnya, yaitu “Tanda-tanda mereka (Khawarij) adalah mencukur rambut (maksudnya orang yang masuk dalam ajaran Wahhabi, harus mencukur rambutnya)”. Dalam hadits lain tentang Khawarij, Rasulullah Saw. bersabda: “Mereka akan membunuh umat Islam, akan tetapi membiarkan penyembah berhala”. Hadits ini persis dengan aliran Wahhabi. Mereka belum pernah mengarahkan peperangan terhadap selain umat Islam.
Dalam sejarah mereka belum pernah dikenal bahwa mereka mendatangi atau bermaksud memerangi penyembah berhala, karena hal tersebut tidak masuk dalam prinsip dan buku-buku mereka yang isinya penuh dengan kecaman dan pengkafiran terhadap umat Islam. Al-Imam al-Bukhari juga meriwayatkan dari Ibn Umar dalam menjelaskan ciri-ciri kaum Khawarij: “Mereka mengambil ayat-ayat al-Qur’an yang turun mengenai orang-orang kafir, lalu mereka tuangkan kepada orang-orang beriman”. Ibn Abbas juga berkata: “Janganlah kalian seperti Khawarij, memaksakan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an untuk umat Islam (ahlil qiblah). Padahal ayat-ayat tersebut turun mengenai ahlul kitab dan orang-orang musyrik. Mereka tidak mengetahui ilmunya, lalu mereka mengalirkan darah dan merampas harta benda orang-orang Muslim”. Demikian pula kaum Wahhabi, mengambil ayat-ayat yang turun mengenai pemuja berhala, lalu mereka terapkan pada orang-orang yang beriman. Hal tersebut memenuhi buku-buku dan menjadi dasar madzhab mereka.
Berikut ini dialog menarik antara Sunni dengan Wahhabi. Wahhabi berkata: “Kitab-kitab madzhab Hanbali itu kitab-kitab Wahhabi. Apa yang Anda tidak setuju? Anda tidak boleh menilai negatif mereka kecuali dengan apa yang tertulis dengan jelas dalam kitab-kitab mereka, bukan berdasarkan informasi dari pihak lawan Wahhabi”.
Sunni berkata: “Bagaimana Anda menilai aliran Qaramithah?”
Wahhabi menjawab: “Mereka orang-orang kafir dan mulhid”.
Sunni berkata: “Orang-orang Qaramithah berasumsi bahwa madzhab mereka itu madzhab Ahlul Bait. Menurut mereka, kitab-kitab Ahlul Bait itu kitab-kitab Qaramithah. Bukankah dalam kitab-kitab Ahlul Bait itu hanya kebenaran dan cahaya?”
Wahhabi berkata: “Qaramithah itu berbohong. Para sejarawan telah mencatat kekafiran dan kebohongan Qaramithah.”
Sunni berkata: “Anda menganggap kesaksian sejarawan sebagai hujjah?”
Wahhabi berkata: “Ya, karena asy-Syafi’i menjelaskan bahwa informasi para sejarawan secara kolektif dari banyak orang ke banyak orang lebih ia senangi daripada hadits yang diriwayatkan seorang ahli hadits, melalui seorang perawi dari seorang perawi.”
Sunni menjawab: “Kalau begitu Anda harus menerima argumentasi saya. Bukankah para sejarawan yang menyaksikan lahirnya Wahhabi mencatat kekafiran mereka yang nyata. Perbuatan seseorang sangat kuat sebagai hujjah dan dalil, meskipun lidahnya tidak mengakuinya. Qaramithah ketika menghalalkan darah dan harta benda kaum Muslimin, maka tanpa ragu-ragu para ulama meyakini kekafiran mereka. Demikian pula generasi awal aliran Wahhabi, perbuatannya sama dengan Qaramithah, mengkafirkan dan membantai kaum Muslimin.”
Akhirnya orang Wahhabi itu emosi. Ia tidak mampu mengendalikan bicaranya dengan kalimat-kalimat yang sulit dimengerti.
Sunni berkata: “Bagaimana pendapat Anda tentang hadits-hadits yang menerangkan tentang Khawarij. Dalam hadits-hadits tersebut diterangkan bahwa Khawarij keluar dari agama, mereka akan menjadi anjing-anjing di neraka dan mereka seburuk-buruk orang yang dibunuh di bawah langit?”
Wahhabi menjawab: “Hadits-hadits yang ada memberikan kesimpulan yang pasti dan tanpa keraguan bahwa Khawarij memang keluar dari agama dan berhak menerima murka Allah subhanahu wa ta’ala. Tetapi mereka orang-orang yang diperangi oleh Ali bin Abi Thalib Ra. di Nahrawan. Wahhabi bukan bagian dari mereka.”
Sunni berkata: “Mengapa Khawarij berhak menerima murka Allah subhanahu wata’ala. Apakah karena shalat mereka lebih baik daripada shalat para sahabat dan puasa mereka lebih baik daripada puasa sahabat?”
Wahhabi menjawab: “Bukan karena itu.”
Sunni berkata: “Atau karena mereka zuhud, bersahaja, membaca al-Qur’an dengan rajin dan sungguh-sungguh dan sering mengeluarkan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?”
Wahhabi menjawab: “Bukan karena itu.”
Sunni menjawab: “Kalau bukan karena itu, lalu karena apa?”
Wahhabi terdiam dan tidak bisa menjawab.
Lalu Sunni menjawab: “Hal itu karena Khawarij mengkafirkan dan menghalalkan darah dan harta benda kaum Muslimin. Mereka mengklaim bahwa hanya mereka kaum Muslimin. Selain mereka jelas kafir. Sudah barang tentu, kelompok yang memiliki konsep ajaran seperti Khawarij, juga berhak menerima ancaman seperti mereka.”


BAB VI
MENURUT ASY-SYATHIBI

Tanda-Tanda Aliran Sesat
Pada beberapa waktu yang lalu, Majlis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang sesatnya aliran Ahmadiyah. Terdapat sekian banyak dalil yang diajukan oleh MUI sebagai bukti-bukti kesesatan Ahmadiyah. Dalam sebuah pertemuan di Surabaya saya mengemukakan bahwa aliran Wahhabi atau Salafi juga termasuk aliran sesat. Mendengar pernyataan ini salah seorang peserta diskusi mengajukan pertanyaan, apa bukti-bukti atau dalil-dalil kesesatan Wahhabi?
Menjawab pertanyaan tersebut, saya menjelaskan, bahwa al-Imam Abu Ishaq asy-Syathibi telah menguraikan dalam kitabnya, al-I’tisham tentang tanda-tanda ahli bid’ah atau aliran sesat. Menurut beliau ada dua macam tanda-tanda aliran sesat:
1)    tanda-tanda terperinci, yang telah diuraikan oleh para ulama dalam kitab-kitab yang menerangkan tentang sekte-sekte dalam Islam seperti al-Milal wa an-Nihal, al-Farq baina al-Firaq dan lain-lain.
2)    tanda-tanda umum. Menurut asy-Syathibi, secara umum tanda-tanda aliran sesat itu ada tiga:
a.    Perpecahan dan Perceraiberaian
Pertama, terjadinya perpecahan di antara mereka. Hal tersebut seperti telah diingatkan dalam firman Allah subhanahu wata’ala: “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah dating keterangan yang jelas kepada mereka.” (QS. Ali Imran ayat 105), “Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat.” (QS. al-Maidah ayat 64).
Dalam hadits shahih, melalui Abu Hurairah Ra., Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah ridha pada kamu tiga perkara dan membenci tiga perkara. Allah ridha kamu menyembahNya dan janganlah kamu mempersekutukanNya, kamu berpegang dengan tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai...”
Kemudian asy-Syathibi mengutip pernyataan sebagian ulama, bahwa para sahabat banyak yang berbeda pendapat sepeninggal Nabi Saw., tetapi mereka tidak bercerai-berai. Karena perbedaan mereka berkaitan dengan hal-hal yang masuk dalam konteks ijtihad dan istinbath dari al-Qur’an dan Sunnah dalam hukum-hukum yang tidak mereka temukan nashnya.
Jadi, setiap persoalan yang timbul dalam Islam, lalu orang-orang berbeda pendapat mengenai hal tersebut dan perbedaan itu tidak menimbulkan permusuhan, kebencian dan perpecahan, maka kami meyakini bahwa persoalan tersebut masuk dalam koridor Islam.
Sedangkan setiap persoalan yang timbul dalam Islam, lalu menyebabkan permusuhan, kebencian, saling membelakangi dan memutus hubungan, maka hal itu kami yakini bukan termasuk urusan agama. Persoalan tersebut berarti termasuk yang dimaksud oleh Rasulullah Saw. dalam menafsirkan ayat berikut ini. Rasulullah Saw. bersabda kepada ‘Aisyah: “Wahai ‘Aisyah, siapa yang dimaksud dalam ayat, “Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka”, (QS. al-An’am ayat 159)?” ‘Aisyah menjawab: “Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui.” Nabi Saw. bersabda: “Mereka adalah golongan yang mengikuti hawa nafsu, ahli bid’ah dan aliran sesat dari umat ini.”
Demikian uraian asy-Syathibi. Setelah menguraikan demikian, kemudian asy-Syathibi mencontohkan dengan aliran Khawarij. Dimana Khawarij memecah-belah umat Islam, dan bahkan sesama mereka juga terjadi perpecahan. Mereka sebenarnya yang dimaksud dengan sabda Nabi Saw.: “Mereka akan membunuh orang-orang Islam, tetapi membiarkan para penyembah berhala.”
Berkaitan dengan aliran Wahhabi, agaknya terdapat kemiripan antara Wahhabi dengan Khawarij, yaitu menjadi pemecah-belah umat Islam dan bahkan sesame mereka juga terjadi perpecahan. Perpecahan sesama Wahhabi telah dibeberkan oleh Syaikh Abdul Muhsin bin Hamad al-‘Abbad al-Badr, dosen di Jami’ah Islamiyah, Madinah al-Munawwaroh dalam bukunya, Rifqan Ahlussunnah bi Ahlissunnah, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ali Mushri.
 Ada kisah menarik berkaitan dengan perpecahan di kalangan Wahhabi. AD, salah seorang teman saya bercerita pengalaman pribadinya kepada saya:
“Pada April 2010 saya mengikuti daurah (pelatihan) tentang aliran Syi’ah di Jakarta yang diadakan oleh salah satu ormas Islam di Indonesia. Daurah itu dilaksanakan di Gedung LPMP Jakarta Selatan dengan peserta dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Dalam daurah tersebut, salah seorang pemateri yang beraliran Salafi berkata: “Aliran Syi’ah itu pecah belah menjadi 300 aliran lebih. Antara yang satu dengan yang lain saling membid’ahkan dan bahkan saling mengkafirkan. Jadi, itulah tanda-tanda ahli bid’ah, sesama kelompoknya saja saling membid’ahkan dan saling mengkafirkan. Kalau Ahlussunnah wal Jama’ah tidak demikian. Tidak saling membid’ahkan, apalagi saling mengkafirkan.” Demikian kata pemateri Salafi itu.
Setelah sesi dialog selesai, saya menghampiri pemateri Salafi tadi dan bertanya: “Ustadz, Anda tadi mengatakan bahwa tanda-tanda ahli bid’ah itu, sesame kelompoknya terjadi perpecahan, saling membid’ahkan dan saling mengkafirkan. Sedangkan Ahlussunnah wal Jama’ah tidak demikian. Ustadz, saya sekarang bertanya, siapa yang dimaksud Ahlussunnah wal Jama’ah menurut Ustadz? Bukankah sesama ulama Salafi di Timur Tengah yang mengklaim Ahlussunnah wal Jama’ah juga terjadi perpecahan, saling membid’ahkan dan bahkan saling mengkafirkan. Misalnya Abdul Muhsin al-’Abbad dari Madinah menganggap al-Albani berfaham Murji’ah. Hamud at-Tuwaijiri dari Riyadh menilai al-Albani telah mulhid (tersesat). Al-Albani juga memvonis tokoh Wahhabi di Saudi Arabia yang mengkritiknya sebagai musuh tauhid dan sunnah. Komisi fatwa Saudi Arabia yang beranggotakan al-Fauzan dan al-Ghudyan, serta ketuanya Abdul Aziz Alus-Syaikh memvonis Ali Hasan al-Halabi, murid al-Albani dan ulama Wahhabi yang tinggal di Yordania, berfaham Murji’ah dan Khawarij. Kemudian Husain Alus-Syaikh yang tinggal di Madinah membela al-Halabi dan mengatakan bahwa yang membid’ahkan al-Halabi adalah ahli bid’ah dan bahwa al-Fauzan telah berbohong dalam fatwanya tentang al-Halabi. Al-Halabi pun membalas juga dengan mengatakan, bahwa Safar al-Hawali, pengikut Wahhabi di Saudi Arabia, beraliran Murji’ah. Ahmad bin Yahya an-Najmi, ulama Wahhabi di Saudi Arabia, memvonis al-Huwaini dan al-Mighrawi yang tinggal di Mesir mengikuti faham Khawarij. Falih al-Harbi dan Fauzi al-Atsari dari Bahrain menuduh Rabi’ al-Madkhali dan Wahhabi Saudi lainnya mengikuti faham Murji’ah. Dan banyak pula ulama Wahhabi yang hampir saja menganggap Bakar Abu Zaid, ulama Wahhabi yang tinggal di Riyadh, keluar dari mainstream Wahhabi karena karangannya yang berjudul Tashnif an-Nas baina adz-Dzann wa al-Yaqin. Dengan kenyataan terjadinya perpecahan di kalangan ulama Salafi seperti ini, menurut Ustadz layakkah para ulama Salafi tadi disebut Ahlussunnah wal Jama’ah?”
Mendengar pertanyaan tersebut, Ustadz Salafi itu hanya menjawab: “Wah, kalau begitu, saya tidak tahu juga ya”. Demikian jawaban Ustadz Salafi itu yang tampaknya kebingungan.” Demikian kisah teman saya, AD.
Beberapa bulan sebelumnya, ketika data-data perpecahan di kalangan ulama Salafi di Timur Tengah tersebut disampaikan kepada Ustadz Ali Musri, tokoh Wahhabi dari Sumatera yang sekarang tinggal di Jember, Ustadz Ali Musri langsung mengatakan: “Data ini fitnah. Di kalangan ulama Salafi tidak ada perpecehan.” Demikian jawaban Ustadz Ali Mushri pada waktu itu.
Namun tanpa diduga sebelumnya, beberapa hari kemudian, Ustadz Ali Mushri membagi-bagikan beberapa buku kecil kepada mahasiswanya di STAIN Jember. Ketika saya mengajar di STAIN Jember, sebagian mahasiswa yang menerima buku-buku tersebut, meminjamkannya kepada saya. Dan ternyata, di antara buku tersebut ada yang berjudul, Rifqan Ahlussunnah bi Ahlissunnah, karangan Dr. Abdul Muhsin bin Hamad al-‘Abbad al-Badar, dosen Ustadz Ali Mushri ketika kuliah di Jami’ah Islamiyah, Madinah al-Munawwaroh.
Ternyata dalam kitab Rifqan Ahlussunnah bi Ahlissunnah, Dr. Abdul Muhsin membeberkan terjadinya perpecahan di kalangan Salafi yang sangat parah dan sampai klimaks, sampai pada batas saling membid’ahkan, tidak bertegur sapa, memutus hubungan dan sebagainya. Subhanallah, kesesatan suatu golongan dibeberkan oleh orang dalam sendiri. “Dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya.” (QS. an-Nahl ayat 26).
b.   Mengikuti Teks Mutasyabihat
Kedua, mengikuti teks mutasyabihat, seperti yang diingatkan dalam firman Allah subhanahu wata’ala: “Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya.” (QS. Ali Imran ayat 7). Ayat ini menegaskan bahwa orang-orang sesat selalu mengikuti ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Qur’an. Mereka suka mengikuti teks yang mutasyabih, bukan yang muhkam.
Menurut Asy-Syathibi, yang dimaksud mutasyabih di sini adalah teks yang samar maknanya dan belum dijelaskan maksudnya. Menurutnya, mutasyabih itu ada dua:
1)    mutasyabih haqiqi seperti lafadz-lafadz yang mujmal (global) dan ayat-ayat yang secara literal menunjukkan keserupaan Allah subhanahu wata’ala dengan makhluk.
2)    mutasyabih relatif (idhafi), yaitu ayat yang membutuhkan dalil eksternal untuk menjelaskan makna yang sebenarnya, meskipun secara sepintas, teks tersebut memiliki kejelasan makna, seperti ketika orang-orang Khawarij berupaya membatalkan arbitrase mengambil dalil dari ayat, “innama al-hukmu illa lillah (hukum hanya milik Allah)”. Secara literal, ayat tersebut dapat dibenarkan menjadi dalil mereka. Tetapi apabila dikaji lebih mendalam, ayat tersebut masih membutuhkan penjelasan. Berkaitan dengan hal ini Ibn Abbas memberikan penjelasan, bahwa hukum Allah subhanahu wata’ala itu terkadang terjadi tanpa proses arbitrase, karena ketika Allah subhanahu wata’ala memerintahkan kita melakukan arbitrase, maka hukum yang menjadi keputusannya juga dianggap sebagai hukum Allah subhanahu wata’ala. Demikian pula pernyataan Khawarij yang menyalahkan Sayidina Ali Ra. Menurut Khawarij, “Ali telah memerangi musuhnya, tetapi tidak melakukan penawanan.” Di sini kaum Khawarij membatasi logika mereka pada satu sisi saja, yaitu kalau memang kelompok ‘Aisyah dan Muawiyah itu boleh diperangi, mengapa mereka tidak dijadikan tawanan oleh Ali sebagaimana Rasulullah Saw. menawan musuh-musuhnya dalam peperangan? Dalam logika berpikir ini, Khawarij telah meninggalkan sisi lain, yaitu sisi yang dijelaskan oleh firman Allah subhanahu wata’ala: “Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu’min berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah.” (QS. al-Hujurat ayat 9). Ayat tersebut menjelaskan tentang peperangan tanpa operasi penawanan sesudahnya terhadap pihak yang kalah. Hal ini yang tidak disadari oleh kaum Khawarij. Akan tetapi dalam perdebatan dengan Khawarij, Ibn Abbas mengingatkan mereka pada aspek yang lebih mematahkan, yaitu bahwa jika dalam peperangan Ali Ra. terjadi operasi penawanan, maka sebagian mereka akan mendapat bagian Ummul Mu’minin ‘Aisyah sebagai tawanannya. Dengan demikian, pada akhirnya mereka akan menyalahi al-Qur’an, yang mereka klaim berpegang teguh dengannya.
Berkaitan dengan aliran Wahhabi, kita dapati mereka selalu berpegangan dengan ayat-ayat mutasyabihat. Misalnya ketika kaum Wahhabi membaca ayat al-Qur’an: “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (QS. az-Zumar ayat 3), maka mereka mengatakan bahwa orang yang berdoa kepada Allah subhanahu wata’ala melalui perantara (tawassul) orang yang sudah wafat, berarti telah syirik dan kafir. Kaum Wahhabi lupa, bahwa disamping mereka tidak memahami makna ibadah secara benar, mereka juga tidak menyadari bahwa bertawassul dengan para Nabi dan orang-orang saleh, telah diajarkan oleh Nabi Saw., para sahabat, tabi’in dan generasi penerusnya. Sehingga dengan pemahaman yang dangkal terhadap ayat tersebut, Wahhabi akhirnya terjerumus pada pengkafiran terhadap kaum Muslimin. Dan jika diamati dengan seksama, dalam setiap pendapat yang keluar dari mainstream kaum Muslimin, kaum Wahhabi biasanya mengikuti teks-teks literal yang tidak dipahami maknanya secara benar.
Al-Imam asy-Syathibi berkata dalam kitabnya al-I’tisham yang sangat populer: “Renungkanlah, logika berpikir mengikuti ayat-ayat mutasyabihat, dapat membawa seseorang pada kesesatan dan keluar dari jamaah. Oleh karena itu Rasulullah Saw. bersabda: “Apabila kalian melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat, maka merekalah orang-orang yang disebutkan oleh Allah (sebagai orang-orang yang sesat). Hati-hatilah dengan mereka”.
c.    Mengikuti Hawa Nafsu
Ketiga, mengikuti hawa nafsu sebagaimana diingatkan oleh firman Allah subhanahu wata’ala, “Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan (zaigh).” (QS. Ali Imran ayat 3). Kesesatan (zaigh) adalah lari dari kebenaran karena mengikuti hawa nafsu. Dalam ayat lain, “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun.” (QS. al-Qashash ayat 50).
Ada kisah menarik berkaitan dengan mengikuti hawa nafsu ini. Ketika orangorang Khawarij mengasingkan diri dan menjadi kekuatan oposisi terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib Ra, Ali selalu didatangi orang-orang yang memberinya saran: “Wahai Amirul Mu’minin, mereka melakukan gerakan melawan Anda.”
Ali Ra. hanya menjawab: “Biarkan saja mereka. Aku tidak akan memerangi mereka, sebelum mereka memerangiku. Dan mereka pasti melakukannya.”
Sampai akhirnya pada suatu hari, Ibn Abbas mendatanginya sebelum waktu Dzuhur dan berkata: “Wahai Amirul Mu’minin, aku mohon shalat Dzuhur agak diakhirkan, aku hendak mendatangi mereka (Khawarij) untuk berdialog dengan mereka.”
Ali Ra. menjawab: “Aku khawatir mereka mengapa-apakanmu.”
Ibn Abbas berkata: “Tidak perlu khawatir. Aku laki-laki yang baik budi pekertinya dan tidak pernah menyakiti orang.”
Akhirnya Ali Ra. merestuinya. Lalu Ibn Abbas memakai pakaian yang paling bagus produk negeri Yaman. Ibn Abbas berkata: “Aku menyisir rambutku dengan rapi dan mendatangi mereka pada waktu terik matahari. Setelah aku mendatangi mereka, aku tidak pernah melihat orang yang lebih bersungguh-sungguh daripada mereka. Pada dahi mereka tampak sekali bekas sujud. Tangan mereka kasar seperti kaki onta. Dari wajah mereka, tampak sekali kalau mereka tidak tidur malam untuk beribadah. Lalu aku mengucapkan salam kepada mereka.”
Mereka menjawab: “Selamat datang Ibn Abbas. Apa keperluanmu?”
Aku menjawab: “Aku datang mewakili kaum Muhajirin dan Anshar serta menantu Rasulullah Saw. Al-Qur’an turun di tengah-tengah mereka. Mereka lebih mengetahui maksud al-Qur’an daripada kalian. Lalu sebagian mereka berkata, “Jangan berdebat dengan kaum Quraisy, karena Allah subhanahu wata’ala berfirman: “Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar”. (QS. az-Zukhruf ayat 58).
Kemudian ada dua atau tiga orang berkata: “Kita akan berdialog dengan Ibn Abbas.”
Kemudian terjadi dialog antara Ibn Abbas dengan mereka. Setelah Ibn Abbas berhasil mematahkan argumentasi mereka, maka 2000 orang Khawarij kembali kepada barisan Sayidina Ali bin Abi Thalib Ra. Sementara yang lain tetap bersikeras dengan pendiriannya. 2000 orang tersebut kembali kepada kelompok kaum Muslimin, karena berhasil mengalahkan hawa nafsu mereka. Sementara yang lainnya, telah dikalahkan oleh hawa nafsunya, sehingga bertahan dalam kekeliruan.
Kita seringkali melihat atau mendengar kisah perdebatan para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah dengan tokoh-tokoh ahli bid’ah, misalnya orang Syi’ah, Wahhabi, atau lainnya. Akan tetapi meskipun mereka berulangkali dikalahkan dalam perdebatan, dengan dalil-dalil al-Qur’an, Sunnah dan pandangan ulama salaf, mereka tidak pernah kembali kepada kebenaran, karena hawa nafsu telah mengalahkan mereka.
d.   Tidak Mengetahui Posisi Sunnah
Al-Imam asy-Syathibi dalam kitabnya al-I’tisham membuat sebuah pertanyaan yang dijawabnya sendiri, mengapa seseorang itu mengikuti hawa nafsu dan kemudian pendapat-pendapatnya menjelma dalam bentuk sebuah aliran sesat? Hal tersebut ada kaitanya dengan latar belakang lahirnya aliran-aliran sesat, yang sebagian besar berangkat dari ketidaktahuan terhadap Sunnah. Hal ini seperti diingatkan oleh sebuah hadits shahih, “Manusia menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin”.
Menurut asy-Syathibi, setiap orang itu mengetahui terhadap dirinya apakah ilmunya sampai pada derajat menjadi mufti atau tidak. Ia juga mengetahui apabila melakukan introspeksi diri ketika ditanya tentang sesuatu, apakah ia berpendapat dengan ilmu pengetahuan yang terang tanpa kekaburan atau bahkan sebaliknya. Ia juga mengetahui ketika dirinya meragukan ilmu yang dimilikinya. Oleh karena itu, menurut asy-Syathibi: “Seorang alim apabila keilmuannya belum diakui oleh para ulama, maka kealimannya dianggap tidak ada, sampai akhirnya para ulama menyaksikan kealimannya.”
Kaitannya dengan aliran Wahhabi, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, sang pendiri aliran Wahhabi sendiri, termasuk orang yang tidak jelas kealimannya. Tidak seorang pun dari kalangan ulama yang semasa dengan Syaikh Muhammad, yang mengakui kealimannya. Bahkan menurut Syaikh Ibn Humaid dalam ash-Suhub al-Wabilah, kitab yang menghimpun biografi para ulama madzhab Hanbali, Syaikh Muhammad sering dimarahi ayahnya, karena ia tidak rajin mempelajari ilmu fiqih seperti para pendahulu dan orang-orang di daerahnya.
Pernyataan Syaikh Ibn Humaid, diperkuat dengan pernyataan Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahhab, kakak kandung Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, yang mengatakan dalam kitabnya ash-Shawa’iq al-Ilahiyyah fi ar-Radd ‘ala al-Wahhabiyyah halaman 5: “Hari ini manusia mendapat ujian dengan tampilnya seseorang yang menisbatkan dirinya kepada al-Qur’an dan al-Sunnah dan menggali hukum dari ilmu-ilmu al-Qur’an dan Sunnah. Ia tidak peduli dengan orang yang berbeda dengannya. Apabila ia diminta membandingkan pendapatnya terhadap para ulama, ia tidak mau. Bahkan ia mewajibkan manusia mengikuti pendapat dan konsepnya. Orang yang menyelisihinya, dianggap kafir. Padahal tak satupun dari syarat-syarat ijtihad ia penuhi, bahkan demi Allah, 1 % pun ia tidak memiliknya. Meski demikian pandangannya laku di kalangan orang-orang awam. Inna lillah wainna ilaihi raji’un.”
Dewasa ini, para pengikut aliran Wahhabi atau Salafi, sebagian besar memang orang-orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan agama yang memadai. Ada kisah menarik berkaitan hal ini. Bahrul Ulum, teman saya yang tinggal di Surabaya, bercerita kepada saya:
“Suatu hari saya mendatangi Ustadz Mahrus Ali yang populer dengan mantan kiai NU, di rumahnya, Waru Sidoarjo. Ternyata Ustadz Mahrus Ali sedang menulis buku yang isinya mengharamkan ayam. Melihat tulisan tersebut, saya segera membuka Shahih al-Bukhari, dan di situ ada sebuah hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah Saw. pernah makan ayam. Saya tunjukkan kepada Ustadz Mahrus Ali, hadits dalam Shahih al-Bukhari itu sambil menyerahkan kitabnya. Ternyata, di luar dugaan, Ustadz Mahrus Ali bilang: “Hadits ini hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat saja.” Mendengar jawaban tersebut, saya terkejut. Ternyata Ustadz Mahrus Ali mengikuti logika orientalis, menolak otoritas hadits ahad.” Demikian cerita Bahrul Ulum.
Menurut saya, sebenarnya Mahrus Ali itu bukan bermaksud mengikuti logika orientalis. Ia hanya bermaksud menutupi rasa malunya saja dengan alas an bahwa hadits tersebut hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat saja. Sebab dalam logika Wahhabi, kedudukan hadits ahad (kebalikan hadits mutawatir) sama dengan hadits mutawatir, sama-sama menjadi pedoman dalam akidah dan hukum.
Sekitar dua tahun yang lalu, saya sering mendapat pertanyaan, mengapa LBM NU Jember tidak menulis bantahan terhadap buku-buku Mahrus Ali yang baru. LBM hanya membantah buku Mahrus Ali yang pertama.
Kami dari tim LBM NU Jember memang tidak menulis bantahan terhadap buku-buku Mahrus Ali yang baru, karena disamping buku-buku yang baru, dalil dan argumentasinya sama dengan buku yang pertama, juga dalam buku-buku yang baru, pendapat-pendapatnya banyak yang berangkat dari ketidaktahuan terhadap hadits-hadits Nabi Saw. yang terdapat dalam kitab-kitab hadits.
Misalnya dalam buku kedua, Mahrus Ali mengatakan: “Kini, saya tidak mau lagi mencium tangan guru-guru saya, karena saya tidak pernah melihat para sahabat mencium tangan Nabi shallallahu alaihi wasallam.” Pernyataan ini jelas menyingkap siapa sebenarnya Mahrus Ali. Bukankah hadits-hadits yang menerangkan bahwa para sahabat mencium tangan Nabi Saw. terdapat dalam kitab standart yang enam. Bahkan sebagian ulama ahli hadits dari generasi salaf, yaitu al-Imam al-Hafidz Abu Bakr Ibn al-Muqri’ al-Ashbihani, menulis kitab khusus tentang mencium tangan berjudul Juz’ fi Taqbil al-Yad. Tetapi Ustadz Mahrus Ali, seperti kebiasaan kaum Wahhabi, memang sangat mudah mendistribusikan vonis bid’ah dan syirik terhadap hal-hal yang tidak disetujuinya, tanpa mengetahui dalil-dalil yang semestinya.
e.   Menghujat Generasi Salaf
Menurut al-Imam asy-Syathibi, dari ketiga tanda-tanda aliran sesat di atas, tanda yang pertama diterangkan dalam hadits-hadits iftiraq (yang menerangkan tentang perpecahan umat Islam). Sedangkan tanda-tanda kedua dan ketiga, yaitu mengikuti teks mutasyabihat dan hawa nafsu, tidak diterangkan dalam hadits-hadits iftiraq, akan tetapi disebutkan dalam ayat al-Qur’an (QS. Ali Imran ayat 7).
Selain hal tersebut, asy-Syathibi juga menerangkan bahwa ciri khas ahli bid’ah dapat diketahui dari awal pembicaraan. Yaitu setiap bertemu orang lain, ia akan membeberkan kejelekan orang-orang terdahulu yang dikenal alim, saleh dan menjadi panutan umat. Sebaliknya ia akan menyanjung setinggi langit, orang-orang yang berbeda dengan para tokoh panutan tersebut.
Dalam hal ini asy-Syathibi memberikan contoh bagi kita, bagaimana kaum Khawarij mengkafirkan para sahabat Nabi Saw. Padahal para sahabat telah dipuji oleh Allah dalam al-Qur’an dan dipuji oleh Rasulullah Saw. dalam hadits-hadits shahih. Sebaliknya, kaum Khawarij justru memuji Abdurrahman bin Muljam al-Muradi karena telah membunuh Sayidina Ali Ra.
Perbuatan serupa juga dilakukan oleh orang-orang Syi’ah. Syi’ah telah menghujat dan mengkafirkan para sahabat. Menurut Syi’ah, seperti dalam riwayat al-Kulaini dalam Ushul al-Kafi: “Sesudah Nabi Saw. wafat, semua sahabat menjadi murtad kecuali tiga orang saja, yaitu Salman al-Farisi, Abu Dzar al-Ghifari dan Miqdad bin al-Aswad.”
Sementara kaum Wahhabi, secara ekslpisit tidak mengkafirkan para sahabat dan generasi salaf. Namun dari pandangan mereka yang membid’ahkan dan mengkafirkan beberapa amaliah generasi salaf sejak masa sahabat, tabi’in dan generasi penerusnya, seperti amaliah tawassul, istighatsah, tabarruk dan lain-lain, sebagian ulama menganggap kaum Wahhabi telah membid’ahkan dan mengkafirkan generasi salaf secara implisit. Bukankah amaliah tawassul, tabarruk, istighatsah dan lain-lain yang menjadi isu-isu kontroversi antara kaum Sunni dengan Wahhabi, telah diajarkan oleh kaum salaf, generasi sahabat, tabi’in dan generasi sesudahnya. Sebaliknya, kaum Wahhabi justru menganggap orang-orang Musyrik seperti Abu Jahal, Abu Lahab dan lain-lain lebih mantap tauhidnya dari pada kaum Muslimin yang bertawassul.
Belakangan, dari kaum Wahhabi kontemporer tidak sedikit terlontar pernyataan tokoh-tokoh mereka yang menistakan generasi salaf secara parsial (juz’i). Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, misalnya menganggap sahabat Bilal bin al-Harits al-Muzani Ra. telah musyrik, dalam komentarnya terhadap kitab Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari karena melakukan istighatsah di makam Rasulullah Saw. pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab Ra.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin dalam fatwanya, menganggap al-Imam an-Nawawi dan al-Hafidz Ibn Hajar al-’Asqalani bukan pengikut Ahlussunnah.
Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam fatwanya mengkafirkan al-Imam al-Bukhari karena melakukan ta’wil terhadap ayat mutasyabihat dalam al-Qur’an. Dalam kitab at-Tawassul Ahkamuhu wa Anwa’uhu, al-Albani juga mencela Sayyidah ‘Aisyah, dan menganggapnya tidak mengetahui kesyirikan.
Syaikh Ahmad bin Sa’ad bin Hamdan al-Ghamidi, menganggap al-Imam al-Hafidz al-Lalika’i, pengarang kitab Syarh Ushul I’tiqad Ahlussunnah wa al-Jama’ah, tidak bersih dari kesyirikan.
Demikian sekelumit contoh penistaan tokoh-tokoh Wahhabi terhadap generasi salaf dan para ulama terkemuka secara parsial.
f.    Sulit Diajak Dialog Terbuka
Pada bulan Maret 2008, tim LBM NU Jember mengajak Mahrus Ali untuk berdialog dan berdebat secara terbuka di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Hasilnya, dengan berbagai alasan Mahrus Ali tidak siap datang.
Sesudah itu, beberapa kali ia diajak dialog di Universitas Diponegoro Semarang, kemudian di Universitas Brawijaya Malang, ia juga tidak siap. Dan terakhir dia diajak dialog di masjid di sebelah rumah tempat tinggalnya, ternyata ia tidak datang. Sepertinya ia tidak berani berdialog terbuka dengan para ulama, karena ia merasa yakin bahwa dalil-dalil yang dimilikinya sangat lemah sekali dan tidak akan mampu bertahan di arena perdebatan ilmiah
Al-Imam asy-Syathibi menjelaskan dalam al-I’tisham, bahwa sebagian besar kaum ahli bid’ah dan pengikut aliran sesat tidak suka berdialog dan berdebat dengan pihak lain. Menurut asy-Syathibi, mereka tidak akan membicarakan pendapatnya dengan orang yang alim, khawatir kelihatan kalau pendapat mereka tidak memiliki landasan dalil syar’i yang otoritatif. Sikap yang mereka tampakkan ketika bertemu dengan orang alim adalah sikap pura-pura. Tetapi ketika mereka bertemu dengan orang awam, mereka akan mengajukan sekian banyak kritik dan sanggahan terhadap ajaran dan amaliah umat Islam yang sesuai dengan syari’at. Sedikit demi sedikit, mereka masukkan ajaran bid’ahnya kepada kalangan awam.
Dalam beberapa kali diskusi dengan kaum Wahhabi, seperti awal Agustus 2010 di Sampang, beberapa bulan sebelumnya di Yogyakarta dan Juli 2010 di Denpasar, tidak sedikit dari kalangan Wahhabi yang melontarkan pernyataan kepada saya, “Kita tidak perlu berdialog soal-soal khilafiyah antara Sunni dengan Wahhabi. Ini sama sekali tidak penting. Musuh kita orang-orang kafir, Amerika, Zionis dan lainnya yang dengan rapi berupaya menghancurkan umat Islam.”
Begitulah kira-kira ucapan mereka. Tentu saja ucapan itu mereka lontarkan ketika posisi mereka terdesak dalam arena perdebatan dan diskusi ilmiah yang disaksikan oleh publik. Mereka merasa khawatir, pandangan-pandangan mereka yang keluar dari mainstream kaum Muslimin akan terbongkar kelemahan dan kerapuhannya.
Terbukti, mereka sendiri ketika berbicara di hadapan orang awam, tidak pernah berhenti membid’ahkan dan mengkafirkan umat Islam di luar golongan mereka. Bahkan selama ini, kelompok mereka sangat agresif membicarakan dan menyebarkan isu-isu khilafiyah antara Sunni dengan Wahhabi, maupun dengan lainnya.
Al-Imam asy-Syathibi berkata dalam al-I’tisham: “Jangan berharap mereka (ahli bid’ah) akan berdialog dengan seorang alim yang pakar dalam ilmunya.”


BAB VII
ISTIGHATSAH DAN TAWASSUL

Hakekat Istighatsah dan Tawassul
Para ulama seperti al-Imam al-Hafidz Taqiyyuddin as-Subki menegaskan bahwa tawassul, istisyfa’, istighatsah, isti’anah, tajawwuh dan tawajjuh, memiliki makna dan hakekat yang sama. Mereka mendefinisikan tawassul (dan istilah-istilah lain yang sama) dengan definisi sebagai berikut: “Memohon datangnya manfaat (kebaikan) atau terhindarnya bahaya (keburukan) kepada Allah dengan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan (ikram) keduanya”. (Al-Hafidz al-’Abdari, ash-Syarh al-Qawim halaman 378).
Sebagian kalangan memiliki persepsi bahwa tawassul adalah memohon kepada seorang Nabi atau Wali untuk mendatangkan manfaat dan menjauhkan bahaya dengan keyakinan bahwa Nabi atau Wali itulah yang mendatangkan manfaat dan menjauhkan bahaya secara hakiki. Persepsi yang keliru tentang tawassul ini kemudian membuat mereka menuduh orang yang bertawassul kafir dan musyrik. Padahal hakekat tawassul di kalangan para pelakunya adalah memohon datangnya manfaat (kebaikan) atau terhindarnya bahaya (keburukan) kepada Allah subhanahu wata’ala dengan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan keduanya.
Ide dasar dari tawassul ini adalah sebagai berikut: Allah subhanahu wa ta’ala telah menetapkan bahwa biasanya urusan-urusan di dunia ini terjadi berdasarkan hukum kausalitas; sebab akibat. Sebagai contoh, Allah subhanahu wata’ala sesungguhnya Maha Kuasa untuk memberikan pahala kepada manusia tanpa beramal sekalipun, namun kenyataannya tidak demikian. Allah subhanahu wata’ala memerintahkan manusia untuk beramal dan mencari hal-hal yang mendekatkan diri kepadaNya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” (QS. al-Baqarah ayat 45).
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman: “Dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepadaNya (Allah).” (QS. al-Maidah ayat 35). Ayat ini memerintahkan untuk mencari segala cara yang dapat mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wata’ala. Artinya, carilah sebab-sebab tersebut, kerjakanlah sebab-sebab itu, maka Allah subhanahu wata’ala akan mewujudkan akibatnya. Allah subhanahu wata’ala telah menjadikan tawassul dengan para Nabi dan Wali sebagai salah satu sebab dipenuhinya permohonan hamba. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala Maha Kuasa untuk mewujudkan akibat tanpa sebab-sebab tersebut. Oleh karena itu, kita diperkenankan bertawassul dengan para Nabi dan Wali dengan harapan agar permohonan kita dikabulkan oleh Allah subhanahu wata’ala.
Jadi, tawassul adalah sebab yang dilegitimasi oleh syara’ sebagai sarana dikabulkannya permohonan seorang hamba. Tawassul dengan para Nabi dan Wali diperbolehkan baik di saat mereka masih hidup atau mereka sudah meninggal. Karena seorang mukmin yang bertawassul, tetap berkeyakinan bahwa tidak ada yang menciptakan manfaat dan mendatangkan bahaya secara hakiki kecuali Allah subhanahu wata’ala. Para Nabi dan para Wali tidak lain hanyalah sebab dikabulkannya permohonan hamba karena kemuliaan dan ketinggian derajat mereka. Ketika seorang Nabi atau Wali masih hidup, Allah subhanahu wata’ala yang mengabulkan permohonan hamba. Demikian pula setelah mereka meninggal, Allah subhanahu wata’ala juga yang mengabulkan permohonan seorang hamba yang bertawassul dengan mereka, bukan Nabi atau Wali itu sendiri. Sebagaimana orang yang sakit pergi ke dokter dan meminum obat agar diberikan kesembuhan oleh Allah subhanahu wata’ala, meskipun keyakinannya pencipta kesembuhan adalah Allah subhanahu wata’ala, sedangkan obat hanyalah sebab kesembuhan.
Jika obat adalah contoh sabab ‘âdi (sebab-sebab alamiah), maka tawassul adalah sabab syar’i (sebab-sebab yang diperkenankan syara’).
Syaikh Majdi Ghassan Ma’ruf al-Husaini, seorang ulama Ahlussunnah wal Jama’ah dari Lebanon bercerita:
“Suatu ketika seorang Wahhabi dengan beraninya berkata kepada saya: “Mengapa kalian selalu beristighatsah dengan mengucapkan “Ya Muhammad”. Ucapkan saja “Ya Allah”, tanpa perantara!”
Saya bertanya, “Kalau Anda terserang sakit kepala, apa yang Anda lakukan?”
Ia menjawab: “Saya minum dua tablet obat sakit kepala.”
Saya berkata: “Mengapa Anda melakukan itu? Bukankah Allah itu Maha Penyembuh? Mengapa Anda tidak langsung saja berdoa kepada Allah, “Ya Allah, ya Syafi isyfini (Ya Allah, Dzat Yang Maha Penyembuh, sembuhkanlah aku)”. Mengapa Anda membuat perantara dan sebab musabab untuk kesembuhan antara anda dengan Allah? Kalau Anda minum dua tablet obat tersebut sebagai perantara kesembuhan Anda, maka kami Ahlussunnah wal Jama’ah menjadikan Muhammad Saw. sebagai perantara kami, dan beliaulah perantara yang paling agung.”
Akhirnya, Wahhabi tersebut tidak dapat menjawab.

Debat Publik di Melbourne Australia
Abdurrahman Dimasyqiyat adalah salah satu tokoh Wahhabi kelahiran Lebanon. Nama lengkapnya Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyat. Karya-karyanya mulai populer di kalangan Wahhabi Indonesia. Bahkan banyak pula tulisannya yang dipublikasikan melalui program software Maktabah Syamilah. Tetapi dari kalangan Wahhabi sendiri tidak banyak yang tahu siapa sebenarnya Abdurrahman Dimasyqiyat. Masa lalunya penuh dengan skandal. Di setiap tempat yang pernah disinggahinya, ia selalu bikin ulah. Lidahnya selalu menghujat umat Islam, generasi salaf (terdahulu) maupun generasi khalaf (terkemudian). Kerjanya, merubah ajaran agama. Mencela para kekasih Allah subhanahu wata’ala. Menyerang orang-orang saleh. Kebiasaannya, mencela orang-orang yang baik. Ia lupa bahwa Allah subhanahu wata’ala telah berfirman dalam hadits qudsi: “Barangsiapa yang memusuhi kekasihKu, maka Aku deklarasikan perang terhadapnya.”
Akibat ulahnya, akhirnya orang-orang banyak tahu kebusukan masa lalunya. Petualangannya dengan wanita-wanita cantik dan kegemarannya mengikuti para biduanita menjadi obrolan dari mulut ke mulut. Banyak pula yang membicarakan kisah-kisah kelamnya ketika di Universitas al-Azhar Cabang Lebanon dulu, dalam pemeriksaan yang suaranya direkaman-rekamannya masih ada sampai sekarang, dan saksi-saksinya masih hidup, dimana dalam rekaman itu ia mengakui telah melakukan perbuatan asusila, yaitu melakukan homo sex, yang dituduhkan kepadanya. Akibatnya, ia pun dikeluarkan dari al-Azhar Lebanon pada tahun 1972. Kasus itu, diakuinya sendiri.
Abdurrahman Dimasyqiyat tidak menepis kejadian itu. Ia tidak menutup-nutupi aib dirinya. Bahkan tanpa merasa malu ia berterus-terang telah melakukannya. Seakan-akan ia bangga dengan perbuatannya. Dengan enteng ia berkata, “Pada waktu itu aku masih belum baligh, catatan amal masih belum berlaku bagiku.”
Tentu saja pengakuan seperti ini tidak aneh dari seseorang yang telah memutus hubungan dengan kerabatnya. Menyakiti kedua orang tuanya. Selalu gagal mencari pekerjaan yang mendatangkan hasil yang halal di Lebanon dan di Perancis.
Akhirnya, apa boleh dikata, Abdurrahman Dimasyqiyat menjulur-julurkan lidahnya di belakang uang logam dan dolar sebagai penulis bayaran kaum Wahhabi. Ia memulung sisa-sisa makanan di bawah meja orang-orang gendut berperut besar dan berhati keras sekeras batu. Yaitu kaum Musyabbihah (kaum yang menyerupakan Allah dengan makhlukNya) dan kaum anti tawassul.
Di antara mukjizat Rasulullah Saw. adalah sabda beliau yang memperingatkan umatnya agar berhati-hati dengan kaum Wahhabi sebelum kemunculan mereka. Nabi Saw. Bersabda: “Kepala kekafiran muncul di arah timur.” Dalam hadits lain, Rasulullah Saw. menunjuk ke arah timur, daerah Najd, dan bersabda: “Fitnah akan muncul dari sana, fitnah akan muncul dari sana, dan diucapkannya sampai tiga kali”. Kedua hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari.
Akhirnya semua orang tahu siapa sebenarnya Abdurrahman Dimasyqiyat. Identitasnya terungkap di Swedia. Ia melarikan diri dari perdebatan setelah menyetujui kesepakatan pada waktu yang dijanjikan. Kemudian ia mengira bahwa pengikut kebenaran melupakannya begitu saja ketika ia di Australia. Ternyata Abdurrahman Dimasyqiyat menyetujui debat publik bersama Syaikh Salim Alwan al-Hasani. Namun kemudian Dimasyqiyat takut, ragu-ragu dan berupaya menghindar. Sementara pengikutnya melakukan teror dan ancaman. Akan tetapi takdir Allah subhanahu wata’ala pasti terjadi. Akhirnya perdebatan terjadi. Kebenaran tampak dan kebatilan sirna. Sesungguhnya kebatilan pasti sirna.
Abdurrahman Dimasyqiyat telah berkali-kali diminta melalui radio dan surat kabar, agar siap berdebat. Namun ia selalu melarikan diri. Akhirnya ia pun terpaksa datang karena takut malu. Ia datang ke Aula Universitas Melbourne pada tanggal 9 November 1994. Di Aula itu telah disiapkan meja untuk Syaikh Salim Alwan dan Syaikh Abdurrahman al-Harari. Di depannya ada meja yang disiapkan untuk Abdurrahman Dimasyqiyat dan dua orang temannya. Di tengah meja itu ada mimbar untuk moderator.
Yang menarik perhatian, pada waktu itu Abdurrahman Dimasyqiyat membawa komputer yang sering digunakannya untuk mengeluarkan dalil-dalilnya yang lemah. Sepertinya ia memang tidak hapal teks dan tidak menguasai banyak persoalan. Kemampuannya hanya mengulang-ulang pernyataan orang yang menjadi sutradara di belakangnya, yaitu kaum Wahhabi.
Perdebatan dimulai. Syaikh Salim melontarkan pertanyaan kepada Abdurrahman Dimasyqiyat: “Kalian kaum Wahhabi menghukumi bahwa memanggil orang yang tidak ada di depannya atau memanggil orang mati (nida’ al-ghaib aw al-mayyit), seperti berkata “Ya Muhammad, atau ya Rasulallah (wahai Muhammad atau wahai Rasulullah)”, itu syirik akbar (besar) sebagaimana ditetapkan oleh Ibn Abdil Wahhab an-Najdi dalam kitab al-Ushul ats-Tsalatsah. Sekarang, ini al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam al-Adab al-Mufrad, bahwa Abdullah bin Umar pada suatu hari kakinya mengalami mati rasa. Lalu ada orang berkata kepada beliau, “Sebutkan orang yang paling Anda cintai.” Lalu Ibn Umar berkata, “Ya Muhammad (Wahai Muhammad)”. Maka seketika itu kakinya sembuh. Apakah kalian kaum Wahhabi akan mencabut pendapat kalian. Dan ini yang kami kehendaki. Atau kalian akan memutuskan bahwa Abdullah bin Umar, al-Imam al-Bukhari, para perawi al-Bukhari, dan bahkan Ibn Taimiyah yang kalian sebut Syaikhul Islam, dan al-Albani pemimpin kalian, mereka semuanya kafir. Coba renungkan inkonsistensi Wahhabi ini. Pendapat mereka dapat mengkafirkan pemimpin-pemimpin mereka sendiri, yaitu Ibn Taimiyah dan al-Albani, bahkan mengkafirkan seluruh umat Islam, antara lain sahabat Abdullah bin Umar, dan sahabat-sahabat lainnya.”
Mendengar pertanyaan Syaikh Salim, mulailah serangkaian kebohongan Abdurrahman Dimasyqiyat. Setelah Syaikh Salim mengajukan pertanyaan tersebut, Dimasyqiyat kebingungan. Lalu ia berkata: “Lafal “Ya Muhammad”, hanya terdapat dalam naskah cetakan kitab al-Adab al-Mufrad yang ditahqiq Ustadz Kamal al-Hut. Dalam naskah-naskah lain, yang ada hanya lafal “Muhammad”, tanpa “Ya” untuk memanggil.”
Mendengar pernyataan Dimasyqiyat, Syaikh Salim segera mengeluarkan beberapa naskah al-Adab al-Mufrad yang dicetak oleh percetakan-percetakan lain. Ternyata, semuanya sepakat memakai redaksi “Ya Muhammad”. Sehingga hal tersebut membuktikan kebohongan Dimasyqiyat. Kemudian, Dimasyqiyat semakin terkejut, ketika Syaikh Salim memperlihatkan naskah kitab al-Kalim ath-Thayyib karangan Ahmad bin Taimiyah al-Harrani, panutan kaum Wahhabi yang mereka sebut Syaikhul Islam. Dimana dalam kitab tersebut Ibn Taimiyah menyebutkan hadits Ibn Umar di bawah judul, “Bab yang diucapkan seseorang ketika kakinya mati rasa”. Naskah ini dicetak oleh kaum Wahhabi dan dikoreksi oleh Nashiruddin al-Albani, pemimpin mereka yang kontradiktif, yang menganggap perbuatan Ibn Umar itu syirik dan menentang tauhid.
Dimasyqiyat telah berusaha mengingkari lafal “Ya” yang terdapat dalam hadits Ibn Umar dengan redaksi “Ya Muhammad”. Dimasyqiyat berkata, bahwa ia telah mencari lafal “Ya”, ternyata tidak menemukannya.
Akhirnya Syaikh Salim berkata: “Al-Albani, pemimpin kalian yang kontradiktif, berkata dalam al-Kalim ath-Thayyib halaman 120 dalam mengomentari hadits “Ya Muhammad” yang disebutkan dan dianjurkan oleh Ibn Taimiyah untuk diamalkan, sebagaimana terbaca dari judul kitabnya al-Kalim ath-Thayyib (kalimat-kalimat yang baik). Al-Albani berkata: “Kami memilih menetapkan “Ya”, karena sesuai dengan sebagian manuskrip yang kami temukan.”
Anda telah gagal wahai Dimasyqiyat. Kami menuntut Anda berdasarkan pimpinan-pimpinan Anda yang kontradiktif, dimana al-Albani menemukan manuskrip yang di dalamnya terdapat lafal “Ya Muhammad”, lalu dia anggap menentang tauhid dan termasuk perbuatan syirik menurut asumsinya. Coba Anda lihat (halaman 16 kitab al-Kalim ath-Thayyib), yang dicetak di percetakan asy-Syawisy al-Wahhabi dengan nama al-Maktab al-Islami, ta’liq (komentar) Nashiruddin al-Albani, pemimpin Wahhabi yang kontradiktif. Pernyataan al-Albani menjadi dalil yang menggugat Anda dan dia sendiri.
Kemudian Syaikh Salim memperlihatkan naskah tersebut dan berkata kepada Abdurrahman Dimasyqiyat: “Aku ulangi pertanyaanku lagi kepada Anda, untuk mengingatkan bahwa Ibn Taimiyah menyebut atsar (hadits) ini dan menetapkannya. Ia tidak menjadikannya sebagai kesyirikan dan kekufuran. Bagaimana komentar Anda. Adakalanya Anda mengatakan bahwa Abdullah bin Umar, al-Bukhari sampai pimpinanmu, Ibn Taimiyah adalah orang-orang sesat dan kafir. Atau Anda mencabut pendapat Anda?”
Mendengar pertanyaan tersebut, Dimasyqiyat menjadi gagap. Ia tidak menjawab pertanyaan. Tetapi beralih pada tema-tema lain. Lalu Syaikh Salim mengingatkan kepada hadirin, bahwa Dimasyqiyat menghindar dari jawaban. Kemudian Syaikh Salim mengulangi pertanyaannya yang tadi dengan pertanyaan tambahan. Yaitu riwayat hadits seorang tuna netra yang diajari oleh Rasulullah Saw. agar berdoa, “Ya Muhammad, sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhanku dengan perantara dirimu.” Hal ini agar dilakukan bukan di hadapan Rasul Saw. Hadits ini shahih, riwayat ath-Thabarani dan lainnya. Ath-Thabarani dan lainnya juga menilainya shahih.
Syaikh Salim berkata: “Apakah Anda berasumsi wahai Abdurrahman, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah mengajarkan kesyirikan, dan bahwa sahabat yang menjadi perawi hadits tersebut serta al-Imam ath-Thabarani mengajarkan kesyirikan? Jelas ini tidak mungkin.”
Mendapat pertanyaan tersebut, tampak sekali Abdurrahman Dimasyqiyat lemah, dimana moderator mengingatkan bahwa ia berupaya beralih dari jawaban, dan kelemahannya jelas sekali.
Di tengah dialog tersebut, Abdurrahman Dimasyqiyat mengakui bahwa ia telah menulis beberapa kitab untuk membantah al-Muhaddits al-Habasyi. Akan tetapi ia menerbitkannya dengan memakai nama orang lain, seakan-akan mereka yang menulisnya. Diantaranya kitab ar-Radd ‘ala Abdillah al-Habasyi, karya penulis palsu Abdullah asy-Syami.
Anehnya, laki-laki ini menghendaki agar orang-orang percaya sama dia. Padahal ia mengakui sendiri telah berbuat bohong dan merekayasa dengan menulis buku yang dinisbatkan kepada nama-nama fiktif.
Setelah itu, Syaikh Salim mengulangi menyebut hadits laki-laki tuna netra tersebut yang isinya, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu dan menghadapkan diriku kepadaMu dengan perantara NabiMu, Muhammad, nabi pembawa rahmat”, serta menyebutkan para hafidz yang menilainya shahih. Ternyata Abdurrhman Dimasyqiyat juga mengakui bahwa hadits tersebut shahih.
Lalu Syaikh Salim berkata: “Bagaimana kalian melarang manusia bertawassul dengan Rasul shallallahu alaihi wasallam bukan di hadapannya, padahal Rasul shallallahu alaihi wasallam telah mengajarkan laki-laki tuna netra tadi untuk bertawassul dengan beliau bukan di hadapannya? Apakah kalian akan mencabut keyakinan kalian. Atau kalian mengira bahwa kalian lebih pandai daripada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam?”
Mendengar pertanyaan tersebut, Wahhabi yang berperilaku aneh itu kebingungan. Ia kemudian berbicara banyak, tetapi tidak berkaitan dengan topic pertanyaan. Kemudian Syaikh Salim mengulangi pertanyaannya, serta mengingatkan hadirin bahwa Dimasyqiyat melarikan diri dari jawaban.
Di sini, Abdurrahman Dimasyqiyat mengalihkan pembicaraan pada kebohongan lain. Ia bermaksud mencela Syaikh al-Harari, untuk menutupi kegagalannya. Ia berkata kepada Syaikh Salim: “Bagaimana Syaikh Abdullah mentahqiq kitab, yang di dalamnya terdapat redaksi bahwa sebagian auliya berkata kepada sesuatu “kun fayakuun”, tanpa menentang redaksi tersebut, serta mengingatkan rusaknya redaksi tersebut. Kitab tersebut telah dicetak dan saya punya kopiannya.”
Mendengar pernyataan tersebut, moderator melakukan intervensi, dan meminta kopian itu agar isinya bisa diperlihatkan kepada hadirin. Ternyata semua yang hadir terkejut. Karena sampul kitab tersebut membuktikan kebohongan Dimasyqiyat. Kitab tersebut bukan ditahqiq oleh Syaikh Abdullah. Kitab tersebut justru ditahqiq dan dikoreksi oleh orang lain, bernama Husain Nadzim al-Hulwani, dan diberi kata pengantar oleh Syaikh Muhammad al-Hasyimi, bukan Syaikh al-Harari.
Di sini, untuk menambah jelas kelemahan dan keanehan ahli bid’ah ini, Syaikh Salim berkata kepada Dimasyqiyat: “Kalian kaum Wahhabi mengkafirkan orang yang mengusap mimbar Nabi shallallahu alaihi wasallam atau makam Nabi shallallahu alaihi wasallam. Kalian mengklaim mengikuti golongan Hanabilah, berpegang teguh dengan madzhab al-Imam Ahmad bin Hanbal. Padahal Ahmad bin Hanbal berkata, “Boleh mengusap mimbar Nabi shallallahu alaihi wasallam, dan pusar yang ada di mimbar itu.” Bahkan Ibn Taimiyah berkata dalam kitab yang dinamakannya Iqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim (halaman 367 terbitan Mathabi’ al-Majd at-Tijariyyah), “Ahmad dan lainnya memberikan keringanan dalam mengusap mimbar dan pusar mimbar itu yang merupakan tempat duduk dan tangan Nabi shallallahu alaihi wasallam.” Bagaimana pendapat kalian? Apakah kalian mengkafirkan al-Imam Ahmad, dimana kalian mengklaim mengikuti madzhabnya? Atau kalian mengkafirkan Ibn Taimiyah yang kalian sebut Syaikhul Islam? Bukankah ini sebuah inkonsistensi?”
Mendengar pertanyaan ini, Dimasyqiyat yang ahli bid’ah itu tidak bisa menjawab. Ia tampak sekali kelemahannya. Lebih-lebih setelah Syaikh Salim menambah penjelasan dengan menyebut kutipan al-Mirdawi al-Hanbali bahwa Ibrahim bin Ishaq al-Harbi, seorang imam mujtahid berkata: “Disunnatkan mencium hujrah (makam) Nabi shallallahu alaihi wasallam.” Untuk mengalihkan persoalan, dan menjaga raut mukanya, yang tampak sangat pucat sekali, Dimasyqiyat bertanya kepada Syaikh Salim tentang firman Allah subhanahu wata’ala: “Allah Yang Maha Pengasih beristawa terhadap ‘Arsy.”
Mendengar pertanyaan tersebut, Syaikh Salim menjelaskan persoalan tersebut dengan sejelas-jelasnya. Beliau memaparkan pendapat Ahlussunnah wal Jama’ah mengenai hal itu, bahwa istiwa’ Allah subhanahu wata’ala terhadap ‘Arsy bukan seperti istiwa’nya makhluk. Istiwa’ dalam ayat tersebut, bukan diartikan duduk dan bukan pula menetap. Akan tetapi istiwa’ tersebut adalah suatu makna yang layak bagi Allah subhanahu wata’ala, yang tidak menyerupai makna istiwa’ ketika disandarkan kepada makhluk, sebagaimana dalam perkataan al-Imam Ahmad bin Hanbal, “Allah beristawa sebagaimana yang diceritakan dalam al-Qur’an, bukan seperti yang terlintas dalam benak manusia.” Meskipun Mu’tazilah sama dengan Ahlussunnah dalam menafsrikan istiwa’ dengan makna menguasai (al-qahr) dalam ayat ini, maka hal tersebut tidak bisa dibuat alasan mencela Ahlussunnah wal Jama’ah. Bukankah Mu’tazilah juga mengucapkan kalimat la ilaha illallah (tiada tuhan selain Allah). Apakah Ahlussunnah harus meninggalkan kalimat tersebut karena Mu’tazilah mengucapkannya? Tentu saja tidak.
Setelah perdebatan berjalan dua jam. Sementara penjelasan Syaikh Salim sangat bagus dan jitu. Sedangkan Dimasyqiyat, tidak mampu memberikan jawaban. Untuk menutupi rasa malu, Abdurrahman Dimasyqiyat diam. Kemudian para pengikut dan teman-teman Dimasyqiyat berdiri melakukan kerusuhan dan tindakan yang anarkis secara kolektif. Sehingga sebagian hadirin meminta mereka menghentikan tindakan brutal tersebut.
Setelah mereka tidak mengindahkan pengumuman, akhirnya para hadirin menekan mereka dan polisi mengumumkan selesainya acara. Akhirnya mereka mulai meninggalkan Aula Universitas Melbourne. Pada waktu itu, sebagian kaum Wahhabi berhasil merusak kamera yang merekam acara dialog. Akan tetapi, untung kaset rekamannya masih utuh dan dapat dipublikasikan sampai sekarang.

Bersama Syaikh Syu’aib al-Arnauth
Dialog ini adalah pengalaman pribadi Syaikh Walid as-Sa’id, seorang ulama Ahlussunnah di Timur Tengah, dengan Syaikh Syu’aib al-Arnauth, seorang ulama Damaskus, yang terpengaruh ajaran Wahhabi.
Syaikh Walid as-Sa’id bercerita. “Suatu hari saya mendatangi Syu’aib al-Arnauth di kantornya untuk berdiskusi tentang masalah tawassul dan istighatsah. Setelah saya bertemu dengannya, saya berbicara kepadanya tentang masalah tawassul dan saya ajukan hadits riwayat ath-Thabarani.
Syu’aib al-Arnauth berkata: “Hadits ini membolehkan bertawassul dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam ketika masa hidupnya.”
Saya berkata: “Hadits ath-Thabarani membolehkan bertawassul dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam ketika masa hidupnya dan sesudah meninggalnya. Demikian pula hadits Bilal bin al-Harits al-Muzani yang mendatangi makam Nabi shallallahu alaihi wasallam dan bertawassul dengannya sesudah wafatnya Nabi shallallahu alaihi wasallam.”
Ia berkata: “Hadits ini dha’if.”
Aku berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang shahih sebagaimana dikatakan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari. Demikian pula Ibnu Katsir menilainya shahih.”
Ia berkata: “Ibnu Hajar berkata, hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang shahih kepada Malik ad-Dar. Sedangkan Malik ad-Dar ini seorang perawi yang majhul (tidak diketahui kualitasnya). Jadi Malik ad-Dar ini tidak dapat dijadikan hujjah dalam periwayatan hadits.”
Aku berkata: “Malik ad-Dar ini diangkat oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab sebagai Bendahara Baitul Mal kaum Muslimin. Berarti menurut Anda, Khalifah Umar mengangkat seorang laki-laki yang tidak jelas kualitasnya, apakah dia dipercaya atau tidak, sebagai Bendahara negara?”
Mendengar sanggahan saya ini, ia terdiam dan tidak dapat menjawab. Akhirnya dia berbicara lagi kepada saya: “Secara pribadi saya berpendapat, dalam masalah tawassul ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jadi saya tidak menentang terhadap orang yang melakukannya. Adapun beristighatsah dengan selain Allah, hukumnya jelas haram. Seorang makhluk tidak boleh beristighatsah dengan sesama makhluknya.”
Aku berkata: “Kalau Anda berpendapat bahwa istighatsah terhadap sesame makhluk dilarang, lalu bagaimana pendapat Anda tentang hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya dari jalur Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Matahari akan mendekat pada hari Kiamat, sehingga keringat akan sampai pada separuh telinga. Maka ketika manusia dalam kondisi demikian, mereka beristighatsah (meminta pertolongan) dengan Nabi Adam.” (HR. al-Bukhari no. 1475).
Syu’aib berkata: “Hadits ini berkaitan dengan istighatsah ketika para nabi itu masih hidup, dan memang dibolehkan beristighatsah dengan mereka. Adapun sesudah mereka meninggal, maka tidak boleh beristighatsah dengan mereka.”
Aku berkata: “Kalau begitu, Anda berpendapat boleh beristighatsah dengan para nabi ketika mereka masih hidup?”
Ia menjawab: “Ya.”
Aku berkata: “Tolong jelaskan dalil ‘aqli atau dalil syar’i yang melarang beristighatsah dengan para nabi sesudah mereka meninggal dunia.”
Ia berkata: “Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya yang sedang aku tahqiq dan belum diterbitkan. Hadits tersebut adalah begini, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya tidak boleh beristighatsah denganku. Beristighatsah hanya kepada Allah.”
Aku berkata: “Kalau bergitu pernyataan Anda paradoks. Anda tadi berkata ketika saya sampaikan hadits Ibnu Umar (riwayat al-Bukhari), bahwa beristighatsah dengan para Nabi ketika mereka masih hidup, itu boleh. Sekarang Anda menyampaikan hadits kepada saya, bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam ketika masa hidupnya besabda, bahwasanya tidak boleh beristihgatsah denganku.”
Ia berkata: “Maaf, hadits ini dha’if. Jadi tidak dapat dijadikan hujjah.”
Ternyata hadits yang disampaikannya, ia ralat sendiri dan ia akui sebagai hadits dha’if. Kemudian ia berkata kepadaku: “Coba aku berikan contoh seorang imam di antara Imam Madzhab yang empat yang mendatangi suatu makam atau seorang Wali untuk bertabarruk atau beristighatsah dengannya.”
Saya berkata: “Al-Khathib al-Baghdadi telah meriwayatkan dalam Tarikh Baghdad dengan sanad yang shahih, bahwa al-Imam asy-Syafi’i berkata: “Saya senantiasa bertabarruk dengan Abu Hanifah. Saya selalu mendatangi makamnya setiap hari dengan berziarah. Apabila saya memiliki hajat, saya shalat dua raka’at, lalu saya datangi makamnya, saya berdoa kepada Allah tentang hajatku di sisi makam itu, sehingga tidak lama kemudian hajatku terkabul.”
Ia berkata dengan berteriak: “Riwayat ini tidak shahih. Dari mana Anda dapatkan riwayat ini?”
Kebetulan kitab Tarikh Baghdad ada di belakang punggungnya. Saya berkata kepadanya: “Tolong ambilkan kitab itu.”
Setelah kitab tersebut diserahkan kepada saya, saya bukakan riwayat tersebut dalam kitab itu dan saya perlihatkan kepadanya. Setelah ia melihat riwayat tersebut, ia merasa heran dan berkata kepada salah seorang pembantunya: “Tolong kualitas para perawi hadits ini dikaji.”
Dari sikapnya ini, tampak sekali, kalau ia telah mendidik orang-orang di sekitarnya berani melakukan koreksi terhadap hadits. Padahal mereka tidak punya kapasitas untuk itu. Kemudian pembantu itu datang menghampiri. Setelah beberapa lama masuk ke dalam, pembantu itu pun kembali dan berkata kepadanya dengan suara agak pelan: “Semua perawi hadits ini tsiqah (dapat dipercaya).”
Lalu saya berkata kepadanya: “Bagaimana hasil temuan Anda tentang semua perawi hadits ini?”
Ia menjawab: “Semua perawinya dapat dipercaya kecuali seorang perawi yang belum saya temukan data biografinya. Dengan demikian hadits ini dha’if, karena ada seorang perawi yang tidak diketahui kualitasnya.”
Saya berkata: “Bagaimana Anda menghukumi hadits ini dha’if, berdasarkan alasan Anda tidak menemukan data biografi seorang perawinya. Padahal dalam kaidah disebutkan, “Tidak menemukan data, tidak menjadi bukti bahwa data tersebut memang tidak ada.”
Dia berkata: “Apa maksud kaidah ini?”
Saya berkata: “Apabila Anda tidak menemukan data seorang perawi, itu bukan berarti perawi itu dinilai tidak diketahui kualitasnya dan dha’if.”
Ia berkata: “Kalau Anda bisa menemukan data perawi ini, saya kasih nilai sepuluh.” Lalu ia berkata: “Saya sekarang sibuk, jadi tidak mungkin meneliti data perawi ini.”
Lalu ia bertanya siapa namaku. Saya menjawab: “Namaku Walid as-Sa’id, murid Syaikh al-Harari.”
Demikianlah pandangan kaum Wahhabi yang mengkafirkan orang yang bertawassul dengan nabi atau wali. Pendapat mereka, selain rapuh, tidak memiliki dasar dari al-Qur’an dan hadits, juga berimplikasi pada pengkafiran terhadap Rasulullah Saw., para sahabat, para ulama salaf dan seluruh umat Islam selain golongannya. Na’udzu billah min dzalik.
Pandangan Wahhabi akan rapuh ketika dihadapkan dengan fakta, bahwa tawassul dengan Nabi yang sudah wafat telah diajarkan oleh Rasulullah Saw., para sahabat, generasi salaf, ahli hadits dan kaum Muslimin. Ihdina ash-shirath al-mustaqim.


BAB VIII
CERDAS BERMADZAB

Selektif dalam Bermadzhab
Mayoritas kaum Muslimin mengikuti pola bermadzhab dalam menjalankan kehidupan beragama sehari-hari. Di Indonesia, kaum Muslimin mengikuti madzhab al-Imam asy-Syafi’i dalam bidang fiqih, madzhab Abu al-Hasan al-Asy’ari dalam bidang akidah dan madzhab Hujjatul Islam al-Ghazali dan Abu al-Hasan asy-Syadzili dalam bidang tashawuf. Demikian seperti dijelaskan oleh Hadlratusysyaikh KH. Hasyim Asy’ari dalam Risalah Ahlussunnah wa al-Jama’ah.
Namun demikian pola bermadzhab ini tidak jarang disalahpahami oleh mereka yang anti madzhab. Menurut mereka, ketika seseorang itu mengikuti madzhab suatu imam, maka ia harus mengikutinya 100 % dari A sampai Z. Tentu saja langkah seperti ini tidak tepat dan tidak ada dalam logika beragama.
Dalam sebuah dialog terbuka di Masjid al-Mujahidin, Denpasar, seorang Wahhabi mengatakan kepada kami: “Kalau Anda memang mengikuti madzhab al-Imam asy-Syafi’i, seharusnya Anda tidak usah tahlilan dan selamatan selama 7 hari kematian. Karena al-Imam asy-Syafi’i sendiri berpendapat bahwa pahala bacaan al-Qur’an tidak akan sampai kepada mayit.” Demikian gugatan orang Wahhabi tadi terhadap kami.
Dalam mengikuti pola bermadzhab dengan mengikuti madzhab salah satu imam mujtahid, misalnya mayoritas umat Islam Indonesia mengikuti madzhab asy-Syafi’i, tidak berarti kita menyembah al-Imam asy-Syafi’i, dengan artian mengikuti seluruh pendapat beliau 100 % mulai dari A sampai Z.
Para ulama kita, yang menuntun kita mengikuti madzhab al-Imam asy-Syafi’I mengajarkan agar kita bermadzhab secara selektif dan korektif. Hal ini yang kita istilahkan dengan madzhab secara manhaji, atau bermadzhab dengan cerdas.
Al-Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan, murid terbaik dan penyebar madzhab al-Imam Abu Hanifah, menyelisihi gurunya (Abu Hanifah) dalam 2/3 madzhab. Akan tetapi keduanya tetap dianggap sebagai pengikut dan penyebar madzhab Hanafi.
Para ulama pengikut madzhab Maliki, dalam banyak masalah menyelisihi pendapat Imam Malik bin Anas, sang pendiri madzhab sendiri. Namun mereka tetap dianggap sebagai pengikut madzhab Maliki.
Dalam madzhab asy-Syafi’i sendiri, para ulama sepakat bahwa ketika terjadi perbedaan pendapat antara qaul qadim (pendapat lama), yaitu hasil ijtihad beliau ketika masih tinggal di Iraq, dengan qaul jadid (pendapat baru), yaitu hasil ijtihad beliau setelah tinggal di Mesir di akhir hayatnya, harus mengikuti qaul jaded sesuai dengan pesan al-Imam asy-Syafi’i sendiri. Akan tetapi sekitar dalam 12 masalah para ulama kita mengharuskan mengikuti qaul qadim, karena setelah dikaji dan diteliti, qaul qadim itu lebih kuat dalilnya dalam 12 masalah tersebut. Hal ini bukan berarti kita keluar dari madzhab al-Imam asy-Syafi’i. Tetapi mengikuti madzhab beliau dalam ijtihad yang kita pandang benar dan kuat dalil-dalilnya.
Kaitannya dengan pengiriman hadiah pahala tahlilan kepada mayit, memang ada riwayat yang sangat populer dari al-Imam asy-Syafi’i, bahwa beliau berpendapat, hadiah pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada mayit. Namun sebagian besar pengikut madzhabnya, berpendapat bahwa hadiah pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada mayit. Pendapat ini sesuai dengan pendapat al-Imam Ahmad bin Hanbal dan lain-lain. Oleh karena itu, siapapun tidak bisa menggugat pengikut madzhab asy-Syafi’i yang melakukan tradisi pengiriman hadiah pahala bacaan al-Qur’an dan lain-lain kepada mayit, selama mereka mengikuti pendapat lain yang dipandang lebih kuat dalilnya.
Perlu diketahui bahwa al-Imam asy-Syafi’i hanya berpendapat bahwa hadiah pahala bacaan al-Qur’an saja yang tidak sampai kepada mayit. Sedangkan hadiah pahala selainnya, seperti selamatan (sedekah), shalawat, tahlil, tasbih, tahmid, shalat, haji dan lainnya, al-Imam asy-Syafi’i berpendapat sampai. Oleh karena itu, hadiah pahala selamatan selama tujuh hari, menurut asy-Syafi’I pahalanya bisa sampai kepada mayit.

Kitab Al-Ibanah Karya Al-Asy’ari
Gugatan serupa juga saya terima dalam sebuah diskusi di Surabaya. Seorang tokoh Salafi dari Malang berkata: “Anda mengikuti madzhab al-Asy’ari, tetapi mengapa Anda tidak mengikuti pendapat al-Asy’ari yang terdapat dalam kitab al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah?”
Pada waktu itu saya jawab: “Bahwa kitab al-Ibanah yang ada sekarang tidak memiliki sanad yang shahih kepada al-Imam al-Asy’ari. Bahkan dari beberapa edisi kitab al-Ibanah yang ada, misalnya al-Ibanah yang diterbitkan oleh kaum Wahhabi di Saudi Arabia, edisi yang diterbitkan Dr. Fauqiyah Husain dan edisi al-Ibanah yang dikutip oleh al-Hafidz Ibn ‘Asakir ad-Dimasyqi dalam kitab Tabyin Kiddzb al-Muftari, terjadi perbedaan yang cukup serius. Sementara kitab al-Ibanah yang Anda jadikan dasar gugatan kepada kami para pengikut madzhabnya, adalah kitab al-Ibanah edisi terbitan kaum Wahhabi di Saudi Arabia. Jadi kitab al-Ibanah itu hampir mirip Bibel, semua edisi yang beredar, tidak ada yang sama, pasti terjadi perbedaan. Dan seandainya, kitab al-Ibanah yang ada tersebut memang shahih sanadnya kepada al-Imam al-Asy’ari, kami para pengikut madzhabnya tidak berkewajiban mengikutinya. Bukankah para ulama Asya’irah telah memilih pendapat lain yang berbeda dengan al-Ibanah tersebut (seandainya memang shahih). Hal ini sesuai dengan logika yang berlaku dalam ilmu hadits. Menurut al-Hafidz adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubala’ (juz 16 halaman 405), jika terdapat suatu hadits, sanadnya shahih, akan tetapi para ulama mujtahid tidak ada yang mengamalkannya, maka kita tidak boleh mengamalkan hadits tersebut. Jadi, hadits shahih saja, posisinya harus tidak diamalkan, ketika tidak seorang pun dari kalangan ulama mujtahid tidak mengamalkannya dalam ijtihad mereka. Apalagi hasil ijtihad seorang ulama seperti al-Imam al-Asy’ari. Ketika semua ulama pengikutnya tidak memakai, kita juga tidak memakai.” Al-Imam al-Hafidz Ibn Rajab al-Hanbali berkata dalam kitabnya, Bayan Fadhl ‘Ilm as-Salaf ‘ala ‘Ilm al-Khalaf halaman 57: “Adapun para imam dan fuqaha ahli hadits, mereka mengikuti hadits shahih di mana pun berada, apabila hadits tersebut diamalkan oleh para sahabat dan generasi sesudahnya, atau diamalkan oleh sekelompok mereka. Adapun hadits shahih yang disepakati ditinggalkan oleh kaum salaf, maka tidak boleh diamalkan. Karena mereka tidak meninggalkan hadits tersebut, melainkan setelah mengetahui bahwa hadits tersebut memang tidak diamalkan. Umar bin Abdul Aziz berkata: “Ikutilah pendapat yang sesuai dengan pendapat orang-orang sebelum kalian, karena mereka lebih tahu dari pada kalian.”

Meninggalkan Hadits Shahih
Setelah saya menyampaikan pernyataan di atas, bahwa hadits yang shahih sekalipun, ketika tidak seorang pun dari kalangan ulama mujtahid mengamalkannya, maka kita tidak boleh mengamalkan. Ada salah seorang Salafi bertanya: “Mengapa kita harus memilih pendapat seluruh ulama yang tidak mengamalkan hadits tersebut, padahal hadits tersebut shahih?”
Syaikh Ibn Taimiyah, menulis sebuah kitab berjudul Raf’u al-Malam ‘an al-Aimmah al-A’lam. Dalam kitab tersebut Ibn Taimiyah mengemukakan sepuluh alasan, mengapa seorang mujtahid terkadang menolak mengamalkan suatu hadits dan memilih berijtihad sendiri. Menarik untuk dikemukakan di sini, setelah memaparkan sepuluh alasan tersebut, Syaikh Ibn Taimiyah berkata begini (lihat pada kitab beliau tersebut halaman 35): “Dalam sekian banyak hadits yang ditinggalkan, boleh jadi seorang ulama meninggalkan suatu hadits karena ia memiliki hujjah (alasan) yang kita tidak mengetahui hujjah itu, karena wawasan keilmuan agama itu luas sekali, dan kita tidak mengetahui semua ilmu yang ada dalam hati para ulama. Seorang ulama terkadang menyampaikan alasannya, dan terkadang pula tidak menyampaikannya. Ketika ia menyampaikan alasannya, terkadang sampai kepada kita, dan terkadang tidak sampai. Dan ketika alasan itu sampai kepada kita, terkadang kita tidak dapat menangkap alasan yang sesungguhnya (maudhi’ ihtijajihi), dan terkadang dapat menangkapnya.”

Hadits Shahih Pasti Madzhabku
Dalam sebuah diskusi di Denpasar, ketika membicarakan pendapat al-Imam asy-Syafi’i tentang bid’ah, dimana beliau membagi bid’ah menjadi dua, yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, Ustadz Husni Abadi, seorang tokoh Wahhabi menggugat kepada kami: “Kita harus mengikuti hadits shahih. Bukan mengikuti ulama. Al-Imam asy-Syafi’i sendiri berkata, “Idza shahha al-hadits fahuwa madzhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah madzhabku)”.
Maksud pernyataan Ustadz Husni tersebut, hadits shahih menyatakan bahwa bid’ah itu tidak terbagi menjadi dua. Sementara pendapat asy-Syafi’i yang membagi bid’ah menjadi dua bertentangan dengan hadits shahih tersebut. Oleh karena itu, sesuai dengan pesan asy-Syafi’i sendiri yang mengatakan, “apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah madzhabku”, Husni mengajak kami meninggalkan pembagian bid’ah menjadi dua dan mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa bid’ah itu tidak terbagi-bagi. Tentu saja asumsi Ustadz Husni tersebut tidak dapat dibenarkan. Tidak ada korelasi antara pernyataan al-Imam asy-Syafi’i di atas dengan pendapat beliau yang membagi bid’ah menjadi dua.
Para ulama menjelaskan, bahwa maksud perkataan al-Imam asy-Syafi’i, “Idza shahha al-hadits fahuwa madzhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah madzhabku)”, adalah bahwa apabila ada suatu hadits bertentangan dengan hasil ijtihad al-Imam asy-Syafi’i, sedangkan asy-Syafi’i tidak tahu terhadap hadits tersebut, maka dapat diasumsikan, bahwa kita harus mengikuti hadits tersebut, dan meninggalkan hasil ijtihad al-Imam asy-Syafi’i. Akan tetapi apabila hadits tersebut telah diketahui oleh al-Imam asy-Syafi’i, sementara hasil ijtihad    beliau berbeda dengan hadits tersebut, maka sudah barang tentu hadits tersebut memang bukan madzhab beliau. Hal ini seperti ditegaskan oleh al-Imam an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab juz 1 halaman 64.
Oleh karena demikian, para ulama menyalahkan al-Imam al-Hafidz Ibn al-Jarud, seorang ulama ahli hadits bermadzhab asy-Syafi’i, dimana setiap ia menemukan hadits shahih bertentangan dengan hasil ijtihad al-Imam asy-Syafi’i, Ibn al-Jarud langsung mengklaim bahwa hadits tersebut sebenarnya madzhab asy-Syafi’i, berdasarkan pesan asy-Syafi’i di atas, tanpa meneliti bahwa hadits tersebut telah diketahui atau belum oleh al-Imam asy-Syafi’i.
Al-Imam al-Hafidz Ibn Khuzaimah an-Naisaburi, seorang ulama salaf yang menyandang gelar Imam al-Aimmah (penghulu para imam) dan penyusun kitab Shahih Ibn Khuzaimah, ketika ditanya, apakah ada hadits yang belum diketahui oleh asy-Syafi’i dalam ijtihad beliau? Ibn Khuzaimah menjawab, “Tidak ada”. Hal tersebut seperti diriwayatkan oleh al-Hafidz Ibn Katsir dalam kitabnya yang sangat populer al-Bidayah wa an-Nihayah (juz 10 halaman 253).

Dialog Syaikh An-Nabhani dengan Rasyid Ridha
Terkadang kelompok yang anti madzhab menggugat kita dengan pendapat sang pendiri madzhab atau para ulama dalam madzhab yang kita ikuti, seakan-akan mereka lebih konsisten dari kita dalam bermadzhab.
Kaum Wahhabi ketika menggugat kita agar meninggalkan tahlilan dan selamatan tujuh hari selalu beralasan dengan pendapat al-Imam asy-Syafi’i yang mengatakan bahwa hadiah pahala bacaan al-Qur’an tidak akan sampai kepada mayit, atau pendapat kitab I’anah ath-Thalibin yang melarang acara selamatan tahlilan selama tujuh hari. Padahal selain al-Imam asy-Syafi’i menyatakan sampai.
Kita kadang menjadi bingung menyikapi mereka. Terkadang mereka menggugat kita karena bermadzhab, yang mereka anggap telah meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah. Dan terkadang mereka menggugat kita dengan pendapat imam madzhab dan para ulama madzhab. Padahal mereka sering menyuarakan anti madzhab.
Pada dasarnya kelompok anti madzhab itu bermadzhab. Hanya saja madzhab mereka berbeda dengan madzhab mayoritas kaum Muslimin. Ketika mereka menyuarakan anti tawassul, maka sebenarnya mereka mengikuti pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn Abdil Wahhab an-Najdi. Sedangkan kaum Muslimin yang bertawassul, mengikuti Rasulullah Saw., para sahabat, seluruh ulama salaf dan ahli hadits.
Ketika mereka menyuarakan shalat tarawih 11 raka’at, maka sebenarnya mereka mengikuti pendapat Nashiruddin al-Albani, seorang tukang jam yang beralih profesi menjadi muhaddits tanpa bimbingan seorang guru, dengan belajar secara otodidak di perpustakaan. Sedangkan kaum Muslimin yang tarawih 23 raka’at, mengikuti Sayidina Umar, para sahabat dan seluruh ulama salaf yang saleh yang tidak diragukan keilmuannya.
Ketika mereka menyuarakan anti madzhab, maka sebenarnya mereka mengikuti Rasyid Ridha, Muhammad Abduh dan Ibn Abdil Wahhab. Sedangkan kaum Muslimin yang bermadzhab, mengikuti ulama salaf dan seluruh ahli hadits.
Demikian pula ketika mereka menyuarakan anti bid’ah hasanah, maka sebenarnya mereka mengikuti madzhab Rasyid Ridha dan Ibn Abdil Wahhab an-Najdi. Sedangkan kaum Muslimin yang berpendapat adanya bid’ah hasanah, mengikuti Rasulullah Saw., Khulafaur Rasyidin, para sahabat, ulama salaf dan ahli hadits.
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, termasuk orang pertama yang sangat kencang menyuarakan anti madzhab, dengan menulis karyanya al-Wahdat al-Islamiyyah fi al-Madzahib al-Fiqhiyyah. Akan tetapi, secara terus terang, ia mengikuti pemikiran Syaikh Muhammad Abduh al-Gharabili. Kedua nama ini, Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, serta Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, pendiri aliran Wahhabi, sebenarnya yang menjadi imam madzhab beberapa aliran dan kelompok keagamaan yang anti madzhab di Indonesia.
Ada dialog menarik untuk dikutip di sini, berkaitan dengan bermadzhab. Yaitu dialog antara Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani asy-Syafi’i, seorang ulama besar yang sangat populer, dengan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, seorang ulama Salafi yang menyuarakan anti madzhab.
Dalam mukaddimah kitab al-’Uqud al-Lu’luiyyah fi al-Madaih an-Nabawiyyah, Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani berkata: “Ketika saya berkumpul dengan Syaikh Rasyid Ridha, saya berdialog dengannya tentang pribadi Syaikh Muhammad Abduh, gurunya:
Saya berkata: “Kalian menjadikan Syaikh Muhammad Abduh sebagai panutan dalam agama kalian, dan kalian mengajak manusia untuk mengikuti kalian. Ini jelas tidak benar. Syaikh Muhammad Abduh itu bukan orang yang konsisten memelihara kewajiban-kewajiban agama. Ia tidak sah menjadi panutan dalam agama. Sebagaimana dimaklumi dan diakui oleh semua orang, Abduh seringkali meninggalkan shalat fardhu tanpa ada ‘udzur. Saya sendiri pernah menemaninya dari pagi hari sampai menjelang Maghrib, di rumah seorang laki-laki yang mengundang kami di Jabal Lebanon. Abduh tidak shalat Dzuhur dan Ashar, tanpa ada ‘udzur. Bahkan ia sehat sekali. Dan ia melihat saya shalat Dzuhur dan Ashar, tetapi ia tidak melakukannya.”
Mendengar pernyataan saya, Syaikh Rasyid Ridha mengakui bahwa Abduh memang sering meninggalkan shalat fardhu tanpa ada ‘udzur. Akan tetapi Rasyid Ridha masih membelanya dengan memberikan jawaban: “Barangkali madzhab beliau membolehkan jamak shalat di rumah (fi al-hadhar).”
Saya merasa heran dengan jawaban Rasyid ini. Karena jamak shalat itu hanya dibolehkan dalam bepergian, ketika turun hujan dan sedang sakit menurut sebagian imam mujtahid, antara Dzuhur dan Ashar, serta antara Maghrib dan Isya’, sebagaimana hadits shahih dari Nabi shallallahu alaihi wasallam. Dan tidak seorang pun dari kalangan ulama berpendapat bahwa Dzuhur dan Ashar boleh dijamak dengan Maghrib dan Isya’. Oleh karena itu, kami sulit menerima jawaban Rasyid Ridha.
Saya berkata kepada Syaikh Rasyid Ridha: “Lagi pula Syaikh Muhammad Abduh tidak pernah menunaikan ibadah haji ke Baitullah di tanah suci, padahal ia mampu melakukannya. Dengan kemampuan yang ia miliki, berupa kekuatan fisik dan finansial, ia seringkali pergi ke Paris, London dan negara-negara Eropa lainnya. Tidak pernah terlintas dalam benaknya untuk menunaikan ibadah haji, padahal negaranya dekat dengan Makkah. Jadi tidak diragukan lagi, bahwa ia telah memikul dosa yang sangat besar dan meninggalkan salah satu rukun Islam”.
Lalu saya berkata kepada Syaikh Rasyid Ridha: “Semua orang sepakat bahwa Syaikh Muhammad Abduh dan gurunya, Syaikh Jamaluddin al-Afghani, masuk dalam organisasi Masoni. Organisasi ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan agama Islam. Bahkan organisasi ini menolak semua agama, anti semua pemerintahan, baik keagamaan maupun yang bukan. Bagaimana mungkin Syaikh Muhammad Abduh menjadi panutan dalam agama Islam, padahal ia seorang Masoni. Demikian pula gurunya.”
Mendengar pertanyaan saya, Syaikh Rasyid Ridha menjawab: “Saya kan tidak ikut organisasi Masoni.”
Saya berkata: “Seandainya kalian berkata bahwa Syaikh Muhammad Abduh itu seorang filosof Islam, seperti halnya Ibn Sina dan al-Farabi, tentu kami dapat menerima, meskipun kenyataannya tidak demikian. Karena hal itu tidak berdampak negatif pada kami dan agama kami. Adapun ketika ia termasuk orang yang paling fasiq sebab meninggalkan rukun-rukun Islam, lalu kalian berpendapat bahwa ia seorang imam (panutan) dalam agama Islam, tentu hal ini merupakan kemungkaran yang tidak akan diterima oleh orang yang berakal.”
Mendengar pernyataan saya, Syaikh Rasyid Ridha berkata: “Kami tidak menganggap Syaikh Muhammad Abduh seperti Ibn Sina. Akan tetapi kami menganggapnya seperti al-Imam al-Ghazali.”
Rasyid Ridha ini memang orang yang sesat dan keras kepala. Ia mengakui kalau Muhammad Abduh itu meninggalkan shalat dan haji serta menjadi anggota Masoni. Tetapi, ia masih menyamakannya dengan al-Imam al-Ghazali. Sebenarnya, setiap orang dari kelompok Wahhabi atau anti madzhab ini, meyakini bahwa dirinya lebih hebat daripada al-Imam al-Ghazali. Karena kelompok mereka, baik yang besar maupun yang kecil, semuanya mengklaim sebagai mujtahid mutlak. Sedangkan al-Ghazali sendiri tidak mengklaim sebagai mujtahid mutlak, sebagaimana beliau jelaskan dalam Ihya’ ‘Ulum ad-Din.
Orang-orang Wahhabi atau anti madzhab itu, masing-masing menganggap dirinya selevel imam madzhab yang empat radhiyallahu ‘anhum. Perasaan ini begitu menancap dalam benak mereka. Nasehat tidak akan mempan bagi mereka. Mereka selalu berusaha agar orang lain mengikuti mereka, menjadi mujtahid mutlak.”
Demikian komentar Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani dengan disederhanakan.


BAB IX
TRADISI YASINAN

Hadits Fadhilah Surat Yasin
Salah satu tradisi yang hampir merata di negeri kita adalah tradisi Yasinan. Yaitu, tradisi membaca surat Yasin bersama-sama, baik membacanya sendiri-sendiri maupun membacanya secara berjamaah dengan dipandu oleh seorang qari' yang dianggap paling baik bacaannya. Tidak jarang, tradisi Yasinan ini dilakukan di makam para wali dan ulama ketika ziarah ke makam mereka.
Dalam sebuah diskusi di Jl. Sekar Tunjung IV/27, Denpasar, ada teman bernama Suwarno, Ketua Forum Studi Islam Bali (FOSIBA) bertanya, mengenai hadits-hadits tentang fadhilah surat Yasin. Apakah hadits-hadits tersebut shahih atau tidak.
Mendengar pertanyaan itu, saya balik bertanya, mengapa Anda bertanya demikian. Akhirnya ia menyodorkan sebuah buku kecil dengan cover biru berjudul “Yasinan, Kajian Meluruskan Aqidah”, karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas.
Setelah melihat nama penulis buku kecil tersebut, saya teringat cerita teman saya setahun sebelumnya, Ustadz Ali Rahmat, Lc., seorang kiai muda yang kini tinggal di Jakarta. Bahwa suatu ketika beberapa pemuda Ahlussunnah wal Jama'ah menghadiri pengajian Yazid bin Abdul Qadir Jawas dan Abdul Hakim Amir Abdat di slamic Center Jakarta Utara. Setelah acara selesai, beberapa pemuda itu meminta kesediaan Yazid Jawas untuk berdebat secara terbuka dengan para ulama tentang tulisan-tulisannya yang banyak melawan arus kaum Muslimin di tanah air. Dan sebagaimana dapat ditebak, jawaban Yazid memang menyatakan ketidaksiapan untuk berdebat secara terbuka dengan siapapun. Tentu saja karena ia merasa dalil-dalilnya lemah semua dan mudah dipatahkan dalam arena perdebatan ilmiah.
Setelah buku kecil bersampul biru itu saya baca, temyata dalam buku tersebut, Yazid Jawas sangat cerdik dalam menyembunyikan kebenaran tentang fadhilah surat Yasin. Sebagaimana dimaklumi, di kalangan ahli hadits ada dua kelompok berbeda dalam menyikapi hadits-hadits fadhilah surat Yasin.
Pertama, kelompok ekstrem yang menganggap hadits-hadits tentang fadhilah surat Yasin tidak ada yang shahih, yaitu kelompok Ibn al-Jauzi dalam kitab al-Maudhu’at.
Dan kedua, kelompok moderat yang menganggap bahwa hadits-hadits tentang fadhilah surat Yasin ada yang shahih dan hasan, yaitu kelompoknya al-Imam al-Hafidz Abu Hatim bin Hibban dalam Shahihnya, al-Hafidz Ibn Katsir ad-Dimasyqi dalam Tafsinya, al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi dalam Tadrib ar-Rawi, al-Imam Muhammad bin Ali asy-Syaukani dalam tafsir Fath al-Qadir dan al-Fawaid al-Majmu’ah dan lain-lain.
Menurut keyakinan saya, sebenarnya Yazid mengetahui hadits-hadits shahih tersebut, karena dalam buku kecil itu Yazid juga merujuk terhadap kitab Tafsir al-Hafidz Ibn Katsir dan al-Fawaid al-Majmu’ah karya asy- Syaukani. Akan tetapi, keshahihan hadits-hadits fadhilah surat Yasin dalam kedua kitab tersebut agaknya dapat merugikan kepentingan Yazid yang berideologi Wahhabi yang sangat kencang memerangi tradisi Yasinan. Sehingga Yazid beralih dari kedua kitab tersebut dan sebagai solusinya ia merujuk kepada kitab-kitab dan komentar-komentar yang memaudhu'kan dan mendha'ifkan saja.
Berikut ini saya kutipkan hadits-hadits (shahih) tentang fadhilah surat Yasin dari Tafsir Ibn Katsir yang menjadi rujukan utama Yazid Jawas dalam semua bukunya.
Rasulullah Saw. bersabda: "Barangsiapa yang membaca surat Yasin pada malam hari, maka pagi harinya ia diampuni oleh Allah. Barangsiapa yang membaca surat ad-Dukhan, maka ia diampuni oleh Allah." (HR Abu Ya'la). Menurut al-Hafidz Ibn Katsir, hadits ini sanadnya jayyid (shahih). Komentar Ibn Katsir ini juga dikutip dan diakui oleh al-Imam asy-Syaukani dalam tafsimya Fath al-Qadir, bahwa sanad hadits tersebut jayyid, alias shahih.
Rasulullah Saw. bersabda: "Barangsiapa yang membaca surat Yasin pada malam hari karena mencari ridha Allah, maka Allah akan mengampuninya." (HR. Ibn Hibban dalam Shahihnya). Hadits ini dishahihkan oleh al-Imam Ibn Hibban dan diakui oleh al-Hafidz Ibn Katsir dalam Tafsirnya, al- Hafidz Jalahiddin as-Suyuthi dalam Tadrib ar-Rawi, dan al-Imam asy-Syaukani dalam tafsir Fath al-Qadir dan al-Fawaid al-Majmu’ah.
Asy-Syaukani berkata dalam al-Fawaid al- Majmu’ah sebagai berikut: "Hadits, "Barangsiapa membaca surat Yasin karena mencari ridha Allah, maka Allah akan mengampuninya diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Abu Humairah secara marfu’ dan sanadnya sesuai dengan kriteria hadits shahih. Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dan al-Khathib. Sehingga tidak ada alasan merryebut hadits tersebut dalam kitab-kitab al-Maudhu’at (tidak benar menganggapnya sebagai hadits maudhu’)." (Asy-Syaukani, al-Fawaid al-Majmu’ah fi al-Ahadits al-Maudhu’ah halaman 302-303).
Demikian hadits-hadits fadhilah surat Yasin yang dishahihkan dalam Tafsir Ibn Katsir dan al-Fawaid al-Majmu’ah fi al-Ahadits al-Maudhu’ah. Kedua kitab ini menjadi rujukan Yazid Jawas dalam bukunya tersebut di atas.
Berikut ini akan saya kutip sebuah pernyataan dari salah seorang ulama salaf, yaitu al-Imam Abdurrahman bin Mahdi, yang sudah barang tentu dihafal oleh kalangan Wahhabi seperti Yazid Jawas.
Al-Imam Abdurrahman bin Mahdi berkata: "Ahlussunnah akan menulis apa saja, baik menguntungkan maupun merugjkan mereka. Tetapi ahli bid'ah hanya akan menulis apa yang menguntungkan saja."

Seandainya Hadits Fadhilah Surat Yasin Dha'if
Dalam sebuah diskusi di Mushalla Nurul Hikmah Perum Dalung Permai Denpasar, ada salah seorang Wahhabi berbicara. Menurutnya, bagaimana seandainya hadits-hadits yang diamalkan oleh kaum Muslimin itu hadits dha'if?.
Dalam kesempatan tersebut, saya menyampaikan, seandainya hadits-hadits tentang keutamaan surat Yasin itu dha'if, maka hal tersebut tidak menjadi persoalan. Sebab para ulama sejak generasi salaf yang saleh telah bersepakat mengamalkan hadits dha’if dalam konteks fadhail al-a’mal.
Syaikhul Islam al-Imam Hafidz al-’Iraqi berkata: "Adapun hadits dha'if yang tidak maudhu' (palsu), maka para ulama telah memperbolehkan mempermudah dalam sanad dan periwayatannya tanpa menjelaskan kedha'ifannya, apabila hadits tersebut tidak berkaitan dengan hukum dan akidah, akan tetapi berkaitan dengan targhib dan tarhib seperti nasehat, kisah-kisah, fadhail al-a'mal dan lain-lain. Adapun berkaitan dengan hukum-hukum syar'i berupa halal, haram dan selainnya, atau akidah seperti sifat-sifat Allah, sesuatu yang jaiz dan mustahil bagi Allah, maka para ulama tidak melihat kemudahan dalam hal itu. Diantara para imam yang menetapkan hal tersebut adalah Abdurrahman bin Mahdi, Ahmad bin Hanbal, Abdullah bin al-Mubarak dan lain-lain. Ibn Adi telah membuat satu bab dalam mukaddimah kitab al-Kamil dan al-Khathib dalam al-Kifayah mengenal hal tersebut." (Al-Hafidz al-‘lraqi, at-Tabshirah wa at-Tadzkirah juz 1 halaman 291).
Sebagai bukti bahwa hadits-hadits dha'if itu ditoleransi dan diamalkan dalam konteks fadhail al-a'mal dan sesamanya, kita dapati kitab-kitab para ulama penuh dengan hadits-hadits dha’if, termasuk kitab-kitab Syaikh Ibn Taimiyah, Ibn Qayyim al-Jauziyah dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi pendiri aliran Wahhabi.
Dalam catatan sejarah, orang yang pertama kali menolak hadits dha'if dalam konteks fadhail al-a'mal dan sesamanya adalah Syaikh Nashir al-Albani, ulama Wahhabi dari Yordania, dan kemudian diikuti oleh para Wahhabi di Indonesia seperti Hakim Abdat, Yazid Jawas, Mahrus Ali dan lain-lain. Tentu saja, pandangan Syaikh al-Albani menyalahi pandangan para ulama sebelumnya termasuk kalangan ahli hadits.

Rasulullah SAW Tidak Pernah Mengerjakan
Suatu pagi, awal Agustus 2010, saya mendapati kiriman SMS dari seorang teman. Isinya, berkaitan dengan pernyataan Syaikh Ali dalam acara Indahnya Sedekah di Televisi Pendidikan Indonesia, bersama Ustadz Yusuf Manshur.
Dalam acara itu, Syaikh Ali ditanya tentang hukum Maulid Nabi Saw. Kemudian Syaikh Ali menjawabnya dengan mengutip pernyataan Syaikh Ibn Taimiyah dalam Iqtidha' ash-Shiratt al-Mustaqim yang menilai positif perayaan maulid Nabi Saw. Hanya saja di bagian akhir pernyataannya, Syaikh Ali mengeluarkan pernyataan yang kontroversial dan sarat dengan aroma Wahhabi. Dalam hal itu ia mengatakan: "Kita harus meninggalkan segala sesuatu yang tidak pemah dikerjakan oleh Rasulullah Saw." Agaknya Syaikh Ali ini memang seorang Wahhabi yang berupaya menyebarkan faham Wahhabi melalui acara televisi di TPI.

Catatan:
Apabila Syaikh Ali yang dimaksud diatas adalah Syaikh Ali Jaber al-Madani (Ulama Madinah yang kini tinggal di Indonesia mengikuti istrinya dan sering tampil di televisi di acara Indahnya Sedekah), maka pendapat saya (Luqman Firmansyah) mengenai hal ini adalah Syaikh Ali bukanlah orang Wahhabi. Hal ini didasarkan atas pengalaman pribadi saya yang pernah menghadiri langsung acara yang berjudul Peringatan Maulid Nabi Februari 2011 kemarin di Masjid Raya Makassar. Tampak dalam baliho di depan masjid tertulis “Peringatan Maulid Nabi bersama Syaikh Ali Jaber al-Madani”. Dalam taushiyahnya yang saya lihat dan saya dengar sendiri beliau menyebutkan bahwa peringatan Maulid Nabi sangat baik untuk dilakukan. Bahkan Syaikh Ali menceritakan sedikit kisahnya bahwa suatu hari ia mendengarkan ceramah dari seorang ustadz di Masjid namun yang dibicarakan oleh ustadz tersebut hanyalah seputar tema bid’ah dan bid’ah saja. Selesai acara Syaikh Ali menemuinya lalu mengatakan “muka anda juga bid’ah”. Dari cerita tersebut maka saya menyimpulkan bahwa beliau, Syaikh Ali bukanlah seorang Wahhabi. Salah seorang teman saya juga berhasil merekam video taushiyahnya dari awal hinggal akhir. Dan apabila Anda ingin melihat videonya sebagai bukti bisa hubungi saya. Semoga Syaikh Ali yang dimaksud dalam buku ini bukan Syaikh Ali yang pernah kutemui di Makassar. Wallahu a’lam.

Dalam diskusi di Mushalla al-Fitrah, Jl. Gunung Mangu, Monang Maning Denpasar, pada akhir Juli 2010, ada seorang Wahhabi berinisial HA berkata: “Ustadz, Rasulullah Saw. tidak pemah mengumpulkan para sahabat, lalu membaca Surat Yasin secara bersama-sama. Oleh karena itu, berarti tradisi Yasinan itu bid'ah dan tidak boleh dilakukan." Demikian kata HA dengan suara agak berapi-api.
Pernyataan HA tersebut saya jawab: "Sesuatu yang tidak pemah dikerjakan oleh Rasulullah Saw., atau para sahabat dan ulama salaf itu belum tentu dilarang atau tidak boleh. Berdasarkan penelitian terhadap hadits-hadits Nabi Saw., al-Hafidz Abdullah al-Ghumari menyimpulkan, bahwa sesuatu yang ditinggalkan oleh Rasulullah Saw. mengandung beberapa kemungkinan:
Pertama, Nabi Saw. meninggalkannya karena tradisi di daerah beliau tinggal. Nabi Saw. pernah disuguhi daging biawak yang dipanggang. Lalu Nabi Saw. bermaksud menjamahnya dengan tangannya. Tiba-tiba ada orang berkata kepada beliau: "Itu daging biawak yang dipanggang." Mendengar perkataan itu, Nabi Saw. tidak jadi memakannya. Lalu beliau ditanya, "Apakah daging tersebut haram?" Beliau menjawab: "Tidak haram, tetapi daging itu tidak ada di daerah kaumku, sehingga aku tidak selera." Hadits ini terdapat dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim.
Kedua, Nabi Saw. meninggakannya karena lupa. Suatu ketika Nabi Saw. lupa meninggalkan sesuatu dalam shalat. Lalu beliau ditanya, "Apakah terjadi sesuatu dalam shalat?" Beliau menjawab: "Saya juga manusia, yang bisa lupa seperti halnya kalian. Kalau aku lupa meninggalkan sesuatu, ingatkan aku."
Ketiga, Nabi Saw. meninggalkannya karena khawatir diwajibkan atas umatnya. Seperti Nabi Saw. meninggalkan shalat Tarawih setelah para sahabat berkumpul menunggu untuk shalat bersama beliau.
Keempat, Nabi Saw. meninggalkannya karena memang tidak pemah memikirkan dan terlintas dalam pikirannya. Pada mulanya Nabi Saw. berkhutbah dengan bersandar pada pohon kurma dan tidak pemah berpikir untuk membuat kursi, tempat berdiri ketika khutbah. Setelah sahabat mengusulkannya, maka beliau menyetujuinya, karena dengan posisi demikian, suara beliau akan lebih didengar oleh mereka. Para sahabat juga mengusulkan agar mereka membuat tempat duduk dari tanah, agar orang asing yang datang dapat mengenali beliau, dan temyata beliau menyetujuinya, padahal belum pernah memikirkannya.
Kelima, Nabi Saw. meninggalkannya karena hal tersebut masuk dalam keumuman ayat-ayat al-Qur'an dan hadits-haditsnya, seperti sebagian besar amal-amal mandub (sunnat) yang beliau tinggalkan karena sudah tercakup dalam firman Allah: "Lakukanlah kebaikan, agar kamu menjadi orang-orang yang beruntung." (QS. al-Hajj ayat 77).
Keenam, Nabi Saw. meninggalkannya karena menjaga perasaan para sahabat atau sebagian mereka. Nabi Saw. bersabda kepada Aisyah: "Seandainya kaummu belum lama meninggalkan kekufuran, tentu Ka'bah itu aku bongkar lalu aku bangun sesuai dengan fondasi yang dibuat oleh Nabi Ibrahim karena orang-orang Quraisy dulu tidak mampu membangunnya secara sempuma." Hadits ini terdapat dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim. Nabi Saw. tidak merekonstruksi Ka'bah karena menjaga perasaan sebagian sahabatnya yang baru masuk Islam dari kalangan penduduk Makkah. Kemungkinan juga Nabi Saw. meninggalkan suatu hal karena alas an-alasan lain yang tidak mungkin diuraikan semuanya di sini, tetapi dapat diketahui dari meneliti kitab-kitab hadits. Belum ada suatu hadits maupun atsar yang menjelaskan bahwa Nabi Saw. meninggalkan sesuatu karena hal itu diharamkan.”
Demikian pernyataan al-Hafidz Abdullah al-Ghumari dengan disederhanakan.
Berkaitan dengan membaca al-Qur'an atau dzikir secara bersama, al-Imam asy-Syaukani telah menegaskan dalam kitabnya, al-Fath ar-Rabbai fi Fatawa al-Imam asy-Syaukani sebagai berikut: “Ini adalah himpunan ayat-ayat al-Qur'an ketika melihat pertanyaan ini. Dalam ayat-ayat tersebut tidak ada pembatasan dzikir dengan cara mengeraskan atau memelankan, meninggikan atau merendahkan suara, bersama-sama atau sendirian. Jadi ayat-ayat tersebut memberi pengertian anjuran dzikir dengan semua cara tersebut.” (Syaikh asy-Syaukani, Risalah al-Ijtima’ ‘ala adz-Dzikir wa al-Jahr bihi, dalam kitab beliau al-Fath ar-Rabbani min Fatawa al-Imam asy-Syaukani halaman no. 5945).
Pernyataan asy-Syaukani di atas, adalah pernyataan seorang ulama yang mengerti al-Qur'an, hadits dan metode pengambilan hukum dari al-Qur'an dan hadits. Berdasarkan pernyataan asy-Syaukani di atas, membaca al-Qur'an bersama-sama tidak masalah, bahkan dian|urkan sesuai dengan ayat-ayat al-Qur’an yang menganjurkan kita memperbanyak dzikir kepada Allah dengan cara apapun.

Mengapa Membaca Usholli
Pembicaraan mengenai bid'ah hasanah di Mushalla Baitul Mustaqim Jimbaran Bali, pada 25 Juli 2010, membawa pada pembicaraan mengenai hukum membaca ushalli ketika setiap akan shalat. Seorang teman berbicara: "Mengapa kita membaca ushalli? Apakah Rasulullah Saw. pernah melakukannya ketika akan menunaikan shalat?"
Menjawab pertanyaan ini, saya menjelaskan: "Tidak ada riwayat yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. mengucapkan kata ushalli ketika akan shalat. Para ulama fuqaha yang menganjurkan membaca ushalli juga tidak beralasan bahwa Rasulullah Saw. telah melakukannya. Dasar filosofi mengapa para fuqaha menganjurkan membaca ushalli adalah demikian:
Pertama, Rasulullah Saw. Bersabda: “innama al-a’malu binniyat (segala perbuatan itu tergantung pada niatnya)”. Hadits ini menjadi dalil wajibnya niat ketika kita akan menunaikan ibadah.
Kedua, setelah redaksi hadits tersebut, ada redaksi, "wainnama likulli imri-in ma nawa (seseorang hanya akan memperoleh apa yang telah diniatinya)". Hal ini menunjukkan bahwa ketika ibadah itu memiliki beberapa macam yang berbeda, maka harus dilakukan ta'yin (penentuan) dalam niat. Misalnya shalat fardhu itu ada lima, Dhuhur, Ashar, Maghrib, Isya' dan Shubuh. Dari sini, seorang yang akan menunaikan shalat fardhu, harus menentukan shalat fardhu apa yang akan ia lakukan.
Ketiga, secara kebahasaan, niat itu diistilahkan dengan bermaksud melakukan sesuatu bersamaan dengan bagian awal pelaksanaannya. Seseorang tentunya akan merasa kesulitan untuk melakukan niat di dalam hati bersamaan dengan awal pelaksanaan shalat. Sedangkan mengucapkan niat sebelum melakukan takbiratul ihram, dapat membantu konsentrasi hati dalam melakukan niat shalat fardhu yang disertai ta'yin di atas. Dari sini kemudian para ulama fuqaha menganjurkan mengucapkan niat sebelum mengucapkan takbiratul ihram, agar ucapan niat tersebut; membantu konsentrasi hati ketika takbiratul ihram dilakukan. Para ulama fuqaha mengatakan, dianjurkan mengucapkan niat dengan lidah, agar lidah dapat membantu hati (liyusa’ida al-lisan al-qalba) dalam melakukan niat. Di sisi lain, Rasulullah Saw. juga pernah mengucapkan niat dengan lidah ketika akan menunaikan ibadah haji. “Dari sahabat Anas Ra. berkata, saya mendengar Rasulullah Saw. mengucapkan, labbaika aku sengaja mengerjakan umrah dan haji.” (HR. Muslim) Dengan demikian mengucapkan niat dalam shalat dapat dianalogikan dengan pengucapan niat dalam ibadah haji." Wallahu a'lam.


BAB X
PERMASALAHAN TRADISI

Tradisi Tahlilan
Tahlilan terambil dari kosa kata tahlil, yang dalam bahasa Arab diartikan dengan mengucapkan kalimat la ilaha illallah. Sedangkan tahlilan, merupakan sebuah bacaan yang komposisinya terdiri dari beberapa ayat al-Qur'an, shalawat, tahlil, tasbih dan tahmid, yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang masih hidup maupun sudah meninggal, dengan prosesi bacaan yang lebih sering dilakukan secara kolektif (berjamaah), terutama dalam hari-hari tertentu setelah kematian seorang Muslim. Dikatakan tahlilan, karena porsi kalimat la ilaha illallah dibaca lebih banyak dari pada bacaan- bacaan yang lain.
Terdapat sekian banyak persoalan atau gugatan terhadap tradisi tahlilan yang datangnya dari kaum Wahhabi. Dalam sebuah dialog di Besuk Kraksaan Probolinggo, sekitar tahun 2008, ada seseorang bertanya: "Siapa penyusun tahlilan dan sejak kapan tradisi tahlilan berkembang di dunia Islam?"
Pada waktu itu saya menjawab: "Bahwa sepertinya sampai saat ini belum pernah dibicarakan dan diketahui mengenai siapa penyusun bacaan tahlilan dengan komposisinya yang khas itu. Mengingat, dari sekian banyak buku tahlilan yang terbit, tidak pernah dicantumkan nama penyusunnya."
Akan tetapi berkaitan dengan tradisi tahlilan, itu bukan tradisi Indonesia atau Jawa. Kalau kita menyimak fatwa Syaikh Ibn Taimiyah al-Harrani, tradisi tahlilan telah berkembang sejak sebelum abad ketujuh Hijriah, Dalam kitab Majmu' Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah disebutkan: "Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah ditanya, tentang seseorang yang memprotes ahli dzikir (berjamaah) dengan berkata kepada mereka: "Dzikir kalian ini bid'ah, mengeraskan suara yang kalian lakukan juga bid'ah". Mereka memulai dan menutup dzikirnya dengan al-Qur'an, lalu mendo’akan kaum Muslimin yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Mereka mengumpulkan antara tasbih, tahmid, tahlil, takbir, hauqalah (laa haula wa laa quwwata illa billaah) dan shalawat kepada Nabi Saw. Lalu Ibn Taimiyah menjawab: "Berjamaah dalam berdzikir, mendengarkan al-Qur'an dan berdoa adalah amal shaleh, termasuk qurbah dan ibadah yang paling utama dalam setiap waktu. Dalam Shahih al-Bukhari, Nabi Saw. Bersabda: "Sesungguhrrya Allah memiliki banyak Malaikat yang selalu bepergian di muka bumi. Apabila mereka bertemu dengan sekumpulan orang yang berdzikir kepada Allah, maka mereka memanggil: "Silakan sampaikan hajat kalian", lanjutan hadits tersebut terdapat redaksi, "Kami menemukan mereka bertasbih dan bertahmid kepadaMu"... Adapun memelihara rutinitas aurad (bacaan-bacaan wirid) seperti shalat, membaca al-Qur'an, berdzikir atau berdoa, setiap pagi dan sore serta padi sebagian waktu malam dan lain-lain, hal ini merupakan tradisi Rasulullah Saw. dan hamba-hamba Allah yang saleh, zaman dulu dan sekarang.” (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, juz 22 halaman 520)
Dalam sebuah diskusi di Denpasar Bali, ada seorang Wahhabi berkata: "Bahwa tradisi selamatan tujuh hari itu mengadopsi dari orang-orang Hindu. Sudah jelas kita tidak boleh meniru-niru orang Hindu."
Pernyataan orang Wahhabi ini tentu saja tidak wajar. Ada perbedaan antara tradisi Hindu dengan Tahlilan. Dalam tradisi Hindu, selama tujuh hari dari kematian, biasanya diadakan ritual selamatan dengan hidangan makanan yang diberikan kepada para pengunjung, disertai dengan acara sabung ayam, permainan judi, minuman keras dan kemungkaran lainnya.
Sedangkan dalam tahlilan, tradisi kemungkaran seperti itu jelas tidak ada. Dalam tradisi Tahlilan, diisi dengan bacaan al-Qur'an, dzikir bersama kepada Allah Swt. serta selamatan (sedekah) yang pahalanya dihadiahkan kepada mayit. Jadi, antara kedua tradisi tersebut jelas berbeda.
Sedangkan berkaitan dengan acara tujuh hari yang juga menjadi tradisi Hindu, dalam Islam sendiri, tradisi selamatan tujuh hari telah ada sejak generasi sahabat Nabi Saw. Al-Imam Sufyan, seorang ulama salaf berkata: "Bahwa Imam Thawus berkata: "Sesungguhnya orang yang meninggal akan diuji di dalam kubur selama tujuh hari, oleh karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan bersedekah makanan untuk keluarga yang meninggal selama tujuh hari tersebut." (HR. Imam Ahmad dalam az-Zuhd al-Hafidz Abu Nu'aim dalam Hilyah al-Auliya’ juz 4 halaman 11 dan al-Hafidz Ibn Hajar dalam al-Mathalib al-'Aliyah juz 5 halaman 330).
Riwayat di atas menjelaskan bahwa tradisi selamatan selama tujuh hari telah berjalan sejak generasi sahabat Nabi. Sudah barang tentu, para sahabat dan generasi salaf tidak mengadopsinya dari orang Hindu. Karena orang-orang Hindu tidak ada di daerah Arab. Dan seandainya tradisi selamatan tujuh hari tersebut diadopsi dari tradisi Hindu, maka hukumnya jelas tidak haram, bahkan bagus untuk dilaksanakan, mengingat acara dalam kedua tradisi tersebut sangat berbeda. Dalam selamatan tujuh hari, kaum Muslimin berdzikir kepada Allah. Sedangkan orang Hindu melakukan kemungkaran. Dalam hadits shahih Rasulullah Saw. bersabda: "Orang yang berdzikir kepada Allah di antara kaum yang lalai kepada Allah, sederajat dengan orang yang sabar di antara kaum yang melarikan diri dari medan peperangan." (HR. Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir dan al-Mu’jam al-Ausath. Alhafidz as-Suyuthi menilai hadits tersebut shahih dalam al-Jami’ ash-Shaghir).
Dalam acara tahlilan selama tujuh hari kematian, kaum Muslimin berdzikir kepada Allah, ketika pada hari tersebut orang Hindu melakukan sekian banyak kemungkaran. Betapa indah dan mulianya tradisi tahlilan itu. Dan seandainya tasyabuh dengan orang Hindu dalam selamatan tujuh hari tersebut dipersoalkan, Rasulullah Saw. telah mengajarkan kita cara menghilangkan tasyabuh (menyerupai orang-orang ahlul kitab) yang dimakruhkan dalam agama. Dalam sebuah hadits shahih riwayat dari Ibn Abbas yang berkata: "Setelah Rasulullah Saw. berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan kaum Muslimin juga berpuasa, mereka berkata: “Wahai Rasulullah, hari Asyura itu diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani." Rasulullah Saw. menjawab: "Kalau begitu, tahun depan, kita berpuasa pula tanggal sembilan." Ibn Abbas berkata: “Tahun depan belum sampai ternyata Rasulullah Saw. telah wafat." (HR. Muslim dan Abu Dawud)
Dalam hadits di atas, para sahabat menyangsikan perintah puasa pada hari Asyura, dimana hari tersebut juga diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani. Sementara Rasulullah Saw. telah menganjurkan umatnya agar selalu menyelisihi (mukhalafah) orang-orang Yahudi dan Nasrani. Temyata Rasulullah memberikan petunjuk, cara menyelisihi mereka, yaitu dengan berpuasa sejak sehari sebelum Asyura, yang disebut dengan Tasu'a', sehingga tasyabbuh tersebut menjadi hilang.
Dalam sebuah acara di Denpasar Bali, ada juga orang Wahhabi yang mempersoalkan: "Bagaimana dengan pendapat madzhab asy-Syafi'i yang mengatakan bahwa pemberian hidangan makanan terhadap orang yang berta'ziyah dihukumi bid'ah madzmumah. Hal tersebut berarti juga meninggalkan sunnah, dimana yang dianjurkan justru orang yang berta'ziyah itu member hadiah makanan kepada keluarga mayit. Apakah tidak sebaiknya tradisi tersebut kita hilangkan?"
Dalam hal tersebut saya menjawab, bahwa sebenarnya dalam tradisi tahlilan selama tujuh hari, kaum Muslimin tidak meninggalkan sunnah. Mereka telah melakukan sunnah, dimana para tetangga dan sanak famili yang berta'ziyah, itu membawa makanan, ada yang berupa beras, ada yang berupa lauk pauk, uang dan lain sebagainya. Jadi kaum Muslimin di Indonesia tidak meninggalkan sunnah.
Sedangkan tradisi suguhan makanan dari keluarga mayit kepada para penta'ziyah, dalam hal ini madzhab asy-Syafi'i berpendapat bid'ah madzmumah. Tetapi kita harus ingat, bahwa dalam ini ada pendapat lain di kalangan ulama, yaitu madzab generasi salaf seperti telah diceritakan sebelumnya dari Imam Thawus. Disamping itu, ada riwayat dari Sayyidina Umar bin al-Khaththab Ra., bahwa ketika beliau akan wafat berwasiat agar orang-orang yang berta’ziyah disuguhi makanan.
Al-Hafidz Ibn Hajar berkata dalam kitabnya al-Mathalib al’-Aliyah: "Al-Ahnaf bin Qais berkata, “Aku pernah mendengar Umar Ra. berkata: “Apabila seseorang dari suku Quraisy memasuki satu pintu, pasti orang lain akan mengikutinya.” Aku tidak mengerti maksud perkataan ini, sampai akhirnya Umar Ra. ditikam, lalu beliau berwasiat agar Shuhaib yang menjadi Imam Shalat selama tiga hari dan agar menyuguhkan makanan pada orang-orang yang ta’ziyah. Setelah orang-orang pulang dari mengantarkan jenazah Umar Ra., ternyata hidangan makanan telah disiapkan, tetapi mereka tidak jadi makan, karena duka cita yang tengah menyelimuti mereka.” (HR. Ahmad bin Mani’ dalam al-Musnad dan al-Hafidz Ibn Hajar dalam al-Mathalib al-‘Aliyah, juz 5 halaman 328)
Dengan demikian, masalah suguhan makanan dari keluarga mayit kepada para penta'ziyah masih ada pendapat lain yang membolehkan, dan tidak menganggapnya bid'ah madzmumah. Kita tidak mungkin memaksakan orang lain konsisten dcngan satu madzhab secara penuh. Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: "Seorang faqih tidak sebaiknya, memaksa orang lain mengikuti madzhabnya." (Ibn Muflih al-Hanbali dalam al-Adab asy-Syar'iyyah juz 1 halaman 187 dan Syaikh al-Albani dalam ar-Radd al-Mufhim halaman 9 dan 147).
Dalam sebuah diskusi di Jember, ada juga seorang teman yang agak terpengaruh Wahhabi menggugat: "Dengan adanya tradisi tahlilan, menyebabkan mereka yang melakukan tahlilan meninggalkan sunnah, seperti tidak shalat berjamaah karena tahlilan. Bahkan ada juga, untuk acara tahlilan, keluarga duka cita sampai mencari hutangan segala. Apakah sebaiknya hal ini tidak menjadi problem?" Demikian teman tersebut menggugat.
Gugatan teman ini sebenarnya tidak substansial Karena banyak juga orang yang tahlilan, tetapi temp rajin berjamaah. Jadi tahlilan, tidak menghalangi jamaah. Bahkan di sebagian daerah di Jember, acara tahlilan selama tujuh hari dilaksanakan setelah shalat Dzuhur. Di Pasuruan, dilaksanakan setelah shalat Isya', tergantung daerah masing-masing. Karena dalam tradisi tahlilan memang tidak ada ikatan waktu. Sedangkan terkait dengan sebagian orang yang memaksakan diri dengan mencari hutangan uang untuk acara tahlilan, ini sebenarnya bukan problem tahlilannya. Banyak juga orang yang sampai mencari hutangan untuk kesenangan keluarganya, dan bukan untuk tahlilan.
Ada juga orang Wahhabi yang menggugat tahlilan dengan berkata: "Dalam bacaan tahlilan terdapat bid'ah, yaitu susunan bacaannya yang belum pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw."
Menanggapi hal tersebut, kita menjawab bahwa berkaitan dengan susunan bacaan dan dalam tahlilan yang terdiri dari beberapa macam dzikir, mulai dari al-Qur’an, shalawat, tahlil, tasbih, tahmid dan lain-lain, hal tersebut tidak ada larangan dari Rasulullah Saw. Bahkan dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw. juga mencampur antara bacaan al-Qur'an dengan do’a seperti diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam kitab ad-Du’a’.
Dari kalangan ulama salaf seperti al-Imam Ahmad bin Hanbal, menyusun dzikiran campuran antara ayat al-Qur’an dan lain-lain seperti yang diriwayatkan oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah dalam Zad al-Ma’ad. Wallahu a’lam.

Tradisi Talqin Mayit
Di kalangan masyarakat kita, ketika ada orang meninggal dunia, dan dimakamkan, maka dibacakan talqin, yaitu sebuah tuntunan kepada si mayit agar mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir. Tradisi ini berlaku hampir di seluruh negara Islam yang menganut paham Ahlussunnah wal Jama'ah. Ada dialog menarik seputar talqin ini, yang diceritakan oleh teman saya, Ustadz Syafi'i Umar Lubis dari Medan. Ia bercerita begini:
“Sekitar bulan Maret 2010 ada seorang mahasiswa IAIN Sumatera Utara yang kos di salah satu sudut kota Medan. Tiap malam rabu ia belajar mengaji bersama kami didaerah Sunggal. Waktu itu kitab yang dibaca adalah kitab at-Tahdzib fi Adillat al-Ghayah wa at-Taqrib, karya Musthafa Dibul Bugha. Mahasiswa ini sangat resah dengan keberadaan keponakannya yang belajar di Pondok As-Sunnah, sebuah pesantren yang diasuh oleh orang-orang Wahhabi. Sepertinya anak itu telah termakan racun ajaran Salafi. Mahasiswa itu berjanji membawa keponakannya ke Majelis Ta'lim kami di Sunggal.
Pada malam yang ditentukan datanglah mereka, bersama keponakannya itu, sebut saja dengan inisial X. Setelah mereka berkumpul, saya bertanya: “Kira-kira apa yang akan kita diskusikan?”
X menjawab: "Banyak Ustadz, antara lain soal Talqin dan bid'ah."
Saya bertanya: "Apa yang kita masalahkan dengan bid'ah itu?"
"Ini Ustadz, bid'ah itu kan dosa dan pelakunya diancam siksa dalam banyak hadits." Demikian X itu menjawab.
Saya Tanya: "Benar, kita sepakat bid'ah itu sebuah ancaman dan membahayakan sekali. Tapi perlu diingat, bid'ah itu tidak sampai mengeluarkan pelakunya dari nama Islam alias murtad. Bid'ah itu ada kalanya berkaitan dengan aqidah, kadang dengan ibadah. Kamu tahu enggak apa itu bid'ah?"
X menjawab: "Sebagaimana yang kami pelajari, bid'ah itu ialah segala sesuatu yang menyangkut ibadah yang tidak ada di zaman Nabi dan dilakukan oleh Nabi dan Salafus Sholeh, seperti Talqin, Madzhab, Ushalli dan lain sebagainya."
Saya berkata: "Definisi bid'ah seperti itu siapa yang membuatnya? Nabi, atau sahabat, dan atau tabi’in?"
X menjawab: "Itu rangkuman pemikiran saya saja."
Saya berkata, "Kalau begitu definisi bid'ah menurut Anda itu kan tidak ada penjelasannya dari Nabi. Nah definisi Anda itu juga bid'ah, kan definisi Anda itu bukan keluar dari ucapan Nabi. Ok..? Ini sesuai yang Anda katakan."
Mendengar umpan saya, X terdiam. Kemudian ia berkata: "Lalu bagaimana dengan hadits "Man ahdatsa fi amrina hadza ma laisa minhu fahuwa roddun."
Saya balik bertanya: "Kenapa dengan hadits itu?"
X berkata: "Hadits ini secara tegas menyingkap apa itu bid'ah."
Saya berkata: "Benar, tapi perlu dicermati maksud kalimat, man ahdatsa fi amrina hadza ma laisa minhu. Menurut pemahaman Anda bagaimana dengan kalimat itu?"
Ia menjawab: "Menurut saya pokoknya menciptakan ibadah baru itu bid'ah."
Saya berkata: "Kalau begitu Anda memahami hadits itu pakai kacamata kuda dong. Saya bertanya, apa arti ma laisa mihu dalam hadits tersebut? Tolong Anda jelaskan tiga kata ini."
Ternyata X hanya terdiam tidak bisa menjawab. Saya berkata: "Saudara, kata ahdatsa dalam hadits tersebut bermakna menciptakan sesuatu yang baru yang belum pernah ada sebelumnya. Sedangkan kata fi amrina, bermakna sesuatu yang merupakan urusan agama kami, maksudnya suatu hal yang baru yang berkaitan dengan agama. Sedangkan kata ma laisa mihu, bermakna sesuatu yang tidak ada dalilnya secara langsung atau tidak langsung dari agama. Nah demikian itu baru dihukumi bid'ah. Makanya al-Imam an-Nawawi dalam Kitab al-Majmu' Syarh al- Muhadzdzab menyatakan bahwa bid'ah adalah sesuatu urusan yang baru dalam agama yang tidak ada dalilnya. Dalil-dalil itu adalah al-Qur'an, Sunnah, Ijma' dan Qiyas. Selama masih ada dalilnya dari salah satu yang empat tersebut, maka itu bukan bid'ah. Anda kalau zakat fitrah pakai apa? Seharusnya mesti pakai korma dong. Rasul Saw. mengatakan tidak pernah pakai beras. Rasul tidak mempraktekkan zakat fitrah pakai beras. Pakai beras itu Qiyas dari korma dan gandum. Jadi kalau tidak menggunakan Qiyas, tentu saja Islam ini sempit sekali. Demikian pula masalah Takhtim, Tahlil yang selalu diamalkan masyarakat kita, isinya adalah pembacaan al-Qur'an, Tahlil dengan kalimat Laa llaha lllallah, Sholawat, lalu doa. Saya tanya Anda, Apakah ada larangan membaca itu semua, baik menurut al-Qur'an dan hadits?"
Mendengar pertanyaan saya, X menjawab: "Tidak ada."
Saya berkata: "Apakah ada perintah membaca itu semua menurut al-Qur'an dan hadits secara umum?"
X menjawab: "Ada."
Saya bertanya: "Adakah larangan Allah dan Rasul untuk berdzikir, baca al-Qur'an dan lain sebagainya itu?"
X menjawab: "Tidak ada."
Saya berkata: "Nah! Kan tidak ada larangan. Sementara pengamalan tersebut ada sanjungan dari Allah dan Rasul, maka itu bukanlah bid'ah yang terlarang atau sesat. Anda paham?"
X menjawab: "Emangnya apa sanjungan Allah dan RasulNya?"
Saya menjawab: "Lho...! Tidakkah pernah saudara dengar sebuah hadits shahih yang artinya: “Tidaklah sekelompok orang yang duduk sambil berdzikir kepada Allah kecuali para malaikat akan mengelilinginya, rahmat kasih sayang Allah akan meliputinya, ketenangan akan diturunkan kepadanya dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di hadapan makhluk yang ada di sisiNya". (HR Ahmad, Muslim, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ibnu Abi Syaibah dan al-Baihaqi dari Abi Hurairah dan Abi Sa'id al- Khudri). Dalam hadits ini atau hadits lain tidak pernah ada larangan, kecuali di tempat-tempat kotor seperti di WC dan semacamnya."
Mendengar penjelasan saya, X terdiam. Kemudian ia angkat bicara: "Bagaimana masalah Talqin? Bukankah itu Bid'ah?"
Saya menjawab: "Begini saja supaya jelas. Lalu saya berdiri dan mengambil spidol dan menuliskan di Whiteboard, "TALQIN MAYIT BUKAN BID'AH TAPI KHILAFIAH" dan saya tanda tangani. Lalu saya suruh ia untuk menuliskan kalimat tandingan dari pernyataan saya. Lalu iapun menuliskan "TALQIN MAYIT ADALAH BID’AH" dan ditandatanganinya.
Lalu saya bertanya: "Kalau Talqin mayit adalah bid'ah berarti pelakunya diancam siksa?"
X menjawab: "Ya."
Saya bertanya: “Yang mengatakan bahwa talqin mayit itu bid'ah, siapa?"
Dengan semangat, X yang masih anak muda itu mengatakan: "Syaikhul Islam Ibn Taimiyah."
Mendengar jawaban itu, saya pun mengambil kitab Majmu' Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah. Lalu saya berkata: "Ini kitab Majmu' Fatawa Ibn Taimiyah." Sambil menunjukkan kepada hadirin semua pada jilid 1 halaman 242 yang isinya adalah: "Talqin yang tersebut ini (talqin setelah mayit dikuburkan) telah diriwayatkan dari segolongan sahabat bahwa mereka memerintahkannya seperti Abi Umamah al-Bahili serta beberapa sahabat lainnya, oleh karena ini al-lmam Ahmad bin Hanbal dan para ulama yang lain mengatakan bahwa sesungguhnya talqin mayit ini tidak apa-apa untuk diamalkan..." Nah, Ibn Taimiyah tidak mengatakan bahwa talqin itu bid'ah, malah menyatakan ada dalilnya bahwa talqin itu dilakukan oleh sebagian Sahabat. Yang jelas ini masalah khilafiah bukan masalah bid'ah" Mendengar penjelasan saya, X pun terdiam. Tidak lama kemudian, ia pamitan pulang."
Demikian kisah dialog public antara Ustadz Syafi'i Umar Lubis dari Medan Sumatera Utara dengan pemuda Wahabi.

Doa Bersama
Ada seorang teman yang sekarang tinggal di Bandung sebagai kiai muda, curhat kepada saya melalui SMS, bahwa ada sekelompok aliran di daerahnya, ketika selesai shalat, mereka tidak mau berdoa bersama dengan dipandu seorang imam. Alasan mereka, hal itu tidak ada haditsnya dan termasuk bid'ah. Hal yang sama juga terjadi pada saya. Dalam sebuah diskusi tentang bid'ah dan tradisi, di Mushalla Nurul Hikmah, Perum Dalung Permai Denpasar, pada 22 Juli 2010 yang lalu, ada seorang Salafi yang berpendapat bahwa doa bersama itu bid'ah. Ketika salah seorang teman kami berdoa sebagai penutup acara, jamaah yang hadir semuanya mengucapkan amin sambil mengangkat kedua tangan mereka. Sementara laki-laki Salafi yang menolak doa bersama tersebut, tidak ikut amin dan tidak mengangkat kedua tangannya.
Pada dasarnya, kalau kita mengkaji ajaran Islam secara mendalam, akan kita dapati bahwa tradisi doa bersama, dimana salah seorang dari jamaah mengucapkan doa, sedangkan anggota jamaah lainnya membaca amin, merupakan tradisi Islami sejak generasi salaf yang saleh dan sesuai dengan ajaran Rasulullah Saw. Dalam sebuah hadits hasan Rasulullah Saw. bersabda: “Tidaklah berkumpul suatu kaum muslimin, lalu sebagian mereka berdoa, dan sebagian lainnya mengucapkan amin, kecuali Allah pasti mengabulkan doa mereka." (HR. ath-Thabarani dalam al-Mu'jam al-Kabir, dan al-Hakim dalam al-Mustadrak. Al-Hakim berkata, hadits ini shahih sesuai persyaratan Muslim. Al-Hafidz al-Haitsami berkata dalam Majma' az-Zawaid, para perawi hadits ini adalah para perawi hadits shahih, kecuali Ibn Lahi'ah, seorang yang haditsnya bernilai hasan."
Dalam hadits lain diterangkan: ”Dari Ibn Abbas radhiyallahu 'anhuma, berkata: "Rasulullah Saw. bersabda: "Orang yang berdoa dan orang yang membaca amin sama-sama memperoleh pahala." (HR. ad-Dailami dalam Musnad al-Firdaus dengan sanad yang lemah).
Menurut al-Hafidz Ahmad bin ash-Shiddiq al- Ghumari dalam kitabnya al-Mudawi li ’llal al-Jami' ash-Shaghir wa Syarhai al-Munawi juz 4 halaman 43: “Kelemahan hadits ad-Dailami di atas dapat diperkuat dengan ayat al-Qur'an. Allah berfirman tentang kisah Nabi Musa As.: "Sesungguhnya telah diperkenankan doa kamu berdua, oleh karena itu tetaplah kamu berdua pada jalan yang lurus." (QS. Yunus ayat 89).
Dalam ayat di atas, al-Qur’an menegaskan tentang dikabulkannya doa Nabi Musa As. dan Nabi Harun As. Padahal yang berdoa sebenarnya Nabi Musa As. sedangkan Nabi Harun As. hanya mengucapkan amin, sebagaimana diterangkan oleh para ulama ahli tafsir. Nabi Musa As. yang berdo’a dan Nabi Harun As. yang menngucapkan amin, dalam ayat tersebut sama-sama dikatakan do’a. Hal ini pada dasarnya menguatkan hadits di atas, bahwa orang yang berdo’a dan yang mengucapkan amin sama-sama mendapatkan pahala do’a. Mengenai doa Nabi Musa AS tersebut, telah dijelaskan dalam ayat berikut ini: "Musa berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia. Ya Tuhan kami, akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Ya Tuhan kami, binasanklah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih." (QS. Yunus ayat 88)
Dalam hadits lain diterangkan: ”Ya’la bin Syaddad berkata: "Ayahku bercerita kepadaku, sedangkan Ubadah bin ash-Shamit hadir membenarkannya: "Suatu ketika kami bersama Nabi Saw., Beliau Saw. berkata: "Apakah di antara kamu ada orang asing? (Maksudnya ahlul kitab)." Kami menjawab: "Tidak ada ya Rasululah." Lalu Rasul Saw. memerintahkan agar mengunci pintu. Kemudian bersabda: "Angkatlah tangan kalian dan ucapkan la ilaha illallah." Maka kami mengangkat tangan kami beberapa saat. Kemudian Rasul Saw. berkata; ”Ya Allah, Engkau telah mengutus aku membawa kalimat ini, dan Engkau janjikan surga padaku dengan kalimat tersebut, sedangkan Engkau tidak akan menyalahi janji.” Kemudian Rasul bersabda: "Bergembiralah, karena Allah telah mengampuni kalian." (HR. Al-lmam Ahmad dengan sanad yang dinilai hasan oleh al-Hafidz al-Mundziri, ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir dan lain-lain)
Dalam hadits di atas Rasulullah Saw. memerintahkan para sahabat membaca kalimat tauhid (la ilaha illallah) bersama-sama. LaIu para sahabat pun mengucapkannya bersama-sama sambil mengangkat tangan mereka. Kemudian Rasulullah Saw. membacakan doa. Dengan demikian, dzikir bersama sebenarnya memiliki tuntunan dari hadits shahih ini.
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa tradisi doa bersama, dimana salah seorang di antara jamaah memimpin doa, sedangkan jamaah yang lain mengucapkan amin, baik hal tersebut didahului dengan dzikir bersama maupun tidak, pada dasamya memiliki dasar hadits yang kuat, dan bahkan merupakan tuntunan al-Qur'an al-Karim sebagaimana yang terdapat dalam kisah Nabi Musa As. dan Nabi Harun As. Wallahu a'lam.